Politik

Pertemuan Jokowi dan Prabowo: Koalisi, Kooptasi, Atawa Partokrasi?

Oleh : very - Sabtu, 12/10/2019 21:42 WIB

Muhammad AS Hikam. (Foto:Ist)

Oleh: Muhammad AS Hikam *)

DINAMIKA dalam elit politik sebelum pelantikan Presiden Jokowi untuk periode kedua (2019-2014) sungguh menarik dan penting untuk dicermati. Khususnya dinamika relasi antara  Presiden Jokowi dengan mantan penantangnya, Prabowo Subianto yang kian menunjukkan intensitas menuju terbuhulnya kerjasama dalam pemerintahan baru.

Masalahnya, apakah kerjasama tersebut bisa dimaknai sebagai koalisi, atau sebuah kooptasi terhadap kekuatan oposisi (dalam hal ini Gerindra), ataukah ini sebuah pendalaman dan perluasan dari fenomena partokrasi dalam perpolitikan Indonesia pasca-reformasi?

Jika ia adalah koalisi, maka akan merupakan dinamika penting yang belum pernah terjadi sebelumnya. Presiden Jokowi dan Prabowo Subianto adalah representasi dari dua kekuatan politik yang berbeda, setidaknya dalam kompetisi Pilpres 2019. Lebih dari kompetitor dalam Pilpres keduanya dilihat publik sebagai dua kubu yang memiliki perbedaan visi ideologis dan pendekatan dalam pembangunan politik, ekonomi, dan sosial budaya.

Koalisi antara parpol pendukung Presiden Jokowi dan Gerindra di Parlemen dan tentu akan diwujudkan juga di Kabinet, tentu diharapkan akan dapat mengurangi gejolak di DPR dan dalam pemerintahan. Bisa juga kehadiran partai berlambang kepala Garuda itu akan visa mengimbangi dominasi PDIP dan membuat Presiden Jokowi tak selalu harus manut kepada titah boss partainya, Megawati Sukarnoputri.

Yang jelas, kekuatan oposisi formal hanya terwakili oleh PKS. Kalaupun PAN akan nemutuskan jadi oposisi, dampaknya juga kecil. Demokrat akan sulit diharapkan bisa menjadi tambahan oposisi, dan bahkan sebaliknya: ia akan bergabung dalam koalisi Istana! Ini berarti PKS akan menggunakan posisinya dengan memanfaatkan kekuatan-kekuatan dalam masyarakat sipil yang selama ini kritis terhadap Presiden Jokowi.

Tetapi bisa saja rangkulan Presiden Jokowi kepada Prabowo Subianto hanyalah semacam kooptasi kekuaatan oposisi. Jika demikian, kendati Gerindra mendapat jatah di kabinet, ia tak akan mampu membantu Presiden Jokowi ketika beliau berhadapan dengan parpol pendukung utama, khususnya PDIP. Alih-alih justru Presiden Jokowi akan ketambahan beban dalam pemerintahan ke depan.

Kemungkinan ketiga, dinamika ini adalah perkembangan lebih lanjut dari fenonena partokrasi yang semakin nenampilkan diri dalam perpolitikan nasional. Partokrasi adalah sebuah sistem perpolitikan di mana peran parpol menjadi penentu utama dan kontrol dari warganegara sebagai pemilik kedaulatan mengalami kemerosotan. Parpol menafikan prinsip denokrasi, termasuk perlunya kekuatan oposisi yang efektif. Mereka bekerjasama untuk menguasai proses politik di ranah elektoral, dengan dalih lefitimasi legal formal dan kenyataan kekuatan parpol di Parlemen.

Ketiga kemungkinan diatas, koalisi, kooptasi, dan partokrasi, cenderung tidak akan memperkuat demokrasi dan bisa jadi akan makin memperlemah atau setidaknya akan membuat denokrasi kita hanya formalistik belaka. Jika ditambah dengan faktor kepemimpinan yang tak begitu mempedulikan penguatan demokrasi, maka risiko yang lebih negatif pun terbuka. Yaitu kembalinya otoriterisme yang berkedok demokrasi formal di Indonesia.

*) Muhammad AS Hikam adalah pengamat politik dari President University

Artikel Terkait