Bisnis

RAPBN 2020: Perang Dagang Berlanjut, Target Pertumbuhan Ekonomi Dinilai Moderat

Oleh : very - Senin, 19/08/2019 13:01 WIB

Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR, Said Abdullah. (Foto: youtube)

Jakarta, INDONEWS.ID -- Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR, Said Abdullah memperkirakan tekanan terhadap nilai tukar rupiah masih belum mereda sebagai dampak dari kondisi ekonomi global yang belum membaik.

Selain imbas dari normalisasi kebijakan moneter The Fed,  pelemahan rupiah juga dipicu perang dagang antara China dan AS yang kemudian menjadi perang mata uang (currency war).

“Kondisi ini melemahkan nilai tukar rupiah. Makanya proyeksi nilai tukar dalam RAPBN 2020 diusulkan pada angka Rp 14.400 sangat rasionable,” ujar Said di Jakarta, Senin  (19/8).

Saat menyampaikan Keterangan Pemerintah Atas RUU tentang APBN 2020 beserta Nota Keuangannya, Pemerintah memasang target pertumbuhan ekonomi pada 2020 mendatang berada pada tingkat 5,3% dengan konsumsi dan investasi sebagai motor penggerak utamanya. Inflasi akan tetap dijaga rendah pada tingkat 3,1% untuk mendukung daya beli masyarakat.

Adapun nilai tukar Rupiah diperkirakan berada di kisaran Rp14.400 per dolar Amerika Serikat.

Said menilai, pemerintah moderat mematok kurs rupiah di RAPBN 2020. Hal ini menunjukkan rupiah masih akan mengalami tekanan pada tahun 2020. Faktor eksternal kebijakan suku bunga The Fed  serta perang dagang AS dan China akan tetap berdampak signifikan terhadap nilai tukar rupiah di 2020.

“Masih rentannya fundamental ekonomi nasional: lemahnya ekspor, arus modal investasi melambat, menjadi titik lemah rupiah dan tetap akan mempengaruhi kinerja rupiah tahun 2020,” jelasnya.

Said meminta pemerintah menyiapkan grand strategi mengantisipasi dampak parang dagang AS dan China ini. Sebab, efek berlanjutnya perang dagang AS dan China berpengaruh signifikan terhadap kinerja perekonomian Indonesia. Pasalnya, China dan AS merupakan Negara tujuan ekspor Indonesia terbesar.

Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa China masih menjadi negara tujuan ekspor terbesar produk nonmigas asal Indonesia dengan nilai 13,6 miliar dolar AS sepanjang Januari-Juli 2019.

Negara tujuan ekspor terbesar selanjutnya yakni Amerika Serikat dengan nilai 9,9 miliar dolar AS atau berkontribusi 11,26 persen.

“Jadi, kalau dua Negara raksasa ekonomi ini berperang maka akan membuat arus perdagangan dan rantai pasar global terhambat. Alhasil, kinerja ekspor Indonesia pun berpeluang terganggu karena penurunan permintaan,” jelasnya.

Ketua DPP PDIP Bidang Perekonomian ini berharap pemerintah harus terus mewaspadai tren pelemahan rupiah yang diperkirakan berlanjut hingga akhir September  2019 ini. Pemerintah tetap harus bersiap diri memperkuat kestabilan ekonomi dalam negeri.

"Saya memperkirakan, 2020 tetap masih ada tekanan eksternal. Untuk itu, fundamental ekonomi di dalam negeri harus diperkuat. Ini penting agar kurs, inflasi, tingkat bunga dan sebagainya tidak terlalu bergejolak,” ucapnya.

Lebih lanjut, Said mengapresiasi target pertumbuhan ekonomi dalam RAPBN 2020 diusulkan sebesar 5,3% atau meningkat dari outlook pertumbuhan ekonomi tahun 2019 sebesar 5,2%. Target pertumbuhan ekonomi ini moderat sesuai dengan kondisi kekinian ekonomi domestik dan global.

“Namun dengan melihat trend perkembangan ekonomi global yang melambat dan pertumbuhan ekonomi nasional hingga akhir tahun 2019 yang belum terlalu menggembirakan,” jelasnya.

Hal ini tercermin dari sikap pemerintah yang tidak confident dengan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2020.  Padahal seharusnya Pemerintah bisa lebih optimistis, karena berada pada awal periode Pemerintahan.

“Tim ekonomi bisa mengambil banyak pengalaman selama periode pemerintahan sebelumnya,” ucapnya.

Dia menambahkan pertumbuhan ekonomi pada kisaran 5% tidak cukup kuat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Untuk itu, perlu transformasi secara struktural supaya mampu melakukan investasi.

“Kalau itu tidak dilakukan maka untuk tumbuh 51,% saja sangat sulit. Makanya, soal upah buruh, stabilitas ekonomi harus dijaga. Ini sektor rill yang perlu digerakan oleh pemerintah. Kalau kelompok  ekonomi menengah ini tidak dijaga maka jangan berharap tahun depan ekonomi tumbuh 5,1%. Ekstra effort dari pemerintah,” pungkasnya. (Very)

 

Artikel Terkait