Nasional

Salut! Mahasiswa Hukum Universitas Esa Unggul Ajukan Judicial Review UU KPK ke MK

Oleh : Rikard Djegadut - Rabu, 13/11/2019 19:30 WIB

Dua Mahasiswa Hukum Universitas Esa Unggul Jakarta, Ricky Martin Sidauruk dan Gregorius Agung berfoto di depan Ruang Penerimaan Berkas Perkara Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (12/11/19).

Jakarta, INDONEWS.ID - Dua Mahasiswa Hukum Universitas Esa Unggul, Jakarta atas nama Ricki Martin Sidauruk (Martin) dan Gregorius Agung (Rian).mengajukan permohonan Judicial Review terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 19/2019 tentang perubahan UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Salah satu pemohon, Martin menilai UU KPK yang baru memuat banyak poin-poin yang bermasalah. Salah satunya terkait penyelidikan yang diatur dalam pasal 43 ayat (1) UU KPK.

Sambil mengutuk keras setiap perbuatan korupsi, Martin mengatakan ketentuan pasal (a quo) telah menutup ruang bagi warga negara untuk menjadi Penyelidik di KPK.

Sebagai Mahasiswa hukum, ia merasa pemberlakuan pasal tersebut berpotensi merugikan hak konstitusionalnya. Karena ada kecenderungan perektrutan penegak hukum yang tidak transparan.

“Bahwa kejahatan korupsi adalah musuh kita bersama, menurut saya, itu sudah final. Namun, pengimplementasiannya yang justru kadang-kadang menyimpang dari harapan. Misalnya, ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU KPK yang sekarang ini sedang kami uji di Mahkamah Konstitusi (MK)," kata Martin kepada Indonews.id usai menyerahkan berkas perkara unit penerimaan berkas perkara di Gedung Mahkamah Konstitusi, Selasa (12/11).

Ketentuan pasal tersebut, lanjutnya, seolah-olah mendeterminasikan bahwa yang dapat diangkat menjadi Penyelidik KPK hanyalah orang-orang yang berasal dari instansi-instansi pemerintah, diantaranya adalah Kepolisian dan Kejaksaan.

Martin juga mengatakan, dengan ketentuan pasal yang baru, KPK akan kehilangan “daya gigit” untuk memberantas korupsi, mengingat banyak pegawainya terutama penyelidik yang didapuk dari Kepolisian dan Kejaksaan. Padahal, menurut Martin, KPK adalah Lembaga penegak hukum dengan kewenangan yang luar biasa.

“Akhirnya timbul pertanyaan, untuk apa kita membentuk suatu lembaga negara yang pegawainya berasal dari lembaga-lembaga penegak hukum yang sudah ada sebelumnya? Bahkan kewenangan-kewenangan yang disematkan padanya pun cenderung sama. Nah, terkadang hal-hal seperti ini yang sulit diterima oleh logika masyarakat pada umumnya,” kata Martin.

Pemohon lain, Rian mengatakan pasal 43 ayat (1) UU KPK akan mempegaruhi independensi KPK dalam upaya pemeberantasan korupsi.

KPK kata Rian, merupakan lembaga negara yang independen, karenanya, seorang Penyelidik KPK haruslah secara personal maupun fungsional adalah independen.

“Artinya, Penyelidik KPK tak melulu berasal dari kepolisian, kejaksaan, internal KPK dan/atau instansi pemerintah lainnya. Dengan membatasi perekrutan Penyelidik KPK yang hanya dapat berasal dari kepolisian, kejaksaan, internal KPK dan/atau instansi-instansi pemerintah lainnya semata tentu akan sangat mungkin mengurangi kadar independensi tersebut,” kata pria kelahiran Welak, Manggarai Barat, Flores NTT ini. 

“Mengingat KPK adalah lembaga negara yang telah berdiri lebih dari 10 tahun, sudah semestinya lembaga negara tersebut dapat melakukan perekrutan penyelidik KPK secara mandiri, seperti halnya kepolisian, kejaksaan, maupun instansi-instansi pemerintah lainnya dalam hal merekrut penyelidiknya masing-masing,” tutup Rian.*

Artikel Terkait