Opini

Pergeseran Politik Desentralisasi

Oleh : luska - Senin, 19/10/2020 07:17 WIB

Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri periode 2010-2014 Djohermansyah Djohan

Penulis : Djohermansyah Djohan (Guru Besar IPDN, Dirjen Otda 2010-2014, Pj Gubernur Riau 2013-2014).

 

Jakarta, INDONEWS.ID - Lain koki lain masakannya.
Lain presiden lain pula kebijakannya.
Bandul desentralisasi oleh Presiden SBY lebih diletakkan di tingkat provinsi ketimbang di kabupaten/kota.
Kewenangan yang semula berada di kabupaten/kota seperti pertambangan, kehutanan, perkebunan, kelautan dan perikanan, serta pendidikan menengah ditarik ke provinsi sebagaimana diatur dalam UU Pemda No 23/2014.

Mengapa? Karena kewenangan tersebut tidak diurus dengan baik, disalahgunakan, menimbulkan kerusakan ekologis, atau terlalu berat dipikulkan ke pundak kabupaten/kota, serta sulitnya pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah pusat untuk menjangkau 508 kabupaten/kota yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.
Politik desentralisasi ala Presiden SBY ini bisa dinamai politik desentralisasi berkeseimbangan. Mencoba menyeimbangkan wewenang yang dipegang kabupaten/kota dengan provinsi sesuai kapasitasnya masing-masing.

Presiden JKW melalui UU omnibus law Cipta Kerja menggeser politik desentralisasi berkeseimbangan itu menjadi politik desentralisasi berkeseimbangan terkendali. Artinya, terhadap kewenangan Pengelolaan yang telah diserahkan kepada daerah dilakukan pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah pusat lewat NSPK (norma, standar, pedoman, dan kriteria).
Bahkan, pemerintah pusat dapat menarik kewenangan itu bila daerah tidak mampu mengurusnya sesuai pakem desentralisasi di negara kesatuan.

Meskipun demikian, kewenangan pemerintahan yang telah diserahkan ke pemda Provinsi/kabupaten/kota pada dasarnya tetap tidak berubah. Kecuali urusan Minerba yang sesuai UU No 3/2020 ditarik dari provinsi ke pusat.

Hanya saja bila daerah tidak mampu menjalankan NSPK, maka kewenangannya tersebut berupa pemberian izin berusaha, diambil alih oleh pemerintah pusat.
Tentu saja setelah melewati prosedur tindakan administratif.

Mengapa dibuat politik desentralisasi berkeseimbangan terkendali itu? Karena adanya red tape, pelayanan izin berusaha tidak investor friendly, tidak ada standar, tidak terpadu, tidak ada kepastian lama penyelesaian, terjadi praktik jual beli perizinan, dan mengganggu penciptaan lapangan kerja.

Sebetulnya pergeseran bandul desentralisasi bukan hal baru. Dia bisa terjadi, terutama bila ada pergantian kepala pemerintahan, amandemen konstitusi, perkembangan globalisasi, kemajuan teknologi, dan bahkan bencana pandemi yang melanda dunia.
Sekali air besar, sekali tepian beralih, kata pepatah orang Minang.

Jadi, pergantian Presiden dari SBY ke JKW, dan pandemi yang telah menumbangkan ekonomi kita sampai mencapai resesi dengan dua kali pertumbuhan minus pada tahun 2020 ini, agaknya telah menyebabkan timbulnya pergeseran politik desentralisasi itu.

Terlepas dari penyusunan UU Omnibus law Cipta Kerja yang amat terburu-buru dan kurang melibatkan publik, namun yang mesti diingat jangan sampai NSPK berupa PP, Perpres dan Permen yang dibuat pemerintah pusat telat, sehingga UU Omnibus law Cipta Kerja tidak bisa dieksekusi dengan cepat. Padahal waktu kerja efektif pemerintahan JKW tersisa sekitar 3 tahunan.

Pemda sendiri baiknya menaati kebijakan baru desentralisasi itu, dan berusaha membangun kapasitas dengan fasilitasi pusat untuk memenuhi ketentuan NSPK, sehingga tidak sampai terjadi pengambilalihan kewenangan daerah oleh pusat.

Lebih dari pada itu pengawalan setiap tahapan dalam implementasi kebijakan desentralisasi ala Presiden JKW ini oleh segenap stakeholder perlu dilakukan.

Pada kesempatan pertama setelah UU Omnibus law itu diundangkan, sosialiasi kepada jajaran pemda perlu diprioritaskan agar jangan sampai terjadi kebingungan.

Artikel Terkait