Nasional

Konflik dan Perawatan Integrasi

Oleh : hendro - Jum'at, 24/05/2019 18:40 WIB

Dr Muhadam Labolo dekan FPP IPDN

Jakarta, INDONEWS.ID - Ditengah dinamika dlm pesta demokrasi kali ini, banyak orang bertanya sampai kapankah stabilitas politik dalam negri akan normal kembali? Konflik ibarat luka dlm tubuh, pada tahap pertama Ia akan mengobati dirinya sendiri sebagai respon alami yang disebut kekebalan tubuh (self immunity).

Pada tahap selanjutnya dia membutuhkan pertolongn orang lain, bergantung sejauh mana stadium konflik kian menanjak. Pelajaran bagi kita bahwa semakin kaya sebuah bangsa dengan konflik yg dikelolanya semakin kuat pula kualitas antibodi yang membentenginya.

 Apalagi bila kesadaran kolektif masyrakt tumbuh lebh cepat dari dugaan kita, maknanya imunitas raga suatu bangsa jauh lebh adaptif merespon setiap masalah yang dihadapinya. Sisanya tinggal bagaimana membalut ekses konflik lewat terapi yang sungguh-sungguh sampai benar-benar mencapai kesembuhan kolektif. Persoalan sembuh sangat bergantung pada seberapa serius kita merawat konsensus yang telah dicapai dalam jangka panjang. 

Bila kekebalan suatu bangsa mengalami pelemahan, maka sadar atau tidak pihak luar berkepentingan mengambil untung sekaligus menyembuhkan konflik ke titik ekstrem. Pola-pola penyelesaian luka akibat konflik bisa dipilih lewat mediasi, rekonsiliasi, bahkan arbitrasi. 

Pengalaman kita di tahun 1998 menunjukkan bahwa penyembuhan paling sederhana dilakukan lewat reformasi. Suatu upaya mengembalikan khittah kemajemukan kedalam wadah Indonesia tanpa mesti berlumuran darah akibat revolusi. 

Cara terakhir itu kadang menjdi pilihan ekstrem yang dalam kenyataan dibanyak negara menunjukkan perpecahan tanpa berkesudahan. 
Dalam waktu lama mengutip kata Presiden Abraham Lincoln, a house divided againts its self cannot (sebuah rumah yg terbelah melawan dirinya, tak akan sanggup bertahan).

Konflik pada esensinya adalah energi yang terpendam dalam masyrakat. Dalam kestabilan masyarakat tetap saja berpotensi konflik. Itulah mengapa kedamaian dianggap sebagai konflik yang sedang merelaksasi, sementara konflik sendiri dipandang sbagai kestabilan yang sedang tidur. Dalam sistem sosial selalu saja terdapat dua gejala yang saling berhadapan yaitu konflik dan integrasi. 

Sejarah menunjukkan bahwa kecerdasan kita mengelola konflik tidak saja mampu menciptakan konsensus baru juga mampu melakukan distribusi otoritas secara relatif baik. Bandingkan dengan konflik di wilayah Timur Tengah pasca Revolusi Arab Spring yang hampir tak memiliki masa depan (Suriah, Mesir). 

Konteks kita setidaknya terdapat dua alasan utama yaitu, terdapatnya pengalaman terhadap sirkulasi kekuasaan sejak orla, orba hingga orde reformasi. Kedua, terdapat kesadaran dari middle class terhadap masa depan pasca tekanan ekonomi, sosial dan politik dimasa lalu (Azra, 2015). Kesadaran itu membawa kita menuju perubahan sosial yang relatif stabil. 

Perubahan sosial biasanya dipicu oleh tiga persoalan pokok, yaitu tekanan luar kedalam sistem, perkembangan sistem internal, serta lahirnya gagasan liar para tokoh pembaharu (Nasikun, 2016). Mencermati keadaan hari-hari ini, impresi luar tak begitu signifikan kecuali tekanan ekonomi dan sosial budaya yang bersifat infiltrasi. 

Mungkin yang menjadi pendorong konflik adalah perubahan sistem (pemilu serentak) sehingga mmbutuhkan adaptasi dan kompatibilitas dengan perangkat pelaksananya. Faktor ketiga adalah meresapnya isu perubahan idiologi ke arah teokrasi dan komunisme, disamping gerakan politik people power. Ketiga faktor tersebut sekalipun tampak dan erat bertalian namun sekali lagi, tak cukup signifikan mendorong perubahan sosial. Tampaknya kekuatan politik dalam masyrakat tak begitu solid dalam mengartikulasikan kehendaknya. 

Birokrasi, kekuatan politik masyrakat, serta kelompok intelektual yang sering disebut aktor, pun tak cukup terorganisir untuk melakukan perubahan sosial. Birokrasi lebih bersikap netral, kekuatan politik masyarakat kehilangan figur, sementara kelompok intelektual lebih suka berkontemplasi dikelas daripada bereksperimen dilapangan politik. Pada saat yang sama respon pemerintah setidaknya telah menghentikan penetrasi kekuatan politik masyarakat untuk masuk lebih jauh.

Terlepas dari itu, perawatan integrasi mesti dilakukan dalam waktu dekat dengan berupaya membangun kesadaran kolektif akan bahaya konflik bagi masa depan suatu bangsa. Perlunya mengikat semua pihak yang berkonflik kedalam rantai organisasi yang dapat dikendalikan, serta perlunya kepatuhan pada rules dan konsensus dengan segala konsekuensinya. Tanpa itu, kita hanya akan menapaki hari-hari yang penuh kesengsaraan, dimana kesejangan atas distribusi otoritas menciptakan keserakahan kemakmuran (welfare grabbing), dan bukan berbagi kemakmuran (welfare sharing). ( Penulis Dr Muhadam Labolo dekan FPP IPDN)

 

 

 

 

Artikel Terkait