Nasional

Resensi Buku: Kasal Kedua dari Tanah Pasundan, Laksamana TNI Ade Supandi SE, MAP

Oleh : Rikard Djegadut - Rabu, 13/01/2021 17:59 WIB

Cover Buku berjudul Kasal Kedua dari Tanah Pasundan, Laksamana TNI Ade Supandi SE, MAP

Jakarta, INDONEWS.ID - Apa yang terjadi pada masa kini tidaklah berasal dari kekosongan masa lampau, karena di dalamnya ada dimensi ruang dan Waktu yang terisi oleh sejarah dengan segala kisah dan peristiwa yang mewarnainya. Kita semua berada dalam pusaran tersebut dan setiap orang memiliki pengalaman hidupnya sendiri yang dipengaruhi secara kuat oleh faktor lingkungan di sekelilingnya yang akhirnya membentuk karakter setiap orang dalam menjalani berbagai peran kehidupan.

Demikianlah kalimat pembuka sekapur sirih penulis dalam buku otobiografinya berjudul "Kasal Kedua dari Tanah Pasundan, Ade Supandi S.E., M.A.P.,". Buku ini ditulis sendiri oleh Laksamana Ade Supandi, dibantu oleh Tim dari Dinas Penerangan Angkatan Laut (Dispenal) Markas Besar Angkatan Laut, Cilangkap Jakarta yang diketuai oleh Laksamana TNI Gig Jonias Mozes Sipasulta, M.Mar.Stud serta Koloner Laut (P) Syufenri, M.Si dan S.S Budi Raharjo,M.M masing-masing sebagai Wakil Koordinator dan editor.

Penulisan buku ini jauh dari kesan kaku. Dengan menggunakan bahasa yang ringan dan kalimat yang mudah dimengerti menjadikan pembaca betah membaca buku setebal 342 halaman ini betah hingga akhir. Terlebih lagi, foto-foto high resolution dengan kualitas kertas yang premium membuat buku ini begitu istimewa dan menarik di mata pembaca.

Menyadari bahwa buku ini merupakan sebuah buku otobiografi, maka pembaca tentu saja dapat menebak apa isi di dalamnya. Buku ini memuat kisah hidup, idealisme, dan perjalanan karir seorang Ade Supandi, baik itu latar belakang keluarga, budaya, masa kanak-kanak, kesetiannya menjadi seorang TNI hingga menduduki jabatan puncak di TNI Angkatan Laut sekaligus menjadikannya "orang kedua dari tanah Pasundan yang menjadi Kasal (Kepala Staf Angkatan Laut".

Untuk itulah, Ade Supandi bahkan dengan tegas mengatakan bahwa setiap jejak yang dilalui tidak hanya dimaknai sebagai serangkaian kebetulan sesuai skenario penyelenggaraan Tuhan Yang Maha Esa, Allah Subhannahu Wa Ta’ala, karena sesuai perintah-Nya kita juga wajib untuk selalu berikhtiar dan menyusun rencana dalam menjalani hidup.

"Oleh karena itu tentunya setiap orang memiliki kisahnya sendiri begitu juga dengan hari-hari penting yang akan dimaknai dan dikenangnya sepanjang hayat. Ada banyak pelajaran hidup yang dapat dibagi untuk anak cucu sebagai pandu untuk menghadapi masa depan yang tentu tidak Iebih mudah," tulis Ade Supandi.

Inilah sesungguhnya alasan yang mendorong dirinya mengapa harus menyusun buku otobiografi dengan mencoba merekonstruksi apa yang terjadi mulai dari saat Iahir dalam pengasuhan dan bimbingan orang tua, lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat, lingkungan kerja, hingga perjalanan hidup saat ini.

Namun Ade Supandi mengingatkan bahwa buku ini bukanlah panduan untuk meraih kesuksesan apalagi cerita tentang kesuksesan, namun semata-mata hanyalah sebuah pesan untuk anak cucu agar menjalani kehidupan dengan penuh rasa syukur, mengembangkan diri dalam reI-rel etika melalui kerja keras, kerja cerdas, dan senantiasa dalam jalan yang diridhoi-Nya.

Secara khusus penulisan buku otobiografi ini ia persembahkan dengan sepenuh hati untuk kedua orang tua atas pengasuhan serta doa dan kasih sayang mereka yang tidak bertepi. Karena itulah seorang Ade Supandi boleh tumbuh sebagai pribadi yang memiliki keberanian untuk menjalani kehidupan yang penuh dinamika ini.

Dirinya mengaku tidak banyak yang diinginkan dengan kehadiran buku otobiografi ini kecuali sebuah harapan agar dapatnya menjadi kaca benggala sebagai media refleksi diri dan memberikan manfaat kepada anak cucu dalam menghadapi kehidupan di masa kini dan masa datang.

Pada Bab I dan II buku ini, difokuskan untuk melihat masa kecil Ade Supandi. Sementara pada Bab III, cerita mengalir tentang bagaimana Ade Supandi memantapkan pilihannya meniti karir di TNI Angkatan Laut.

Pada Bab IV, pembaca disuguhkan dengan kisah-kisah Ade Supandi membangun rumah tangga bahagia. lalu pada Bab selanjutnya, disuguhkan kisah perjalanan karir dan pematangan jiwa kepemimpinan seorang Ade Supandi yang dimulai ketika menjadi Kodikopsla, Komandan Guskamlar, selanjutnya kembali ke Almamater menjadi Gubernur AAL dan menjadi Panglima Armada RI Kawasan Timur untuk seterusnya dipercayakan menduduki posisi strategis di Cilangkap hingga menjabat Kepala Staf Angkatan Laut.

Selanjutnya pada Bab VII, pembaca akan disuguhkan dengan berbagai kesan dan padangan tentang sosok Ade Supandi berserta kepemimpinannya di mata para sahabat, keluarga dan kolega dan pada bab penutup diakhiri dengan apresiasi dari para kolega angkatan laut negara sahabat.

Mimpi Sang Ibu

Ilmuwan Sejarah selaku Tenaga Profesional Lemhanas RI, Prof Dr. Anhar Gonggong dalam pengatar buku ini menyoroti pandangan sang ibu kandung Laksamana TNI Ade Supandi yang ditemukan dalam Bab VIII buku ini berisi pandangan kolega dan keluarga.

lbu kandung Laksamana TNI Ade Supandi, Djuariah memberikan pengalaman yang dialaminya ketika beliau mengandung Ade Supandi: “Pernah Saya mimpi naik ke puncak sebuah gunung yang tinggi dan duduk di tengahnya, itu kalau tidak salah saat mengandung usia sembilan bulan”.

Ade Supandi yang lahir dengan mimpi lbundanya, kemudian berproses menuju puncak dengan menulis jalan hidupnya melalui Akademi Angkatan Laut dan kemudian selanjutnya, harapan dari bapak mertuanya, yang hanya mengharapkannya untuk menjadi Kasal, ternyata terwujud. Ade Supandi menjadi laksamana untuk kemudian menjadi KASAL.

Si Jahil yang Jadi Komandan Laut NKRI

Penggunaan “nama” si Jahil dan kata Komandan bukanlah sekadar dua kata tanpa makna. Kata si Jahil yang tidak hanya diungkapkan oleh teman-teman “sepermainannya” melainkan diungkapkan sendiri oleh ibu kandung yang terhormat Hj. Djuariah.

“Waktu Sekolah Dasar, Ade Supandi sangat jahil, suka berkelahi dengan saudaranya yang laki-laki. Sejak kecil, Ade Supandi dan kakaknya yang sudah meninggal, sudah terlihat bakat kepemimpinannya”.

Si Jahil menjadi Komandan. Apa yang nampak dari perkaitan antara dua kata itu, adalah berlangsungnya suatu proses dalam perjalanan waktu yang dilewati oleh seorang pribadi-individual yaitu suatu proses pribadi anak-anak, remaja menuju dan menjadi dewasa, selanjutnya pribadi individual matang dan memang berkembang dan memiliki kapasitas untuk menjadi pemimpin, yang oleh ibundanya digambarkan “sejak kecil terlihat bakat kepemimpinannya”.

Sejak masih remaja, Ade Supandi dipercaya oleh ayahnya untuk ikut mengelola bisnis kulit ayahnya. Ayahnya memang juragan kulit. Tampaknya si Jahil ini memang memiliki bakat-bakat tertentu yang pada akhirnya menjadi bekalnya menuju dan menjadi komandan, Kasal pada periode usia kematangannya di lingkungan Angkatan Laut.

“Kesukaannya latihan pencak silat di depan mesjid. Latihan bersama saudara-saudara yang lain, serta para pekerja. Di sini banyak yang bisa silat. Sedari kecil setiap pulang sekolah langsung pulang ke rumah. Dia jarang main, tapi suka otak-atik barang elektronik yang ada di rumah, seperti jam dinding, radio yang ada di rumah”.

Pencak silat adalah salah satu jenis olahraga bela diri “tradisional’ bangsa Indonesia yang di pelbagai daerah berkembang dengan gaya masing-masing. Dengan demikian, salah satu cara untuk latihan, yang akan menjadi persyaratan memasuki lingkungan militer telah dimilikinya.

Sebaliknya, kesukaannya untuk mengotak-atik barang elektronik di rumahnya, juga merupakan hal yang akan memberinya bekal memasuki Angkatan Laut yang akan “tiap saat bergaul dengan mesin kapal perang dimana ia akan ditugaskan”.

Kesaksian dari Para Mantan Komandan

Salah satu kesaksian tentang kecerdasan-keterampilan berfikir Ade Supandi berasal dari Laksamana Bernard Kent Sondakh ketika beliau harus menyelesaikan tugas yang diberikan oleh Kasal Kasenda, yaitu agar semua kapal kombatan membuat panduan tempur korvet dan kapal Destroyer Escort (DE).

Penunjukan Letnan Dua (P) Ade Supandi untuk bekerja bersama dengan Kent Sondakh menunjukkan bahwa Perwira pertama ini dianggap memang mempunyai kelebihan tertentu. Keterangan selanjutnya diberikan oleh mantan Kasal yang lainnya, yang pernah bertugas satu kapal dengan Ade Supandi, Laksamana TNI (Purn) Achmad Sutjipto ketika masih berkedudukan sebagai Komandan KRI Ahmad Yani.

Di kapal itu Ade Supandi menjabat sebagai Kepala Departemen Operasi dengan pangkat Kapten. Laksamana TNI Ahmad Sutjipto mengungkapkan, sebenarnya jabatan itu adalah untuk Perwira dengan pangkat Letnan Kolonel. Keadaan personel Angkatan Laut masih kekurangan Perwira dengan pangkat Perwira tingkat itu, maka Ade Supandi dipilih, walau masih berpangkat Kapten.

Tetapi pilihan terhadap Kapten Ade Supandi untuk menduduki jabatan yang seharusnya “jauh” lebih tinggi itu, tidaklah mengecewakan. Hal itu diakui, alhasil tak salah pilih. Ade dinilai mampu menjalankan tugasnya sebagai Kepala Departemen Operasi.

“Saya dan Pak Ade pada masa itu mencoba membuat standarisasi alutsista, baik dari konteks kapal tunggal, kapal gabungan, sampai kapal amfibi yang nantinya diharapkan menjadi bahan untuk Kodikal sehingga apa yang diajarkan oleh Kodikal bisa dipakai di Armada”. Hal ini merupakan suatu yang mungkin tidak semua perwira melakukannya.

Kutu Buku dan Konseptor

Di kalangan kawan-kawan seangkatannya, Perwira Ade Supandi dikenal sebagai kutu buku dan konseptor. Tentu hal ini pula mendorong atasannya untuk memberikan kepercayaan kepadanya untuk ikut memikirkan hal yang bersifat konseptor. Sebagai konseptor tentu tidak dibatasi oleh pangkat dan jabatan.

Dalam hal ini, Ade mengenang kalau dulu pernah diminta pendapat oleh Kasal Laksamana TNI Suparno tentang penyempurnaan Konsep “Semangat Baru TNI Angkatan Laut atau New Spirit of Indonesian Navy”.

Sebagai bawahan, Ade Supandi diminta pendapat untuk menambahkan nilai-nilai Semangat Baru TNI AL, yang sebelumnya pada masa Kasal Laksamana TNI Agus Suhartono, terdiri dari enam butir nilai-nilai yakni Kehormatan (Honour), Kejujuran (Honesty), Dedikasi (Dedication). Loyalitas (Loyality), dan keberanian (Courage).

Bagi Ade Supandi itu tidak cukup. Maka ia mengusulkan tambahan satu kata yaitu keikhlasan atau sincerity. Semangat baru TNI AL ini adalah sebuah semangat yang ditumbuh-kembangkan dalam jiwa setiap prajurit untuk dapat mendorong cara berfikir yang lebih kreatif, inovatif, serta memiliki karakter prajurif matra laut.

Keikhlasan, di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mempunyai makna: “ketulusan hati, kerelaan”. Dengan demikian satu kata tambahan yang diajukan oleh Ade Supandi untuk butir Semangat Baru TNI Angkatan Laut, mempunyai makna yang sangat penting untuk seorang yang bersedia menjadi pengabdi untuk negerinya, yaitu dalam jiwanya ada semangat keikhlasan, kerelaan di dalam menjalani kehidupannya sebagai warga TNI AL.

Dengan diterimanya kata keikhlasan di dalam (konsep) Semangat Baru TNI AL, maka sejak periode Kasal Laksamana TNI Suparno, butir Semangat Baru itu tidak lagi (hanya) enam, melainkan menjadi tujuh butir.

Butir Pemikiran Ade Supandi

Ketika Ade Supandi masih berpangkat Kolonel Laut (P), ia mengikuti pendidikan Sekolah Staf dan Komando TNI Kursus Reguler XXIX TA. 2002, dan untuk itu ia harus membuat karya tulis perorangan dengan judul: Penataan Sistem Pertahanan Negara Berdasarkan Kondisi Geografls Indonesia.

Dari karya tulis perorangan Kolonel Ade Supandi ini, kita dapat mengetahui sebagian buah fikirannya sebagai seorang Perwira TNI Angkatan Laut yang sedang menuju ke puncak Angkatan Laut sebagai tempatnya untuk mengabdikan diri bagi negerinya yakni NKRI.

Untuk mencoba memperoleh buah-buah flkirannya sebagai seorang Perwira dan diakui oleh komandan-komandannya dan kawan-kawan seangkatannya, dengan potensi berfikir yang jauh ke depan, maka tentu tulisannya ini sangat berguna untuk dibaca secara seksama.

Dari judul yang dipilihnya, tampak pemikirannya tentang sistem pertahanan negara berangkat dari kenyataan geografi Indonesia. Oleh karena itu, setelah memberikan pemahaman tentang pertahanan negara, kemudian diberikannya gambaran tentang konfigurasi wilayah Indonesia yang tentu kita semua tahu akan hal ini yaitu terdiri dari 17.506 pulau-pulau besar kecil dengan bentuk wilayah daratan yang tidak utuh dan memiliki luas perairan 5,9 juta km2 dengan panjang garis pantai 81.290 km2.

Menurutnya, kondisi ini menampilkan banyaknya jalur pendekat di antara pulau-pulau besar dan kecil, sehingga menimbulkan faktor kesulitan dalam merancang sistem pertahanan negara. Oleh sebab itu, menurut Kolonel Ade Supandi permasalahannya adalah bagaimana penataan sistem pertahanan negara yang perlu dibangun, sehingga selaras dengan kondisi geografis negara kepulauan.
Berangkat dari keterangannnya terdahulu, sistem pertahanan negara saat ini pemetaannya masih belum memadai, baik yang menyangkut sistem pengamatan wilayah, kekuatan komponen utama, gelar kekuatan sarana dan prasarana pendukung maupun manajemen sistem pertahanan negara.

Di samping itu penyusunan medan pertahanan masih belum jelas diaplikasikan dalam konteks pembinaan kekuatan dan kemampuan serta penyelenggaraan peperangan gabungan yang merupakan bentuk peperangan masa kini.

Tentu saja dalam karya tulisnya, dengan berdasarkan pada ide dasarnya tentang sistem pertahanan yang dikaitkan dengan kondisi geografis Indonesia, telah diterangkannya pelbagai hal yang sangat penting untuk menjadikan sistem pertahanan negara Republik Indonesia, akan lebih memadai.

Apa yang ingin dikutip berkaitan dengan buah fikirannya, ialah bagian penutup dengan kesimpulan dan saran yang diajukannya. Kesimpulan fikirannya, antara lain ialah:

“Dalam rangka penyelenggaraan pertahanan negara yang perlu dikembangkan adalah menata sistem pengamatan wilayah sehingga mampu untuk mendeteksi secara dini kehadiran ancaman baik lewat laut, udara dan darat serta adanya kecukupan kekuatan kewilayahan untuk menyelenggarakan pertahanan yang didukung dengan teknologi, sarana prasarana dan manajemen pertahanan yang komprehensif”.

Sedangkan kesimpulannya dalam karya tulis tersebut tentang TNl ditegaskannya demikian: “TNI sebagai komponen utama pertahanan negara perlu ditingkatkan baik kuantitas maupun kualitasnya, sehingga mampu untuk melaksanakan peran, fungsi dan tugasnya dalam menegakkan kedaulatan, menjaga keutuhan wilayah dan melindungi keselamatan bangsa”.

Dengan berdasar pada pelbagai keterangan analisa yang telah diberikan dalam karya tulisnya itu, maka Kolonel Ade Supandi memberikan “tiga butir saran” antara lain:

Pertama, untuk memberikan efek penangkalan dalam masa damai dan dukungan bagi penyelenggaraan peperangan di masa perang diperlukan pembangunan secara bertahap sistem pengamatan wilayah baik radar permukaan, radar udara dan pengindera satelit, untuk pengawasan wilayah udara laut dan darat.

Kedua, untuk memenuhi kecukupan kekuatan dalam mempertahankan segenap wilayah NKRI, rasio kekuatan berdasarkan populasi penduduk dengan korelasi dengan luas wilayah serta tugas, dapat menjadi tolok ukur da|am pengembangan dan pembangunan TNI sebaga`l komponen utama kekuatan pertahanan negara.

Ketiga, menata kembali medan pertahanan dan struktur organisasi operasional pertahanan sesuai dengan pembagian mandala dan daerah pertahanan.

Pesan yang Ingin Disampaikan

Buku “otobiografi” dari Laksamana TNI Ade Supandi ini, amat berguna untuk melihat perjalanan hidup-karier dari seorang “pemuda jahil” yang mampu membawa dirinya menjadi pemimpin yang mencapai puncak di lingkungan Angkatan Laut.

Sajian buku ini “sangat sederhana” dengan ungkapan kata sehari-hari, baik yang dituturkan oleh mantan-mantan Komandannya, maupun yang disampaikan oleh kawan-kawannya di masa remajanya yang jahil.

Demikian pula ungkapan hati yang disampaikan oleh dua orang tuanya, yang terhormat Ibu Kandungnya, maupun yang terhormat Ibu Mertuanya. Tetapi justru ungkapan yang sederhana itu memberikan makna khusus dari penggambaran tentang diri dari Laksamana TNI Ade Supandi.

Pada bagian penutup paling belakang yang menampilkan profil penulis yakni Laksamana TNI Ade Supandi, S.E, M.A.P disebutkan bahwa Ade Supandi merupakan sosoknya yang low profile dan merupakan tipikal putra Pasundan yang tidak “Kumeok Samemeh Dipacok”.

Ia mewarisi jiwa petarung para pejuang Sunda yang dengan kebersahajaan dan kesetiaannya pada tradisi dan kearifan lokal, mampu survive serta kompetitif dalam arus dinamika persaingan global meskipun lahir sebagai anak kampung.

Didikan orang tuanya yang kuat sejak usia dini dalam menanamkan rasa tanggung jawab, kemandirian dan kedisiplinan, telah menempanya sebagai pribadi yang memiliki etos kerja keras, kerja cerdas dan kerja tuntas dalam setiap episode kehidupannya.

Ade Supandi yang merupakan Putra ketiga dari pasangan Bapak H. Udjer Djauhari dan Ibu Hj. Djuariah yang berprofesi sebagai pengusaha kulit di Batujajar Bandung ini, mampu melesat mencapai puncak karier tertinggi sebagai Kepala Staf Angkatan Laut (Kasal) ke-25 pada tanggal 31 Desember 2014.

Berawal dari pendidikan dasar di SDN Galanggang Ill Batujajar (1972), SMPN Batujajar (1975), SMAN Cimahi (1979), dan Iulus AKABRI Bagian Laut Angkatan-28 tahun 1983, tidak banyak yang menduga bahwa kelak sosok pria yang dididik dengan sentuhan agama yang kuat dari kedua orang tuanya ini, akhirnya menjadi pucuk pemimpin TNI Angkatan Laut.

Jejak langkah Laksamana Ade meniti jalan kehidupan menjadi cermin untuk ditauladani generasi penerus. Ada banyak legasi, cerita dan fakta dalam jejak perjalanan hidup dan kariernya yang telah dituangkan ke dalam buku otobiografi ini dengan judul “Kasal Kedua dari Tanah Pasundan”.

Sosok bersahaja ini telah menerima 27 bintang tanda jasa di antaranya Bintang Dharma, Bintang Yudha Dharma Pratama, Bintang Yudha Dharma Nararya dan masih masih banyak lainnya.

Selain itu, sosok KASAL Kedua dari Tanah Pasundan ini juga banyak menerima tanda kehormatan dari berbagai negara sahabat seperti Korea Selatan, Malaysia, Singapura dan Brazil. Dan di penghujung tahun 2020 ini, Ia juga menerima Bintang Mahaputra Utama dari Presiden Joko Widodo.

Melalui buku ini, kita melihat jejak kehidupan dari sudut aktor pelaku sejarahnya sehingga dapat lebih memahami denyut kehidupan yang dilalui Laksamana Ade secara mendalam. Oleh karena itu, kehadiran buku ini dapat menjadi inspirasi dan kaca benggala untuk media refleksi diri agar lebih bijaksana dalam menata dan mewarnai kehidupan.*(Rikard Djegadut).

 

Artikel Terkait