Nasional

Donor Plasma Konvalesen, "From Survival to Savior"

Oleh : very - Sabtu, 20/02/2021 15:55 WIB

Forum Diskusi ISKA Channel menampilkan para narasumber yakni Kepala Unit Donor Darah PMI Provinsi DKI Jakarta, Dr. dr. Ni Ken Ritchie M. Biomed, dan Ketua Pelatihan Relawan dari Satgas Penanganan Covid-19 dan Pendonor Plasma Konvalesen, Prasetyo Nurhardjanto. Diskusi ini dipandu oleh Presidium Pusat ISKA, Bidang Luar Negeri, Hermien Y. Kleden. (Foto:Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID –Wakil Presiden Ma’ruf Amin meresmikan “Gerakan Nasional Donor Plasma Konvalesen” pada pada 18 Januari 2021. Gerakan  solidaritas ini untuk menerbitkan harapan penyembuhan melawan COVID-19 yang kian meluas di banyak  negara termasuk Indonesia. Tujuan dari gerakkan ini adalah untuk menggerakkan kontribusi para penyintas COVID-19, satu-satunya kelompok yang dapat menjadi donatur plasma.

Di kalangan ahli-ahli kesehatan pro-kontra plasma konvalesen sebetulnya masih ramai diperdebatkan. Bahkan sejumlah jurnal medikal di Inggris dan Argentina menulis hasilnya tidak signifikan.

Karena itu, FoKus  -- Forum Diskusi  -- ISKA (Ikatan Sarjana Katolik Indonesia) Channel kali ini menghadirkan diskusi dengan tema “Plasma Konvalesen: Harapan dan Tantangan Penyembuhan Covid-19”. Diskusi ini untuk memberi informasi terkait plasma konvalesen dengan menghadirkan narasumber yaitu Kepala Unit Donor Darah PMI Provinsi DKI Jakarta, Dr.  dr. Ni Ken Ritchie M. Biomed, dan Ketua Pelatihan  Relawan dari Satgas Penanganan Covid-19 dan Pendonor  Plasma  Konvalesen, Prasetyo Nurhardjanto. Diskusi ini dipandu oleh Presidium Pusat ISKA, Bidang  Luar Negeri, Hermien Y. Kleden. Hadir juga Ketua Umum Presidium Pusat (PP) ISKA, para pengurus, anggota maupun simpatisan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

Dr. dr. Ni Ken menjelaskan pengertian Plama Konvalesen. Plasma merupakan cairan darah yang berwarna bening kekuningan. Sedangkan Konvalesen adalah orang yang baru sembuh. Plasma Konvalesen Covid-19 adalah cairan darah yang berasal dari seseorang yang baru sembuh dari Covid-19.

“Plasma Konvalesen adalah plasma yang berasal dari pasein yang telah sembuh dari Covid-19. Plasma tersebut mengandung antibodi (IgG) terhadap SARS-CoV2. Tujuan pemberian plasma adalah sebagai imunisasi pasif yang diberikan 21 kali,” ujarnya.

Namun, katanya, hingga kini, masih muncul persoalan terkait pengobatan plasma konvalesen tersebut. Penelitian terkait efektivitasnya juga masih terus dilakukan. “Persoalannya, hingga kini masih saja dilakukan penelitian. Penelitian masih terus berlangsung dan belum ada terapi yang standar. Untuk itu, PMI (Palang Merah Indonesia) masih terus melakukan penelitian dengan menggalang kerja sama dengan laboratorium lain seperti Eijkman,” ujarnya.

Dikatakannya, ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi dalam donor plasma konvalesen. Antara lain, harus memenuhi persyaratan donor pada umumnya seperti usia antara 18-60 tahun, tidak memiliki dan tidak berisiko terinfeksi yang menular lewat transfusi darah seperti Hepatitis B, Hepatitis C, HIV dan Sifilis.

Selain itu, tidak memiliki riwayat penyakit berat seperti penyakit jantung, diabetes, stroke, dan lain sebagainya. Dan tidak menerima transfusi darah selama 6 bulan sebelumnya, termasuk plasma saat dirawat (Permenkes nomor 91 Tahun 2015).

Syarat lainnya yaitu calon donor pernah terinfeksi Covid-19 dengan gejala minimal kriteria sedang dan telah sembuh atau pulih dari Covid-19.

Sebelum melakukan donor plasma konvalesen, seseorang dipastikan dalam kondisi bugar. Karena itu, calon donor plasma harus cukup istirahat minimal 4-5 jam, minum air putih sebelum dan setelah proses minimul 2 gelas, menghindari teh atau kopi dan minuman soda sebelum dan setelah proses, dan menghindari makan makanan kolesterol tinggi 24 jam sebelum proses.

Persyaratan donor plasma konvalesen yaitu tidak memiliki antibodi yang dapat menyebabkan reaksi transfusi seperti antibodi terhadap golongan darah yang terdapat pada sel darah merah maupun sel darah putih (HLA- Human Leukocyte Antigen) karena perbedaan golongan darah ibu dan janin/anak. Karena itu, prioritas pendonor plasma dilakukan pada laki-laki, sedangkan perempuan jika belum pernah hamil.

Hingga saat ini, PMI masih terus melakukan penelitian terkait dengan efektivitas donor plama tersebut. “Mudah-mudahan penelitian ini cepat selesai,” ujarnya.

Dia berharap penelitian uji klinis dapat diselesaikan dalam waktu tidak terlalu lama agar diketahui efektivitasnya.

“Tantanganya yaitu memenuhi jumlah sampel dengan kriteria tertentu dan adanya persetujuan dari keluarga pasien. Kita berharap orang yang sudah sembuh dari Covid-19 bisa menjadi pendonor plama konvalesen, sehingga makin banyak nyawa tertolong dan mereka bisa tampil From Survival to Savior,” ujarnya.

Sementara itu Ketua Pelatihan Relawan Satgas Penanganan Covid-19 dan Pendonor Plasma Konvalesen, Prasetyo Nurhardjanto menjelaskan tentang faktor yang mengurangi potensi berdonor plasma konvalesen. Faktor-faktor tersebut antara lain: Penyintas tanpa gejaja; Batasan usia; Memiliki komorbid (penyakit penyerta); Tidak memenuhi persyaratan minimal donor darah (Hb dan Tensi);

Selanjutnya, katanya, saat ini belum semua kota di Indonesia memiliki mesin Apheresis, yaitu mesin untuk pengambilan plasma konvalesen. “Belum semua kota memiliki mesin Apheresis. Saat ini baru ada ratusan mesin saja,” ujar Pengurus Presidium Pusat (PP) ISKA ini.

Selain itu, faktor lainnya adalah wanita yang sudah pernah hamil dan plasmanya dalam keadaan keruh, sebagai dampak dari makanan yang dikonsumsi.

Pras - sapan akrabnya - yang juga penyintas Covid-19 itu, juga menepis sejumlah asumsi salah yang muncul selama ini terkait dengan donor plasma konvalesen. Misalnya bahwa donor plasma dapat mengurangi antibodi sehingga si pendonor akan mudah tertular Covid-19 lagi. Selain itu, donor plasma dapat tertular penyakit lain dan dapat mengurangi daya tahan tubuh.

 

Menjadi “Plasma Ambassador”

Pras, yang sudah melakukan donor plasma sebanyak lima kali itu, mengatakan bahwa dirinya merasa sangat bersyukur karena bisa melakukan donor plasma. Sebagai survivor, dirinya merasakan sangat spesial karena keluar sebagai pemenang dalam pertarungan tersebut.

“Saya merasakan amazing, merasa sebagai sebagai manusia spesial karena bisa bisa tampil sebagai pemenang dalam pertarungan melawan Virus Corona. Waktu itu saya berada dalam kondisi antara hidup atau mati karena terpapar virus Covid-19,” ujarnya.

Karena itu, pasca sembuh dari Covid-19, Prasetyo bertekad untuk menjadi salah satu pendonor plasma konvalesen. Selain sebagai bentuk ucapan syukur, donor tersebut dilakukan Pras untuk mendukung penelitian yang hingga saat ini masih terus dilakukan.

“Di tengah berbagai kontroversi terkait donor plama konvalesen, dan isu jual beli plasma melalui modus-modus canggih, saya memilih untuk menjadi pendonor plasma konvalesen. Selain sebagai bentuk ucapan syukur saya karena sudah sembuh dari Covid-19, juga saya lakukan untuk mendukung penelitian terhadap plasma ini yang masih terus dilakukan. Hal lainnya yaitu untuk memberi harapan kepada pasien yang membutuhkan plama tersebut. Sebagai seorang umat beriman, saya merasakan ada kepuasan batin tersendiri,” ujarnya.

Karena itu, Pras meminta kepada semua penyintas Covid-19 untuk dengan sukarela melakukan donor plasma. Namun, memang tidak semua penyintas bisa melakukannya. Karena di lapangan, katanya, banyak penyintas tidak mengantongi hasil PCR terakhir. Selain itu, penyintas juga tidak dibekali tentang donor plasma saat dirawat di rumah sakit.

Pras mengatakan, warga yang sehat juga bisa melakukan sesuatu untuk mendukung kampanye plasma konvalesen tersebut. Hal itu bisa dilakukan dengan menjadi “Plasma Ambassador” dengan memberi informasi yang benar tentang plasma konvalesen.

Selain itu, juga bisa dilakukan dengan menjadi penghubung antara pasien dan donatur. “Bagi mereka yang sehat bisa melakuka pendampingan hingga selesai terhadap pasien, mengkampanyekan donor plama dan menjadi agent of donor from survivor,” ujarnya.

Diskusi ini juga diisi dengan kesaksian seorang penyintas Covid-19, Yohannes Deddy, yang dibantu anaknya, Metta.

Dalam kesaksiannya, Yohannes mengatakan selama dirawat di UGD, selama 8 hari, dia mengisi waktu-waktu hidupnya dengan membaca Kitab Suci dan berdoa Rosario. “Hati yang senang dan tenang merupakan obat yang paling mujarab,” ujarnya.

Kini Yohannes sudah sembuh setelah menjalani masa-masa isolasi. Dia sudah bisa berkumpul kembali di rumah bersama keluarganya. (Very)

 

Artikel Terkait