Politik

Daripada Keluarkan Perppu, Lebih Elegan Melakukan Uji Materi di MK

Oleh : very - Jum'at, 27/09/2019 23:03 WIB

Pengamat politik UI Ade Reza Hariyadi (kiri), Direktur LBHA Trisakti Ucok Rolando P Tamba (dua dari kiri) saat diskusi bertema "Dinamika Seputar Revisi UU KPK: Studi Kedalaman Politik Legislasi" di Universitas Negeri Jakarta, Jumat. (Foto: antara)

Jakarta, INDONEWS.ID - Pengamat politik Universitas Indonesia Ade Reza Hariyadi menilai penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang terkait UU KPK bisa menjadi preseden kurang baik dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

"Bisa menjadi preseden yang kurang baik dalam ketatanegaraan kita, di mana satu produk UU belum apa-apa, sedikit-sedikit di-perppu-kan," katanya usai diskusi bertajuk "Dinamika Seputar Revisi UU KPK: Studi Kedalaman Politik Legislasi" di Universitas Negeri Jakarta, di Jakarta, Jumat (27/9).

Dia mengakui bahwa perppu merupakan hak Presiden. Urgensinya juga bergantung tafsir pemerintah mengenai kondisi yang bersifat memaksa, darurat, dan genting sehingga perlu mengeluarkan perppu.

"Kalau pemerintah melihat aspirasi gerakan jalanan, ekstra parlementer, tekanan masyarakat cukup besar, dan akan memengaruhi legitimasi politiknya, bisa saja karena ada kepentingan menjaga citra politiknya mengeluarkan perppu untuk memenuhi tuntutan publik," katanya seperti dikutip Antara.

Namun, kata dia, pemerintah bisa saja dinilai mencari aman demi menjaga citra politik. Sebab sejak awal sebenarnya pemerintah bisa memediasi aspirasi terkait RUU KPK.

"Pemerintah kan `co-legislator` dalam proses legislasi dan sejak awal sebenarnya bisa memediasi aspirasi yang dibawa DPR terkait RUU KPK, dan aspirasi-aspirasi yang berkembang di masyarakat, termasuk aspirasi KPK sendiri," katanya.

Menurut dia, untuk membangun tradisi ketatanegaraan yang lebih mapan dan elegan ada baiknya disahkan dulu sebagai UU, baru kemudian mempersilakan jika ada yang mau mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Itu lebih elegan, dan menghindari potensi kewenangan berlebihan di tangan Presiden dalam membuat kebijakan setingkat UU. Bisa menjadi preseden yang berulang-ulang, sedikit-sedikit diintervensi, ditafsirkan keadaan darurat, kemudian di-perppu-kan," katanya.

Sementara itu, Direktur LBHA Trisakti Ucok Rolando P Tamba mengatakan bahwa perppu merupakan kewenangan Presiden, tetapi harus ada syarat yang dipenuhi, yakni kondisi yang mendesak.

Jika kemudian adanya demonstrasi-demonstrasi dinilai sebagai kondisi mendesak untuk mengeluarkan perppu, ia mengingatkan bahwa demonstrasi adalah hak menyampaikan pendapat yang sudah diatur konstitusi.

Selain perppu, kata dia, sebenarnya ada dua cara lagi untuk membatalkan UU KPK, yakni mengajukan "judicial review" ke MK yang sudah diatur negara dengan memberikan saluran-saluran dalam konteks demokrasi.

"Bisa juga lewat upaya `legislatif review`. DPR periode mendatang bisa merevisi lagi UU KPK karena melihat kemungkinan ada pasal-pasal yang dianggap memperlemah KPK," pungkas Ucok. (Very)

 

Artikel Terkait