Nasional

Said Didu: PMN Jiwasraya Bisa Jadi Skandal Century Jilid II, Pelakunya Sama

Oleh : very - Rabu, 23/09/2020 10:30 WIB

Demonstrasi Jiwasraya. (Foto: CNNIndonesia.com)

 

Jakarta, INDONEWS.ID – Muhammad Said Didu dalam sebuah acara yang dipandu oleh Hersubeno Arief mengatakan bahwa penyertaan modal negara (PMN) dalam kasus perampokan Jiwasraya merupakan sebuah tindakan yang salah.

“Mengambilalih terhadap perampokan itu sangat salah. Dan Jiwasraya ini jelas dirampok. Tapi negara mengambil alih untuk menyelamatkannya melalui penyertaan modal negara,” ujar mantan Sekretaris Kementerian BUMN itu dalam acara yang ditayangkan FNN, di Jakarta, Selasa (22/9).

Didu mengatakan, dalam dunia perbankan penyertaan modal negara itu disebut dengan bail out. Karena itu, menurutnya, kasus yang terjadi dengan Jiwasraya itu sama seperti kasus yang menimpa Bank Century. “Dan orang yang melakukannya juga sama, yaitu Sri Mulyani. Dan itu perlu diwaspadai,” ujarnya.

Didu menjelaskan kronologis terjadinya penyertaan modal negara terhadap Jiwasraya itu. Dikatakannya, Jiwasraya itu penah mengalami defisit sebesar Rp3 triliun akibat krisis pada tahun 1998 lalu. Pada tahun 2006-2007 Jiwasyara menyampaikan kepada Menteri Keuangan waktu itu, Sri Mulyani, agar memberi penyertaan modal negara terhadap Jiwasraya. Namun waktu itu Sri Mulyani menolaknya.

Sri Mulyani menyiapkan dana sebesar Rp20 triliun untuk menyelamatkan Jiwasyara. Menurut Didu, uang tersebut sama jumlahnya dengan dana yang dirampok yang mencapai Rp20 triliun.

“Yang menarik, jumlah uang itu sama juga dengan jumlah uang yang disiapkan untuk melakukan talangan terhadap Bank Century yaitu sebesar Rp6,7 triliun dengan jumlah uang yang dirampok sebesar Rp6,7 triliun. Jadi modusnya sama saja,” ujarnya.

Selain itu, ada kesamaan yang terjadi antara kasus Jiwasraya dengan Bank Century. Keduanya sama-sama terjadi menjalang pemilihan presiden. Kasus Bank Century terjadi pada 2009 lalu, sedangkan kasus Jiwasyara terjadi pada 2016-2019.

“Perampokan Jiwasyara maupun Bank Century terkait dengan kekuasaan. Jadi penyertaan modal negara ini bukan untuk menyelamatkan Jiwasyara tetapi untuk menutupi perampokan yang terjadi menjelang pilpres 2019,” ujarnya.

Namun, kata Didu, perampokan terhadap Jiwasraya ini jauh lebih rumit ketimbang perampokan terhadap Bank Century, karena dalam kasus Bank Century perampoknya terfokus.

 

Membandingkan Kasus Bank Century dan Jiwasraya

Sebelumnya, seperti dikutip CNNIndonesia.com, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan masalah keuangan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) tak berdampak sistemik.

Pernyataan mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu berseberangan dengan Ketua Badan Pemeriksa Agung (BPK) Agung Firman Sampurna. Agung mengatakan persoalan Jiwasraya bersifat gigantik, yang jika tidak diatasi bisa berdampak sistemik.

Sri Mulyani beralasan bahwa Jiwasraya bukan bank, melainkan asuransi. Ia berpegang pada dasar hukum Undang-undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK) yang menyatakan lembaga jasa keuangan yang berpotensi memberi risiko sistemik adalah bank.

Sistemik diartikan sebagai masalah keuangan satu perusahaan yang mempengaruhi ekonomi Indonesia dan berpotensi memunculkan krisis. Di Indonesia, contoh kasusnya Bank Century saat disebut bank gagal yang berdampak sistemik dalam rapat konsultasi Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).

Ketika itu, KSSK memutuskan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik dan menyerahkan penanganannya kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Ketika itu, Sri Mulyani juga yang menjabat sebagai Menteri Keuangan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Ihwal Bank Century dicap bank sistemik ketika nasabah kelas kakap tak bisa menarik dana sebesar Rp2 triliun. Saat itu, Bank Indonesia (BI) membenarkan bahwa Bank Century kalah kliring, tak bisa membayar dana nasabah, sehingga terjadi rush.

Pengawasan bank ketika itu masih di bawah BI. Bukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) seperti saat ini. Pada masa itu, BI menyampaikan surat kepada Sri Mulyani tentang penetapan status bank gagal pada Bank Century.

Dalam rapat diketahui bahwa rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) Bank Century minus hingga 3,52 persen. Untuk menaikkan CAR menjadi 8 persen, LPS mengucurkan dana Rp2,77 triliun ke Bank Century.

Kemudian, LPS kembali mengucurkan dana kedua kalinya sebesar Rp2,20 triliun untuk memenuhi ketentuan tingkat kesehatan bank. Lalu, kembali mengucurkan Rp1,55 triliun untuk menutup kebutuhan CAR berdasarkan penilaian BI.

Pada 21 Juli 2009, LPS kembali mengucurkan dana Rp630 miliar untuk menutup kebutuhan CAR Bank Century yang berdasarkan hasil assesment BI atas hasil auditor kantor akuntan publik. Secara total, dana yang dikucurkan mencapai Rp6,76 triliun.

Kasus Bank Century terjadi saat krisis keuangan global pada 2008. Namun, Fauzi Ichsan yang saat itu menjabat sebagai Ekonom Standard Chartered Bank mengatakan Bank Century seharusnya ditutup jauh hari sebelum krisis terjadi. Sebab, bank itu melanggar aturan-aturan BI sejak 2004-2008.

Ekonom lainnya, Iman Sugema, juga menilai keputusan menalangi Bank Century ceroboh karena bank tersebut tidak berdampak sistemik. "Bank ini sangat kecil. Asetnya hanya 0,05 persen dari total sistem perbankan. Bagaimana bisa kasih dampak sistemik," jelasnya.

Kini, bandingkan dengan Jiwasraya. Pada September 2019, aset Jiwasraya mencapai Rp25,68 triliun. Jumlah aset perusahaan asuransi jiwa BUMN itu berkisar 5 persen dari total aset industri asuransi jiwa yang sebesar Rp539,31 triliun.

Pada periode yang sama, kewajiban (liabilitas) Jiwasraya tercatat Rp49,60 triliun atau lebih dari 10 persen terhadap total liabilitas industri asuransi jiwa yang sebesar Rp465,80 triliun.

Jiwasraya tersandung kasus gagal bayar produk saving plan senilai Rp802 miliar per Oktober 2018. Sampai saat ini, total gagal bayar perseroan mencapai Rp12,4 triliun. Sementara, ekuitasnya negatif Rp23,92 triliun. (*)

Artikel Terkait