Nasional

Menghitug Minus Kebijakan Pembatasan Sosial Skala Besar dan Darurat Sipil

Oleh : Rikard Djegadut - Rabu, 01/04/2020 12:30 WIB

Presiden Joko Widodo (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia dan Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia Hermawan Saputra menilai Jokowi blunder menerapkan kebijakan pembatasan sosial skala besar dan darurat sipil dalam menangani covid-19.

Hermawan menilai sebenarnya kebijakan itu sudah dilakukan sejak dua pekan lalu ketika pemerintah mengeluarkan peraturan meliburkan sekolah dan kantor serta menerapkan work from home.

"Saya melihat pemerintah melakukan analisis yang gegabah sekali dengan ber-statement yang menurut saya blunder lagi yang disampaikan Pak Presiden. Apa sebab? Pembatasan sosial secara luas itu sebenarnya sudah dilakukan secara informal walaupun tidak dalam bentuk kebijakan yang kuat, tetapi yang dimaksud pembatasan sosial skala besar adalah mulai meliburkan sekolah, meliburkan kegiatan-kegiatan di kantor, termasuk kegiatan keagamaan. Sudah dilakukan semua, kan," kata Hermawan kepada wartawan, Senin (30/3/2020) malam.

Minus dari Darurat Sipil

Hermawan juga menyesalkan Jokowi menyinggung soal penerapan darurat sipil. Menurut dia, penerapan darurat sipil dalam penanganan Corona ini sama sekali tak relevan.

"Nah, tetapi kalau poin berikutnya tentang kedaruratan sipil, itu lebih berbahaya lagi menurut saya. Itu saya menyampaikan, itu bisa salah acu, salah arah, dan salah sasaran.

Apalagi, kata Hermawan, nanti kalau mengaitkannya dengan Perppu Nomor 23 Tahun 1959 berkaitan dengan kedaruratan sipil. Itu produk zaman demokrasi terpimpin di era Presiden Sukarno dengan situasi politik.

Di dalam pasal 17 dan seterusnya, lanjut Hermawan, itu berkaitan dengan pembatasan individu, bukan lagi pengendalian penyakit, tapi bergeser pada pengendalian individu dan pembatasan aktivitas penduduk.

"Di mana telepon alat komunikasi semuanya bisa disadap, ruang-ruang demokrasi bisa menjadi mandek. Artinya penggunaan apalagi Perppu 1959 sama sekali tidak relevan dengan COVID-19. Yang lebih tepat ini gunakan saja UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, clear dan up to date," sambung dia.

Hermawan mengatakan pemerintah seharusnya belajar dari negara-negara lain dalam menangani COVID-19 ini. Beberapa negara, kata Hermawan, sukses menekan bertambahnya angka kasus positif Corona.

"Saya melihat pemerintah ini tidak mengambil sikap yang secara bijak ya. Artinya, jangan melihat Italia, justru Italia itu terlambat. Kita jangan melihat terlambatnya Italia. Lihat dong yang dilakukan oleh China di Wuhan, bahkan yang dilakukan oleh India, Malaysia. Nah, dulu Singapura tidak menyebutnya lockdown, tetapi pembatasan ketat yang dilakukan Singapura melebihi lockdown yang cenderung longgar yang dilakukan Italia," ujar dia.

Sebelumnya, Jokowi menyatakan saat ini pembatasan sosial skala besar perlu diterapkan. Kebijakan itu perlu disertai dengan darurat sipil.

"Saya minta kebijakan pembatasan sosial berskala besar, physical distancing dilakukan lebih tegas, disiplin, dan lebih efektif lagi," demikian kata Presiden Jokowi dalam rapat terbatas laporan Gugus Tugas COVID-19 yang disiarkan lewat akun YouTube Sekretariat Presiden, Senin (30/3).

"Sehingga tadi juga sudah saya sampaikan bahwa perlu didampingi adanya kebijakan darurat sipil," kata Jokowi.

Pihak Istana menjelaskan darurat sipil merupakan opsi terakhir yang akan diambil pemerintah. Hal ini untuk mengantisipasi pembangkangan yang bisa saja muncul di masyarakat.

"Darurat sipil itu pilihan paling terakhir. Jika dalam pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar ini menimbulkan pembangkangan atau terjadi kekacauan sosial, pilihan darurat sipil menjadi jalan," kata Deputi IV Bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi KSP Juri Ardiantoro kepada wartawan.*(Rikardo).

 

Artikel Terkait