Nasional

Reposisi Peran Balitbangkes: Membangun Ekosistem Riset Kesehatan Nasional

Oleh : indonews - Rabu, 22/04/2020 09:45 WIB

Abdullah Antaria. (Foto: ist)

 

Oleh: dr. Abdullah Antaria, MPH, Ph.D*)

Jakarta, INDONEWS.ID -- Perkembangan wabah COVID 19 di Indonesia beberapa waktu terakhir menunjukkan urgensi pengembangan riset kesehatan sebagai salah satu pilar utama dalam sistem kesehatan nasional. Tanpa adanya riset kesehatan yang matang, cepat dan akurat maka sulit diperoleh solusi intervensi kebijakan yang tepat, dan akhirnya berujung pada opsi kebijakan yang tidak  evidence based, dan bisa berdampak pada meningkatnya risiko kesehatan nasional, termasuk risiko pembiayaan kesehatan yang membesar akibat ketidaktepatan pengalokasian sumber daya kesehatan. Bahkan dalam konteks yang lebih makro, pada momentum pandemi covid-19 ini, kemampuan riset kesehatan menjadi salah satu penentu kekuatan ketahanan nasional.

Kondisi diatas, menuntut adanya manuver arah pengembangan kebijakan riset kesehatan Indonesia, dimana dengan kondisi sumber daya yang ada saat ini, kebijakan riset kesehatan harus mampu bergerak cepat menjawab kebutuhan intervensi pengentasan pandemi Covid-19. Disinilah peran Balitbangkes Kemenkes RI dipertaruhkan saat ini.

Artikel ini bertujuan untuk memberikan gambaran manuver kebijakan yang diperlukan agar Balitbangkes Kemenkes RI dapat berperan optimal untuk mengoptimalkan sumber daya yang dimilikinya dan mengkolaborasikan seluruh potensi sumberdaya riset kesehatan yang dimiliki pemangku kepentingan lainnya di Indonesia.

 

Pokok Persoalan Balitbangkes Saat Ini

Kurangnya fungsi pembinaan dan koordinasi pada riset kesehatan di lembaga/laboratorium penelitian kesehatan (jejaring penelitian kurang berkembang).

Saat ini Balitbangkes berfokus pada tugasnya dalam melaksanakan penelitian dan pengembangan kesehatan dibidang biomedik dan epidemiologi klinik, upaya kesehatan masyarakat, pelayanan kesehatan, hingga kefarmasian dan alat kesehatan. Balitbangkes juga berperan dalam menyusun kebijakan teknis penelitian dan pengembangan kesehatan serta melakukan monev atas pelaksanaannya.

Disisi lain riset kesehatan tidak hanya dilakukan oleh Balitbangkes, tetapi juga oleh banyak pemangku kepentingan lainnya baik Faskes, Perguruan Tinggi, Laboratorium, BUMN, maupun Pemda. Namun demikian tidak ada fungsi pembinaan dan koordinasi atas seluruh riset kesehatan dimaksud khususnya untuk kepentingan pembangunan kesehatan nasional. Kolaborasi antar pemangku kepentingan yang terbangun sendiri tidak terlembaga secara formal. Disisi lain, riset kesehatan yang dilakukan masing-masing pihak pun tidak berkembang secara optimal. Faktor pendanaan, fasilitas, maupun kompetensi sumber daya peneliti umumnya menjadi kendala dalam pengembangan riset kesehatan di masing-masing pemangku kepentingan. Tanpa adanya kolaborator atau koordinator yang membangun jejaring riset kesehatan dalam suatu ekosistem yang sinergis maka sulit riset kesehatan nasional dapat berkembang secara maksimal.

Terkait Riset kesehatan di daerah khususnya melalui peran Dinkes umumnya masih kurang berkembang. Disisi lain seharusnya kompetensi riset kesehatan di daerah menjadi prioritas untuk dikembangkan karena lebih memahami  persoalan epidemiologi di wilayahnya.  Selama ini di daerah, Balitbangkes lebih berfokus pada pendanaan riset melalui Dinkes. sementara banyak Dinkes Provinsi tidak didorong untuk mengkoordinasikan  dan mengembangkan/ mendukung/ meningkatkan kapasitas riset kesehatan lokal yang berbasis laboratorium setempat/perguruan tinggi lokal termasuk dalam hal arah pengembangan riset kesehatan evidence based yang applicable/scaleable untuk diterapkan pada kebijakan daerah maupun pada industri untuk menghasilkan produk/keluaran yang berguna bagi kepentingan umum (riset terapan).

 

Kelemahan Pengelolaan Kelembagaan

Saat ini dari sisi kelembagaan Balitbangkes terdapat masalah yang umum terjadi dan cenderung belum teratasi, misalnya terkait sumber daya manusia. Saat ini masih terjadi Kekurangan sumber daya peneliti termasuk peneliti Biomedis. Sementara pengembangan SDM tidak berbasis pada research career, lebih pada karir birokrasi. Hal ini berdampak pada sulitnya menghasilkan peneliti kesehatan unggul. Dalam hal ini diperlukan suatu bentuk kebijakan pengembangan research career path yang menjanjikan sehingga Balitbang benar- benar menjadi research center unggulan, dan tidak menjadi unit kerja inferior yang bersifat “transit karir”.

Disisi lain, dari sisi perencanaan, kedepan sebaiknya Balitbangkes tidak mengejar kuantitas jumlah peneliti, melainkan membina, mengampu, mengembangkan dan mendayagunakan jejaring pusat-pusat penelitian kesehatan unggulan di Perguruan Tinggi, Laboratorium, Rumah Sakit, hingga Sektor Bisnis. Sehingga beban cost Balitbangkes tidak berfokus pada penambahan personil peneliti, melainkan pada kualitas penelitian.

Dari sisi perencanaan, terlihat pula kendala bahwa pengelolaan target (KPI) masih bersifat proxy, sehingga ukuran kinerja hanya pada kuantitatif jumlah penelitian, jumlah rekomendasi, jumlah advokasi, belum pada kualitas hasil keluaran atau sejauh mana hasil penelitian berhasil diterapkan. Hal ini berdampak pada rutinitas organisasi yang hanya berfokus pada pemenuhan target, bukan pada peningkatan kualitas proses yang berdampak pada signifikansi hasil penelitian bagi kepentingan publik.

 

Belum Signifikannya Implementasi Rekomendasi Balitbangkes

Berdasarkan laporan kinerja, tergambar bahwa terdapat kendala yang terus berulang dari tahun ke tahun, yakni dalam pelaksanaannya, rekomendasi kebijakan yang dihasilkan Balitbangkes dan kemudian diserahkan kepada user masih belum sesuai dan membutuhkan perbaikan. Hal ini disebabkan lemahnya koordinasi yang dilakukan saat penyusunan rekomendasi. Komunikasi antar unit kerja Balitbangkes dengan user/ unit kerja lainnya baik dalam perencanaan penyusunan rekomendasi kebijakan maupun pada saat advokasi berjalan tidak intensif sehingga rekomendasi yang dihasilkan menjadi tidak efektif.

Di internal Balitbangkes sendiri tergambar bahwa komunikasi dan koordinasi antara sekretariat dan unit kerja internal lainnya tidak optimal sehingga pada saat pelaksanaan advokasi hasil rekomendasi masih terdapat perbedaan persepsi antara unit kerja penelitian dengan sekretariat. Salah satu penyebab utamanya adalah bahwa penyusunan rekomendasi yang applicable bagi user belum menjadi prioritas bagi unit kerja peneliti sehingga rekomendasi hasil penelitian seringkali tidak berdampak signifikan/ tidak sesuai kebutuhan/ tidak dimanfaatkan oleh user.

 

Belum Banyaknya Penelitian yang Berpotensi Paten dan Bermanfaat bagi Industri

Hingga saat ini belum banyak hasil penelitian yang berpotensi paten dan dikerjasamakan dengan industri. penelitian yang berpotensi paten memiliki nilai manfaat tersendiri dan hasilnya dapat dimanfaatkan bagi kepentingan publik/industri sekaligus meningkatkan kapabilitas organisasi dalam menindaklanjuti hasil penelitian secara berkelanjutan (sustainabilitas hasil penelitian).

Balitbangkes sendiri belum mengembangkan  fungsi lembaga yang mampu melakukan scaling up hasil penelitian sehingga aplicable untuk dimanfaatkan/dikembangkan langsung untuk kepentingan publik/industri. Dalam hal ini diperlukan kemampuan strategis Balitbangkes untuk bekerjasama dan berkoordinasi dalam pengembangan hasil penelitian.

 

Belum Berkembangnya Pendekatan Teknologi Informasi dan Data Analytics

Di era disruptif saat ini, setiap organisasi pemerintah dituntut untuk mampu menghasilkan keputusan/kebijakan yang akurat dalam waktu yang cepat. Tulang punggung untuk menghasilkan keputusan/kebijakan yang tepat sangat bergantung pada kemampuan organisasi dalam melakukan analisis big data secara komprehensif. Dalam hal ini pendekatan teknologi informasi dan kompetensi data analytics menjadi ukuran penting agar hasil rekomendasi penelitian dapat secara optimal diterapkan oleh user. Dalam hal ini diperlukan kemampuan untuk mensintesiskan/ mengkolaborasikan riset kesehatan Balitbangkes dengan berbasis pada teknologi informasi dan data analytics.

Salah satu tren yang berkembang saat ini adalah pendekatan Biomedical informatics. Yakni pendekatan interdisipliner dimana data dan informasi penelitian biomedis digunakan secara efektif untuk  kepentingan penyelidikan ilmiah, pemecahan masalah, dan pengambilan keputusan melalui pendekatan teknologi informasi dan data analytics.

Balitbangkes memiliki potensi analis/peneliti biomedis, epidemiologis, dan lainnya yang memilki potensi dalam menginterpretasikan data secara komprehensif. Namun hal tersebut belum didukung dengan fokus orientasi organisasi yang mengarah atau mendukung pada pengembangan pendekatan teknologi informasi dan data analytics, termasuk didalamnya pengembangan kemampuan asesmen teknologi kesehatan (HTA). 

 

Kesimpulan: Reposisi Peran Balitbangkes

Badan Litbangkes mempunyai fungsi penting dalam melaksanakan penelitian dan pengembangan kesehatan dibidang biomedik dan epidemiologi klinik, upaya kesehatan masyarakat, pelayanan kesehatan, hingga kefarmasian dan alat kesehatan. Balitbangkes juga berperan dalam menyusun kebijakan teknis penelitian dan pengembangan kesehatan serta melakukan monev atas pelaksanaannya.

Namun terdapat peran penting lainnya yang seharusnya juga dikembangkan, yakni melakukan koordinasi untuk mensinergikan semua sumber daya penelitian dan pengembangan kesehatan dalam suatu ekosistem riset kesehatan nasional. Kemampuan inilah yang belum dimiliki oleh Balitbangkes, padahal kemampuan  mengkoordinasikan dan mensinergikan seluruh sumber daya nasional sangat diperlukan untuk menyelesaikan ragam pokok persoalan sebagaimana yang diuraikan diatas. Seharusnya Balitbangkes tidak berperan untuk sebatas mengembangkan dirinya tetapi justru membangun tumbuhnya suatu ekosistem riset kesehatan nasional yang unggul.

Dengan sumber daya yang dimilikinya saat ini Balitbangkes tidak dapat berperan sendiri melakukan riset kesehatan. Banyak potensi sumber daya dalam negeri yang dapat disinergikan bersama. Hal ini membutuhkan satu kunci utama, yakni reposisi peran Balitbangkes, dimana Balitbangkes diberikan wewenang untuk melakukan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian atas pengembangan ekosistem riset kesehatan yang melibatkan seluruh Potensi Nasional.

Selain itu jelas Balitbangkes sendiri juga harus merubah diri, baik dari sisi visi, perencanaan, anggaran, leadership hingga managerial system yang dibangun. Hal tersebut sulit terjadi jika Balitbangkes hanya berfokus business as usual, tetapi dibutuhkan perubahan paradigma peran organisasi secara signifikan, tidak hanya menjadi sekedar lembaga penelitian yang unggul melainkan menjadi pionir atas lahirnya suatu ekosistem riset kesehatan nasional yang kuat dan berkelanjutan.

Reposisi peran dimaksud penting dan sangat menentukan kecepatan Balitbangkes untuk mengkolaborasikan seluruh stakeholders yang sangat dibutuhkan di era disruptif saat ini untuk mengembangkan berbagai alternatif kebijakan intervensi kesehatan yang diperlukan oleh Negara.

 

Rekomendasi Kebijakan: Beberapa Langkah Strategis Yang Diperlukan

Mengacu pada pokok persoalan diatas, terdapat beberapa upaya/langkah strategis yang harus segera dilakukan:

  1. Memberikan Tugas/Wewenang Baru untuk Melakukan Fungsi Pembinaan dan Koordinasi terhadap seluruh Fasilitas Riset Kesehatan termasuk Laboratorium milik Pemerintah Pusat/Daerah/ Perguruan Tinggi/RS/ BUMN/ Publik/ Swasta/ Masyarakat dalam upaya mengembangkan jejaring Riset Kesehatan Nasional.
  2. Meningkatkan kapasitas/kompetensi/sumber daya riset kesehatan daerah (riset lokal) berbasis pada kolaborasi Pemda/Perguruan Tinggi/Faskes/Industri.
  3. Meningkatkan kemampuan pendampingan/ kolaborasi riset kesehatan dengan lembaga non pemerintah/ faskes/ swasta.
  4. Melakukan pemetaan dan sistem pendataan potensi sumber daya riset kesehatan nasional
  5. menyusun grand design pengembangan ekosistem riset kesehatan nasional
  6. membangun suatu national health research knowledge center sebagai pusat kolaborasi riset kesehatan nasional melibatkan seluruh potensi terkait (BRIN/BUMN/RS/Asosiasi/dll) yang berperan dalam membangun kolaborasi penelitian kesehatan secara nasional
  7. mengembangkan alternatif mekanisme pendanaan/pembiayaan riset kesehatan nasional non APBN/D
  8. Melakukan pembenahan organisasi secara struktural berupa:
  9. Pembenahan sistem perencanaan, sistem monitoring evaluasi, dan tata kelola organisasi.
  10. Perbaikan sistem penilaian kinerja organisasi
  11. penguatan program penelitian berpotensi paten
  12. penambahan fungsi/unit kerja yang berfokus Penelitian Berkelanjutan/ Penerapan Hasil Penelitian
  13. Pengembangan/penyempurnaan sistem pola karir peneliti kesehatan melalui suatu mekanisme research career path
  14. Perbaikan pola komunikasi dan koordinasi internal Balitbangkes
  15. penambahan SDM Peneliti yang Kompeten termasuk research professor
  16. Pengembangan jejaring kolaborasi penelitian Luar Negeri
  17. Pengembangan jurnal skala Internasional per pusat penelitian/ balai besar.
  18. Pengembangan kompetensi teknologi informasi dan data analytics serta pengembangan fasilitasnya di setiap pusat penelitian.
  19. pengembangan kemampuan internal dalam melakukan health technology assessment.

*) Penulis adalah Dosen Pasca Sarjana pada Universitas UHAMKA Mata Kuliah Sumber Daya Manusia Kesehatan untuk Mutu Serta Administrasi & Kebijakan Kesehatan, dan mantan Staf Pada Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza, Kementerian Kesehatan RI.

Artikel Terkait