Nasional

Gibran: Dinasti Politik Atawa Nepotisme Politik?

Oleh : very - Minggu, 26/07/2020 21:01 WIB

Pengamat politik dari President University AS Hikam. (Foto: channel indonesia)

Oleh: Muhammad AS Hikam*)

INDONEWS.ID -- Upaya pembelaan diri calon wali kota (cawalkot) Solo, Gibran Rakabuming Raka (GRR), terhadap tudingan bahwa ia mempraktikkan politik dinasti seakan-akan sahih. Ia bilang "bingung" dengan tudingan tersebut, sebab kalau dipandang dari sisi legal dan politik maka kritik publik di negeri ini tak pas. Menurutnya, dirinya tak melanggar aturan apapun dalam hal pencalonan dan nanti "kontestasi" ini yang menentukan kalah atau menang adalah para pemilih. Bukan siapa-siapa.

Tapi, hemat saya, GRR lupa atau melupakan sisi etika dari politik: Berlakunya "Aji mumpungisme" yang dianggap para pengritiknya tidak elok dilakukannya. Dan itulah yang kini sedang marak di ruang publik, terutama di sosmed! Sayangnya istilah yang sudah terlanjur popular (walaupun kurang tepat) adalah apa yang disebut dengan politik dinasti!

Maka, ada benarnya jika Gibran tidak setuju dengan pendapat bahwa modus pencalonan wali kotanya adalah keliru atau praktik politik dinasti. Sebab secara aturan main (Konstitusi dan UU) dan politis tidak ada yang dia langgar.

Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengaur masalah legal, tidak melarang anggota keluarga Presiden atau Gubernur atau Bupati dan Walikota berikut wakil-wakil mereka untuk menjadi calon di dalam Pilkada dan Pileg.

Dari sisi politik, putera sulung Presiden Jokowi itu didukung nyaris semua parpol di DPRD kota Solo. Bahkan mungkin saja GRR akan menjadi calon tunggal!

Namun Gibran dan pendukungya semestinya juga peka terhadap faktor etik, yakni bahwa posisinya sangat diuntungkan karena ia adalah putra petahana Presiden RI. Padahal siapapun tahu dirinya konon pernah mengatakan tak tertarik masuk politik, dan fakta bahwa pengalaman dalam ususan politik juga masih minim. Hal inilah yang mudah untuk diasosiasikan publik dengan tindakan nepotisme politik. Padahal penghapusan nepotisme ini adalah salah satu yang harus amanat reformasi dan bagian dari praktik demokratisasi yang sehat!

Secara struktural, memang faktanya selama dua dasawarsa pasca-reformasi di negeri ini, ihwal nepotisme masih belum menjadi isu besar. Malah dengan adanya keputusan MK yang menghalalkan pencalonan mereka yang punya hubungan keluarga sangat dekat itu bisa diartikan memberi pembenaran konstitusional bagi berbagai laku nepotisme politik tersebut. Inilah yang membuat maraknya "godaan" untuk membangun dinasti-dinasti politik di seantero negeri!

Itu sebabnya kenapa secara struktural nepotisme politik menjadi hanya pelanggaran etik yang - sayangnya - tidak selalu dianggap serius di dalam perpolitikan nasional pasca-reformasi. Pihak-pihak yang mempertanyakan atau memedulikan aspek etika dalam politik akan cenderung dianggap remeh atau moralis atau dituding karena iri dengan si calon nepotis (yang biasanya sangat kuat). Akibatnya bisa malah berbalik kepada pengeritik, apalagi kalau si calon nepotis ditopang oleh dana dan kekuatan politik besar serta kultur feodal yang masih bertahan dalam masyarakat.

Dalam kasus GRR, prediksi saya, tanpa ada tekanan kuat dari masyarakat sipil di Solo dan nasional, putra Presiden Jokowi itu akan mulus-mulus saja sebagai cawalkot dan walkot. Mitos bahwa GRR akan dikalahkan oleh kotak kosong saya kira hanya semacam "wishful thinking" saja. Kasus pilkada Kota Solo beda dengan yang terjadi di pilkada Kota Makassar beberapa tahun lalu.

Namun dalam gambar besarnya, masalahnya adalah bahwa kasus GRR ini akan sangat merugikan proses penguatan demokrasi kita ke depan, apalagi dalam kondisi makin mundurnya praktik demokrasi pada beberapa tahun belakangan ini.

Kasus GRR, memang, hanyalah salah satu (mungkin paling menonjol) saja dari praktik-praktik nepotisme politik di era pasca-reformasi. Ada berbagai contoh kasus nepotisme politik yang berbeda tetapi dampak negatifnya terhadap arsitektur dan substansi demokratisasi sama saja: makin mengaburkan, melunturkan, dan melemahkannya.

Indonesia bisa saja menganggap dan dianggap masih sebagai negara demokrasi. Tetapi kualitasnya makin mundur dan sangat rentan bagi kembalinya sistem politik lama: otoritarianisme.

*) Penulis adalah pengamat politik dari President University

Artikel Terkait