Nasional

Soal Menerima Gerindra dan Demokrat, Jokowi Diminta Berhati-hati, Agar Tidak Jadi Boomerang

Oleh : Rikard Djegadut - Minggu, 20/10/2019 22:30 WIB

Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Periode 2019-2024 Joko Widodo dan Ma`aruf Amin

Jakarta, INDONEWS.ID - Indikasi bergabungnya Demokrat dan Gerindra sangat jelas terbaca selama beberapa hari terakhir.  Hal itu terlihat dari langkah yang dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengundang Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto beberapa waktu lalu.

Bahkan dari kabar yang beredar, partai Gerindra meminta jatah tiga kursi di kabinet kerja Jokowi jilid II sementara Demokrat dikabarkan secara pasti akan mendapatkan jatah satu kursi. 

Pengamat Politik Universitas Padjadjaran (Unpad), Muradi mengatakan bahwa dari pertemuan itu merupakan tanda dari Jokowi untuk mengakomodir kedua partai yang bukan koalisi berada dalam kepemimpinannya selama lima tahun ke depan. Namun, dalam pembagian kekuasaan harus dilakukan secara hati-hati.

"Kalau tidak secara detil dan hati hati dalam distribusi kekuasaannya, itu akan jadi boomerang bagi stabilitas pemerintah Jokowi sendiri. Membiarkan ada oposisi akan lebih baik," kata dia saat ditemui di Kota Bandung, Sabtu (19/10).

Keberadaan Gerindra dan Demokrat dikhawatirkan membuat situasi di internal partai pendukung Jokowi goyah. Ia mengibaratkan, pemerintah Jokowi akan seperti orang gemuk yang mudah limbung serta tak memiliki nafas yang lega. Jokowi harus berkaca pada kepemimpinan Presiden SBY pada periode 2009-2014 yang berjalan lambat setelah merangkul banyak partai untuk bergabung ke dalam pemerintah.

"Saran saya, pertimbangkan betul untuk tidak menerima semua partai masuk dalam koalisi agar ada fungsi chek and balances (sebagai oposisi)," ucap dia.

Jika akhirnya semua partai masuk dalam koalisi, maka yang akan terjadi adalah ketidakpercayaan dari publik karena merasa tidak ada yang mewakili jika ada kebijakan yang dianggap tidak berpihak masyarakat.

"Biarin mereka (Gerindra dan Demokrat) di luar (pemerintah). Oposisi harus ada. Kalau semua ke pemerintah, publik akan distrust (kehilangan kepercayaan)," jelas dia.

Namun, jika melihat perkembangan yang ada, ia memprediksi Partai Gerindra yang lebih berpeluang untuk masuk ke dalam pemerintah, meski Jokowi kelihatan ingin mengakomodir posisi Demokrat.

Hal lain yang harus dipikirkan oleh Jokowi jika keputusan akhirnya seperti itu, maka harus bisa meredakan kekhawatiran partai koalisi. Karena mereka merasa sudah bekerja dan berkeringat mengantarkan Jokowi melenggang menjadi presiden lagi. Caranya, porsi pembagian kekuasaan dalam konteks menteri, Gerindra dan Demokrat jangan diberi kursi lebih atau strategis.

"Kalau menteri (dari Gerindra dan Demokrat) lebih dari satu, maka yang lain (partai koalisi) akan teriak. Nah ini enggak boleh. Ada rumus yang harus jadi pertimbangan, partai yang baru masuk dan tak berkeringat itu tidak boleh mendapatkan kursi lebih dari partai koalisi yang ada," imbuhnya.

"Kalau dikasih lebih, konflik akan terjadi. Orang (partai koalisi) akan marah dan jengkel. Contohnya, meski Gerindra masuk kategori pemenang pemilu, tetapi tetap saja PPP yang (perolehan suaranya) lebih rendah harus mendapatkan lebih banyak (jatah menteri) dari Gerindra. Demokrat juga sama. (berikan posisi) menteri yang tidak strategis," ia melanjutkan.

Di lain pihak, posisi menteri pun akan banyak diisi oleh kader partai dibandingkan dengan orang yang berlatar belakang profesional. Namun yang pasti, komposisi kabinet ini harus dilakukan secepatnya.

"Setelah pelantikan, sore atau malamnya pengumuman kabinet baru, atau sehari setelahnya. Harus cepat-cepat," pungkasnya.

Artikel Terkait