Nasional

Iran Vs Amerika Serikat, Ekonomi Global Memburuk

Oleh : very - Rabu, 08/01/2020 12:01 WIB

AS versus Iran. (Foto: Ilustrasi)

Oleh : Mubdi Tio Thareq

INDONEWS.ID -- Menurut Amerika Serikat, Iran sudah mengganggu "kepentingan globalnya" sejak lama dan semakin meningkat eskalasinya sejak Mei 2019, bahkan "kebencian" AS ke Iran sudah lama terjadi sejak Iran tidak tunduk terhadap keinginan AS terkait denullirisasi Iran.

Kedongkolan AS ke Iran semakin mendalam ketika pada 29 Desember 2019, milisi Syiah, Kataib Hezbollah atau KAH yang dituding AS "diremote control" oleh Iran menyerang aset aset AS di Iraq dan menewaskan pegawai kontraktor AS dan melukai lainnya,  bahkan tanggal 31 Desember 2019, milisi KAH menyerang Kedubes AS di Baghdad,  Irak.

Oleh karena itu,  Trump dengan alasan defensif dan melindungi rakyat AS di Timur Tengah akhirnya menggunakan drone menyerang markas markas milisi Syiah bahkan menewaskan Mayjen Qaseem Solemani, Pimpinan Pejuang Quds di Pasukan Garda Revolusi Iran,  termasuk petinggi utama KAH,  Muhandis dan beberapa pejabat utama KAH pada 2 Januari 2020. Pihak Iran menilai serangan tersebut bukan dilakukan drone melainkan helikopter yang memuntahkan banyak roket.

Kematian Solemani, Muhandis dan beberapa pejabat utama KAH direspons serius oleh pemimpin tertinggi Iran,  Ayatollah Ali Khamenei yang akan melakukan "harsh reveange" melalui "Syiah avengers" dimanapun mereka berada terhadap musuh musuh Iran.

Merespons hal tersebut,  Trump telah memerintahkan tambahan pasukan AS di kawasan Timur Tengah mengantisipasi "harsh reveange" yang akan dilakukan Iran. Bahkan mungkin Iran juga akan meroket sejumlah sekutu AS di Timteng seperti Israel dan Arab Saudi, termasuk mungkin akan mengganggu pelayaran internasional di Selat Hormuz.

Ada beberapa skenario dan foresight yang dapat dibuat dari perkembangan terkini di Timteng. Pertama,  jika skenario AS vs Iran mengarah ke perang terbuka. Dampaknya AS akan mengeluarkan anggaran lebih untuk perang ditengah belum sehatnya perekonomian AS, sementara Iran jika ganggu Selat Hormuz maka harga Migas akan meroket termasuk biaya ekspor impor akan meningkat dengan banyaknya turbulence. Skenario pertama ini akan semakin memperburuk ekonomi global jika Rusia dan China sebagai sekutu dekat Iran turut campur, walaupun kecil kemungkinannya.

Skenario kedua adalah terjadinya "random attacks" di antara kedua negara yang dilakukan directly maupun melalui agen proxy war mereka. Jika skenario ini terjadi, AS akan menghadapi dua risiko yaitu serangan tidak terpola pejuang-pejuang Syiah pro Iran, termasuk kabar gembira bagi sel sel ISIS untuk menyerang dua pihak baik AS dan Iran, karena Syiah juga musuh utama ISIS dan Al Qaeda. Ekonomi global tetap terganggu setidaknya harga Migas tetap naik dan AS menaikkan pajak impor dan bunga bank untuk menutupi biaya perang.

Skenario ketiga adalah kematian Solemani adalah "saham politik" bagi Trump untuk kembali memperoleh kepercayaan politik pasca desakan impeachment terhadapnya termasuk menghadapi Pilpres AS tahun ini. Jika ini benar,  kemungkinan "harsh reveange" Iran akan dilakukan saat momen politik tersebut. Bentuk serangan bisa fisik dan teknologi misalnya membajak hasil Pilpres AS agar Trump kalah. Iran bisa meminta bantuan Rusia terkait hal ini, karena diakui atau tidak, Rusia kurang suka dengan figur Trump.

Di Indonesia, ketegangan Iran dengan AS perlu diantisipasi terutama bagaimana Indonesia sudah siap siap ungsikan WNI yang ada di Israel, Iran, Irak dan Arab Saudi jika skenario pertama terjadi, termasuk membengkaknya hutang luar negeri jika skenario pertama dan kedua terjadi karena ancaman resesi ekonomi global cepat terjadi.

Termasuk jika skenario kedua terjadi,  Indonesia perlu antisipasi serangan teror sel-sel ISIS terhadap kedubes kedua negara di Indonesia, termasuk aksi unjuk rasa terkait masalah ini. Pendukung Syiah di Indonesia cukup eksis di beberapa provinsi.

Sedangkan jika skenario ketiga yang terjadi, maka Indonesia harus berkoordinasi erat dengan AS dan Iran terkait keselamatan warga negara kedua negara di Indonesia, dan Indonesia tetap penting netral terkait masalah ini.

Penulis adalah pemerhati masalah internasional

Artikel Terkait