INDONEWS.ID

  • Sabtu, 19/10/2019 18:30 WIB
  • Tutup Masa Jabatan, Ini 5 Rapor Merah Pemerintah Jokowi - JK

  • Oleh :
    • Rikard Djegadut
Tutup Masa Jabatan, Ini 5 Rapor Merah Pemerintah Jokowi - JK
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (Foto: ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla akan berakhir satu hari lagi. Namun demikian, tercatat ada lima (5) program pembangunan dicetuskan Jokowi yang belum berjalan optimal.

Hal itu dikatakan Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Piter Abdullah. Ia menilai masih banyak program Jokowi yang belum berjalan sesuai harapan.

Baca juga : Presiden Jokowi Bertemu Ribuan Nasabah Mekaar di Makassar

"Kurang optimal saya melihat masih banyak. Masih banyak sekali yang kurang optimal karena sekali lagi memang tidak bisa melakukan semuanya Pak Jokowi. Pikiran dari awalnya membangun infrastruktur akan beres semua tapi tidak. Kita berharap dia belajar dari situ," jelas Piter.

Salah satu yang menjadi sorotannya ialah kinerja sektor industri. Pertumbuhan industri hanya mampu bergerak di kisaran 5 persen. Padahal, negara-negara lain sudah berada di atas 20 persen.

Baca juga : Prof. Tjandra Yoga Aditama dan JK Hadiri "Sotf Launching" Pabrik Kantong Darah Nasional Pertama

"Di zaman Pak Jokowi juga industri turun, tapi tidak bisa disalahkan sepenuhnya kepada Pak Jokowi karena proses penurunan itu sudah berlangsung sekitar 11 tahun lalu kontribusi dari industri turun, sayangnya pada periode Jokowi tidak ada upaya menghambat laju penurunan pertumbuhan industri itu," jelas Piter.

Selain itu, mengutip Merdeka.com terdapat lima (5) rapor merah Jokowi selama 5 tahun pertamanya menjabat. Tentu kita berharap rapor merah ini bisa diperbaiki dan tak sampai terulang di periode keduanya. Semoga janji-janji yang telah terucap bisa terealisasi di 5 tahun mendatang.

Baca juga : Presiden Jokowi Dorong Penguatan Integrasi Ekonomi, Percepatan Transisi Energi dan Transformasi Digital dalam KTT Khusus ASEAN-Australia

1. Pertumbuhan Ekonomi Tak Capai 7 Persen

Jokowi menjanjikan pertumbuhan ekonomi mencapai 7 persen pada awal menjabat. Hal ini pun sempat disinggung anggota komisi VII DPR RI, Ramson Siagian, yang mengatakan target pertumbuhan ekonomi pemerintahan Jokowi-JK pada kampanye pemilu 2014 sebesar tujuh persen belum dapat diwujudkan hingga tahun kelima pemerintahan.

Direktur Eksekutif Apindo, Danang Girindrawardana, juga menilai Presiden Jokowi belum bisa memenuhi janji kampanyenya yakni mendorong pertumbuhan ekonomi nasional berada di 7 persen.

"Kegagalannya cuman satu saja. Belum bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi sampai 7 persen itu saja," jelas Danang.

"Penyebabnya ada dua hal. Ya oke internasional pasti mempengaruhi tapi domestik situation juga harus menjadi satu hal bener-bener terkontrol karena itu ada di dalam kewenangannya," sambung Dadang.

Menurutnya, hampir 70 sampai 80 persen masalah ketidaktercapainya pertumbuhan ekonomi yakni masalah domestik bukan masalah internasional. Sebab, jika berkaca pada negara-negara lain, mereka masih tumbuh meskipun hanya kecil.

"Tapi kecil dibandingkan Indonesia yang 5 persen dengan PDB yang sekian tinggi mereka jauh lebih tinggi lagi. Jadi 1 persen pertumbuhan tidak ada masalah. Indonesia pertumbuhan 5 persen itu kecil bangat karena PDB-nya kan sekian," jelas Danang.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengaku sulit untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar tujuh persen. Meski begitu, pemerintah terus mengupayakan berbagai cara untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi setiap tahunya.

"Memang tidak mungkin dicapai," kata Sri Mulyani saat ditemui di Kampus Atma Jaya, Jakarta.

Bendahara negara ini mengungkapkan, meski belum mencapai diangka tujuh persen namun pertumbuhan ekonomi di level lima persen saat ini diklaim sudah baik. Apalagi melihat kondisi ekonomi global yang sedang bergejolak.

"Pertumbuhan lima persen itu sudah lumayan baik loh, kalau lihat tekenan eksternal," imbuh Mulyani.

2. Proyek 35.000 MW Tak Terealisasi

Pada awal menjabat, Presiden Jokowi menetapkan proyek ambisius yakni pembangunan pembangkit 35.000 MW. Seiring perjalanan waktu, pembangunan proyek ini masih mengalami kendala seperti pembebasan lahan dan penentuan lokasi proyek.

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Rida Mulyana mengatakan, total kapasitas pembangkit program 35.000 MW sampai Juli 2019 yang sudah mencapai 3.768 MW atau 11 persen dari target.

"Kemajuan pembangunan sampai Juni yang sudah beroperasi 11 persen dari target," kata Rida saat rapat dengan Komisi VII DPR, di Gedung DPR, Jakarta.

Rida melanjutkan, untuk kemajuan pembangunan pembangkit yang sedang dalam konstruksi sebesar 21,922 MW atau 62 persen, dalam tahap perencanaan 734 MW atau 2 persen, pengadaan 1.453 MW atau 4 persen dan kontak belum konstruksi 7.515 MW atau 21 persen.

Menteri Koordinator Kemaritiman, Luhut Panjaitan, mengaku meski megaproyek 35.000 MW tak bisa tercapai pada 2019, namun, pemerintah tetap akan menggenjot semampunya proyek tersebut.

"Paling bisa kelar 2020. Kita tidak boleh bohong. Presiden harus memberi tahu. Kalau dapat data yang benar policy juga akan besar," ujar Menko Luhut di Kampus Universitas Indonesia, Depok.

"Listrik 35.000 MW memang tak bisa tercapai di 2019. Ada bisnis proses banyak belum baik. Paling tidak hanya 23.000 sampai 24.000 MW yang bisa tercapai. Tapi tidak apa-apa. Kita sudah bekerja keras," pungkas Luhut.

3. Utang Berkurang Tak Terjadi

Walau rasio utang Indonesia tergolong rendah di ASEAN, utang di era Jokowi tercatat naik hingga 30 persen dari PDB. Pengurangan utang negara secara bertahap sehingga rasio utang terhadap PDB mengecil.

Jumlah tersebut memang masih aman dari batas utang, yakni 60 persen. Namun, rasio itu naik dari era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menurunkan rasio utang terhadap PDB hingga 24,7 persen dari 47,3 persen saat SBY mulai menjabat di 2005.

Wakil Presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla (JK) menyebutkan bahwa sikap pemerintah berutang adalah wajar. Dia meyakinkan utang pemerintah masih aman.

"Untuk nutup belanja barang, ya, terpaksa berutang karena defisit, ya. Berutang dengan menerbitkan obligasi apakah dolar atau yen, belum tentu Rupiah," ujarnya dalam acara Dialog 100 Ekonom bersama Jusuf Kalla di Jakarta.

Dirinya menambahkan, selagi masih berada di bawah batas yang ditentukan, maka utang negara masih dikatakan aman. Sebagai informasi, Bank Dunia menyebutkan rasio utang dengan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia berada di kisaran 29 persen hingga 30 persen.

Lanjut Wapres JK, negara-negara tetangga seperti Malaysia punya rasio utang yang lebih tinggi, yaitu 50 persen. Bahkan, rasio utang Turki mencapai 80 persen dan hampir 100 persen. "Kita masih 30 persen terhadap PDB, (utang) aman. Yang penting bisa bayar," tutur Kalla.

4. Rasio Elektrifikasi 100 Persen Belum Tercapai

"Meningkatkan rasio elektrifikasi sampai 100 persen."

Pemerintah Jokowi menargetkan rasio elektrifikasi bisa mencapai 100 persen. Namun, hingga Oktober atau jelang pemerintahannya periode I berakhir, rasio elektrifikasi baru mencapai 98,83 persen.

Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignasius Jonan, menyatakan pemerataan kelistrikan (rasio elektrifikasi) merupakan salah satu prestasi terbaik Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) periode pertama.

Menteri Jonan mengatakan, capaian rasio elektrifikasi sampai Oktober 2019 98,83 persen dari target 99 persen pada tahun ini. Pencapaian tersebut melebihi Rencana Pemerintah Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 97,6 persen.

"Harapannya rasio elektrifikasi tahun ini 99 persen, target Bappenas di RPJMN 97,5 persen jadi kita lebih jauh," kata Menteri Jonan saat menghadiri perayaan hari listrik nasional, di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan.

Menurut Menteri Jonan, pencapaian pemerataan kelistrikan tersebut merupakan salah satu capaian pemerintah Kabinet Kerja Pemerintahan Presiden Jokowi periode pertama. "Salah satu capaian dalam sidang kabinet terakhir yang luar biasa rasio elektrifikasi," tuturnya.

5. Tol Laut Belum Capai Tujuan Pembentukan

Di awal pemerintahan, Presiden Jokowi mencanangkan pembuatan tol laut atau konsep pengangkutan logistik kelautan yang menghubungkan pelabuhan-pelabuhan besar di Tanah Air. Konsep ini dijanjikan akan menciptakan kelancaran distribusi hingga pelosok. Selain itu, konsep ini juga membuat pemerataan harga logistik di seluruh wilayah Indonesia.

Menteri Koordinator Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan, mengaku optimistis proyek tol laut yang dikerjakan Pemerintah akan dapat menekan perbedaan harga di antara wilayah Indonesia.

"Saya tidak tahu bisa menekan 50 persen atau berapa tapi diharapkan harganya tidak jauh berbeda dengan Jakarta dan Jawa," jelasnya.

Ekonom Faisal Basri menilai program tol laut yang digagas pemerintah masih gagal karena tidak terbukti menurunkan biaya logistik (logistic cost). Selain itu, saat ini angkutan barang masih terpusat di jalur darat diangkut dengan truk-truk besar.

Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disperindag) Kabupaten Halmahera Utara (Halut), Maluku Utara (Malut) menyebut bahwa aktivitas tol laut di wilayahnya belum pengaruhi harga sembako. Sebab, operasionalnya di berbagai pelabuhan tujuan belum maksimal.

Artikel Terkait
Presiden Jokowi Bertemu Ribuan Nasabah Mekaar di Makassar
Prof. Tjandra Yoga Aditama dan JK Hadiri "Sotf Launching" Pabrik Kantong Darah Nasional Pertama
Presiden Jokowi Dorong Penguatan Integrasi Ekonomi, Percepatan Transisi Energi dan Transformasi Digital dalam KTT Khusus ASEAN-Australia
Artikel Terkini
Amicus Curiae & Keadilan Hakim
Tiga Warga Meninggal Imbas Longsor dan Lahar Dingin Gunung Semeru
Panglima TNI Hadiri Rapat Koordinasi di Kemenkopolhukam Bahas Situasi di Papua dan Permasalahan Tanah di Sumsel
Cegah Perang yang Lebih Besar, Hikmahanto Sarankan Menlu Retno untuk Telepon Menlu Iran Agar Tidak Serang Balik Israel
Menakar Perayaan Idulfitri dengan Kearifan Lokal Secara Proporsional
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas