Bisnis

Kebijakan Gugus Tugas feat Kemenhub, Nasib Maskapai Penerbangan Kian Tak Menentu

Oleh : Rikard Djegadut - Jum'at, 05/06/2020 10:30 WIB

Industri maskapai penerbangan Indonesia (Foto:ist)

Jakarta, CNBC Indonesia - Ibarat jatuh tertimpa tangga pula. Itulah ungkapan yang dapat menggambarkan kondisi dan nasib perusahaan maskapai penerbangan Indonesia yang kian tak menentu dan terus mendapat cobaan berat. 

Dalam beberapa waktu terakhir, fenomena buka-tutup operasional maskapai penerbangan terjadi. Citilink dan Lion Air Group mengambil kebijakan tersebut dengan alasan masing-masing.

Per hari ini, Jumat (5/6/20) Lion Air Group setop operasi sampai waktu yang belum ditentukan. Adapun AirAsia Indonesia bahkan beberapa kali memilih menunda pembukaan layanan operasi dari jadwal yang sebelumnya direncanakan, sejak setop operasi 1 April 2020.

Fenomena buka-tutup operasional maskapai ini tidak lepas dari adanya sejumlah regulasi selama pandemi Covid-19. 

Pengamat penerbangan dari Arista Indonesia Aviation Center (AIAC) Arista Atmadjati, menilai, regulasi yang diterapkan pemerintah terlalu rumit. Hal ini berdampak pada operasional maskapai yang juga dituntut banyak melakukan penyesuaian.

"Karena regulasi untuk penumpangnya itu terlalu rumit. Sehingga penumpang itu banyak membatalkan mendadak atau banyak ditolak sesampainya waktu mau check in di bandara," kata Atmadjati mengutip CNBC Indonesia, Kamis (4/6/20).

Dalam kondisi tersebut, beban maskapai yang sudah terpukul dampak Covid-19, makin memberat. Pasalnya, maskapai diwajibkan mengembalikan uang tiket calon penumpang yang gagal terbang.

"Nah pada waktu penumpang enggak jadi berangkat dia kan refund tiket. Maskapai menjanjikan refund tiket 100%, nggak ada potongan. Nah, di situlah maskapai saat ini kondisi keuangan berat," tutur Atmadjati.

Apalagi, pembatalan ini dilakukan secara mendadak. Hal ini membuat maskapai sulit menutup biaya operasional akibat rendahnya okupansi pesawat yang disebabkan pembatalan mendadak.

"Penumpang banyak batal, masalahnya mendadak kan, cari penumpang sekarang go show itu hampir nggak mungkin. Kalau penumpang banyak ditolak dan nggak berangkat mendadak, pesawat itu kosong. Artinya rugi karena cari penumpang go show itu sekarang nggak mungkin," ungkap Atmadjati.

Banyak penumpang yang telanjur membeli tiket pada akhirnya tidak bisa terbang karena tak memenuhi persyaratan bagi orang-orang keperluan khusus yang boleh terbang saat pandemi corona. Hal ini membuat maskapai kian tertekan.

"Biaya refund fresh money itu memberatkan keuangan maskapai," tambahnya..

Apalagi, menurutnya kewajiban calon penumpang menunjukkan hasil tes PCR juga memberatkan. Di sejumlah lokasi, dia menyebut bahwa biaya tes PCR ada yang sampai Rp 2,5 juta untuk sekali tes. Tes PCR (polymerase chain reaction) salah satu syarat yang harus dipenuhi penumpang sebelum menggunakan jasa angkutan udara.

"Sekarang ilustrasi harga tiket Jakarta-Jogja, Jakarta-Semarang, Jakarta-Solo, itu rata-rata cuma Rp 600-700 ribu. Sementara dia harus beli PCR agar lolos, harganya Rp 2,5 juta. Ini kan policy jalan sendiri-sendiri tidak dipikirkan satu atap," bebernya.

"Saya nggak ngerti gimana bisa keluar aturan gitu. Artinya Kementerian Perhubungan kalah suara, dia sudah nggak berkutik apa-apa sama Gugus Tugas. Karena ada yang nggak masuk akal," tandasnya.

Perubahan aturan dan teknis pelaksanaan dalam waktu dekat, juga menurutnya tak disosialisasikan dengan baik oleh regulator. Inilah yang membuat publik kemudian dibingungkan.

"Karena komunikasi dari regulator kepada penumpang juga jelek, sangat jelek. Kedua juga berubah-rubah, ini juga membingungkan. Saya saja yang sudah kerja 28 tahun sudah males baca, puyeng. Karena kalau baca kan harus pasal per pasal. Kalau sarjana hukum enak makan saja itu. Kalau kita yang bukan sarjana hukum kan males," urainya.(Rikard Djegadut)

Artikel Terkait