Opini

Resolusi Pangan

Oleh : luska - Kamis, 25/03/2021 18:53 WIB

Yudi Widodo.(Foto:Istimewa)

Oleh : YUDI WIDODO

Jakarta, INDONEWS.ID - Kyai Dr. Said Agil  Ketua Umum Nahdatul Ulama (NU) dengan tegas menolak keras impor beras 1 juta ton dari Thailand. Hal tersebut sangat merugikan petani (NUTV, 24/3/2021).  Sementara itu Menteri Pertanian (Mentan) Dr. Syahrul Yasin Limpo memastikan bahwa stok beras hingga akhir Mei atau selesai momen Idul Fitri masih dalam tahap aman. 

Stok hingga akhir Desember lalu mencapai 7.389.575 ton, sementara perkiraan produksi dalam negeri pada panen raya ini mencapai 17.511.596 ton sehingga jumlah stok beras hingga akhir Mei mencapai 24.901.792 ton. Jumlah tersebut lebih dari cukup karena estimasi kebutuhan mencapai 12.336.041 ton. Syahrul dengan yakin memastikan bahwa stok beras akan surplus, sehingga tidak perlu impor (CNBC Indonesia, 19/3/2021).

Namun anehnya, Kementrian Perdagangan & Industri mempertanyakan angka peningkatan produksi tersebut dengan kalimat pendek BARANGNYA MANA? Ketidak-paduan kementrian dalam Kabinet Kerja ini justru ikut andil dalam menimbulkan keresahan di masyarakat. Sebab di Gudang Bulog ada cadangan 500.000 ton saja. 

Hal ini dapat difahami, sebab jika terjadi kekurangan pangan juga akan mengganggu stabilitas nasional yang meresahkan. Resah-rusuh dan revolusi (3 R) diyakini sebagai aksioma yang telah terjadi di berbagai negara. Oleh karena itu harus dicari atau dilacak ulang penyelesaian masalah pangan ini dengan sebuah resolusi yang obyektif agar masyarakat tidak resah, tidak berlanjut rusuh dan tidak memicu terjadi tuntutan revolusi akibat perut lapar.

    
Beratnya Beban Perberasan

 Era Orba setelah 20 tahun (1966-1985) berkuasa mampu menunjukkan kinerjanya dengan memperoleh penghargaan berupa medali dari FAO bahwa Indonesia telah berhasil menghentikan impor beras (Gambar 1). Krisis pangan yang selalu membayangi Indonesia dari mulai penjajahan hingga 20 tahun mengenyam kemerdekaan terutama diakibatkan oleh instabilitas politik, sehingga program pertanian dan pangan belum memadai. 

Sesungguhnya Presiden Sukarno telah mencanangkan beras tekad (tela, katjang djagung) sebagai manifestasi diversifikasi sumber pangan utama yang cukup karbohidrat dan protein. Namun krisis politik & pangan 1965-1970, menjadikan beras tekad kandas tidak berbekas, terlindas bantuan  gandum & bulgur hasil Revolusi Hijau dari USA. Pengenalan padi tipe baru sebagai implementasi awal Revolusi Hijau di Indonesia juga mulai diadopsi oleh Orba pada tahun 1970an. 

Kondisi tersebut dalam perjalanannya memposisikan bahan pangan pokok bagi masyarakat Indonesia 95% berupa beras (Widodo dalam Moneter April, 2016). Meskipun swasembada beras telah tercapai pada tahun 1984, tetapi laju pertumbuhan produksi beras nasional cenderung menurun dan semakin tidak stabil, sehingga sejak 1994 Indonesia tidak mampu lagi mempertahankan kecukupan beras dari produksi dalam negeri (Gambar 2).

 Uniknya Bank Dunia, IMF maupun lembaga internasional lain justru menganjurkan impor terigu (gandum) guna menutupi kekurangan beras sebagai cara diversifikasi. Impor terigu tersebut tidak lagi sebagai hibah gratis (Grant) tapi dana talangan hutang lunak (Public Loan) yang pada akhirnya membuat ketergantungan dan memberatkan keuangan Negara.

Kekeringan sebagai fenomena El-Nino yang beriring dengan dampak krisis moneter 1997, mengakibatkan terjadinya krisis pangan nasi(onal) yang bertumpu pada beras di tahun 1998 dengan ditandai oleh kekacauan pasar, penjarahan serta harga yang membubung tinggi. Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah terpaksa mengimpor 5,8 juta ton beras.

Masalah stagnasi dan instabilitas produksi beras ini dikhawatirkan dapat berdampak buruk terhadap ketahanan pangan, pendapatan petani maupun perekonomian makro. Oleh karena itu, program pemulihan produksi beras nasional sejak awal kemerdekaan hingga kapanpun selalu mendapat prioritas utama. Perbaikan nasib petani produsen beras sebagaimana dicitrakan dalam agribisnis, sering menemui jalan buntu, karena saat panen raya harga gabah jatuh jauh berada di bawah harga dasar yang ditetapkan. 

Sementara itu, BULOG tidak mampu untuk menampung seluruh hasil panen petani. Kondisi ini kian parah, ketika beras impor masuk dari Thailand, Vietnam maupun India atau bahkan dari Amerika dengan harga yang lebih rendah, sehingga makin memperlemah posisi petani. Penurunan pendapatan petani dapat menurunkan daya beli, termasuk terhadap produk industri, sehingga perbaikan ekonomi secara makro makin sulit tercapai. Selain itu, adanya anggapan bahwa kenaikan harga beras dapat memicu kekacauan adalah tidak mendasar.

 Operasi Pasar Khusus (OPK) yang dilaksanakan oleh BULOG sejak 1998 hingga kini dan pada tahun 2002 menjadi Program Raskin (beras untuk masyarakat miskin) akan menguras banyak energi pemerintah. Hal tersebut sebagai konsekuensi saran IMF guna membentuk jaring pengaman sosial (social safety net). Sawit (2002) melaporkan bahwa alokasi APBN tahun 2002 untuk subsidi pangan, khususnya Raskin sebesar Rp 4,7 triliun. 

Program Raskin ini diarahkan terutama untuk mengatasi gejala kekurangan Energi dan Protein (KEP) akibat multikrisis yang terjadi sejak tahun 1997. Jahari dan Sumarno (2002) menunjukkan bahwa di tahun 1999 pemenuhan energi hanya sebesar 1.849 kcal/kap/hari, padahal di negara maju sebesar 3.304  kcal/kap/hari. Angka minimum yang ditetapkan sebesar 2.170 kcal/kap/hari.  

Justru karena itulah, agar terjamin akses pangan bagi seluruh lapisan masyarakat, termasuk golongan yang paling miskin,  dalam jumlah dan mutu yang memadai guna kelangsungan hidup sehat, kreatif dan produktif, mustahil mengartikan pangan hanya sempit menjadi `beras` saja. Kini penerima raskin 2016 sejumlah 15.530.897 RTM (Rumah Tangga Miskin) dengan beras sejumlah 2.795.561 ton atau setara 15 kg/bulan/RTM. Dengan asumsi harga subsidi beras sebesar Rp 7.125/kg maka diperlukan dana hampir Rp 20 T (pengadaan belum termasuk biaya distribusi?).  

Raskin awalnya dimaksudkan untuk menyelamatkan agar keluarga yang hampir atau nyaris miskin tidak jatuh dalam kemiskinan, sehingga kebutuhan paling mendasar untuk hidup ”pangan” dibantu. Ini sesuai idiom “provide food (subsistence) first, then get commercialization (business)”. Faktanya dari tahun ke tahun justru terjadi peningkatan jumlah penerima raskin. Jumlah rumah tangga miskin atas dasar sensus tahun 2006 sebanyak 19.100.905 KK. 

Penyaluran raskin tahun 2007 dapat menjangkau 15,78 juta KK atau 82,02% dari jumlah rumah tangga miskin. Untuk tahun 2008, Komisi IV DPR RI menyetujui agar penyaluran raskin dapat menjangkau >19 juta KK miskin dengan dana Rp 7,8 triliun (Kompas, 5/10/07 hal 17). Timbul pertanyaan “Apakah pengentasan kemiskinan tidak berhasil dan bagaimana dampak raskin terhadap upaya peningkatan ketahanan pangan?”

Apalagi sebagai komoditas strategis, beras juga dianggap memiliki nilai yang lebih tinggi dibanding bahan pangan lain. Tentu hal tersebut akan sangat membahayakan sistem ketahanan pangan.  Membandingkan swasembada beras era Suharto di tahun 1985 saat penduduk 165 juta dengan saat ini >269 juta sebenarnya jelas berbeda (Gambar 5). 

Diversifikasi pangan yang sejak lama disarankan para pakar, tetapi hanya gaung tanpa wujud selayaknya kini dan ke depan menjadi pilar bagi kokohnya ketahanan pangan. Diversifikasi dalam arti luas yang menyangkut aspek horisontal, vertikal dan tata niaga merupakan implementasi agribisnis. Oleh karena itu sesungguhnya ketahanan pangan dan agribisnis merupakan suatu rangkaian yang tak terpisahkan (continuum) guna mewujudkan masyarakat umum, tidak hanya petani, dalam kemakmuran dan kesejahteraan yang sejati dan tidak semu. 

Dalam rumusan Deptan bahwa agribisnis harus mampu mengakomodasi empat parameter pokok paradigma baru pengembangan, yaitu berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi. Para pakar juga mengingatkan bahwa untuk mewujudkan ketahanan pangan harus mempertimbangkan tiga aspek, yaitu kecukupan (ketersediaan, keterjangkauan, dan penggunaan); kerapuhan (stabilitas, berdikari); dan keberlanjutan (sustainability).

 Operasionalisasi konsep ketahanan pangan dan agribisnis  semakin menguatkan bahwa penyertaan komoditas non-beras, termasuk ubi-ubian, merupakan agenda penting yang mendesak untuk segera direalisasikan. Tidak hanya sebatas menjadi rencana dan wacana saja. Rencana yang cermat dan matang memang perlu, sehingga realisasinya dapat lancar. Sebagai wacana (diskursus) dalam berbagai bentuk dialog publik maupun forum diskusi diperlukan juga untuk memperbaiki realisasi pelaksanaan. Oleh karena itu yang terpenting adalah pelaksanaannya.

Pemiskinan Kultural 

Jika dicermati raskin justru sebagai pemicu proses pemiskinan kultural. Rumah tangga yang seharusnya tidak layak lagi menerima raskin, faktanya tetap ingin selalu menerimanya, sehingga terjadi peningkatan jumlah rumah tangga penerima raskin. Fenomena dalam masyarakat untuk mengaku dalam katagori miskin bukan tabu dan tidak merasa malu.  

Hal ini tentu menyulitkan, ketika ukuran kemiskinan dibakukan secara obyektif untuk menyalurkan raskin, muncul subyektivitas dalam masyarakat yang mengaku miskin dan menuntut untuk mendapatkan raskin. Individu yang berkelompok membentuk masyarakat yang berpola-pikir miskin (fatalism mindset) akan sulit termotivasi agar meninggalkan perilaku (kebiasannya).

Kemiskinan kultural yang terjadi di masyarakat justru sebagai faktor penghambat keberhasilan program pengentasan kemiskinan.   Contoh nyata pada kasus raskin ini tidak hanya di kawasan perkotaan, atau pedesaan, tetapi juga daerah terpencil di pedalaman Papua. Akibat bantuan pangan dalam bentuk raskin, terjadi kerawanan pangan karena motivasi untuk memproduksi pangan lokal (hipere: bahasa suku Dani untuk ubijalar) menjadi melemah. 

Kasus kelaparan di Jaya Wijaya dan Yahukimo muncul mulai tahun 1997,  tahun 2000 terjadi lagi, dan menyedot perhatian nasional pada tahun 2005-2007. Bahkan hingga kini daerah pegunungan pedalaman Papua maupun wilayah-wilayah terluar berupa kepulauan sangat rapuh sistem pangannya, jika mengandalkan beras yang tidak sesuai kondisi agroklimatnya. 

Atas dasar fakta tersebut, perlu dicari alternatif lain yang lebih lestari atau berkelanjutan (sustainable). Pengurangan raskin secara bertahap dengan mengutamakan bahan pangan lokal  sesuai azas diversifikasi perlu dikaji.

Resolusi Pangan dengan Diversifikasi 

Ketahanan pangan sebagai yang dimaksud dalam Undang-undang RI Nomor 7 Tahun 1996 dan telah diratifikasi oleh UURI No 18 Tahun 2012 akan sangat berat diwujudkan oleh pemerintah dan warga negara, kalau hanya mengandalkan sumber karbohidrat sebatas pada beras. Sesungguhnya payung hukum yang terkait dalam meningkatkan produksi pangan telah jelas, sebab juga menyangkut pelestarian hutan dan lingkungan, cara budidaya seiring kaidah konservasi hingga perlindungan dan pemberdayaan petani (Tabel 3). 

Jika serangkaian UURI tersebut dilaksanakan dengan terintegrasi berarti bahwa resolusi pangan sudah diimplementasikan. Untuk memenuhi kecukupan kalori sebesar 2170 kcal/capita/hari dan sekaligus menurunkan konsumsi beras di bawah 150 kg/capita/tahun, dengan memperbesar impor terigu tentu perlu disimak ulang. Kebijakan pangan alternatif yang memanfaatkan potensi keanekaragaman hayati local baik nabati maupun hewani, seperti palawija (termasuk ubi-ubian) harus lebih dioperasionalkan. 

Bahkan pemanfaatan bahan yang selama ini dibuang atau diabaikan seperti biji durian, biji manga dll perlu digalakkan cara pengolahannya, sebab kandungan gizinya juga cukup. Demikian pula beraneka jenis jamur yang dapat dipanen harian juga perlu terus dikembangkan.

Operasionalisasi yang menyangkut sistem produksi hingga pengolahan, distribusi dan konsumsi dengan pendekatan terpadu (integrative), menyeluruh (comprehensive) dan utuh (holistic), sehingga tidak lagi secara partial.  Kemampuan menghasilkan ragam jumlah dan mutu karbohidrat dalam rentang waktu yang beragam dari berbagai jenis tanaman palawija menawarkan peluang guna lebih dimanfaatkan sebagai bahan pangan. 

Pada tanaman ubi-ubian selain karbohidrat, mineral dan vitamin yang dikandungnya memiliki nilai unggul. Tetapi, kekurang zat protein yang dikandungnya harus dilengkapi dari bahan pangan lain, khususnya kacang-kacangan maupun hewani. Dengan demikian pangan yang berkualitas sebagaimana dalam empat sehat lima sempurna dapat melimpah dan terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat. 

Parsudi Suparlan (1992), Kaman Nainggolan (2005) maupun Widodo (2005) menunjukkan data yang serupa, bahwa masyarakat akan mengganti atau mensubsitusi beras dengan bahan pangan lain, tatkala harga beras mahal. Meskipun pangan memang bukan segala-galanya, tetapi tanpa pangan bangsa ini tidak dapat berbuat sesuatu. Oleh karena itu, ketahanan pangan dengan menyerta¬kan semua potensi nabati, termasuk palawija perlu segera dilaksanakan. 

Mengingat selama lebih tiga dasawarsa ubi-ubian diabaikan dalam pemban¬gunan pertanian. Konyolnya World Bank (1992) justru menyarankan tidak memberdayakan potensi pangan lokal guna diversifikasi, tetapi anehnya justru mendorong untuk melakukan impor terigu. Impor terigu kini telah mencapai >10 juta ton/tahun. Sebenarnya peluang substitusi dengan tepung local dari aneka ubi dan kacang sangat memungkinkan guna menghemat devisa, sekaligus untuk melaksanakan amanat konstitusi khususnya UURI No 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Gambar 6, 7, 8 & 9). 

Fokus pemerintah masih cenderung diskriminatif terhadap sumber pangan, dengan alasan klasik keterbatasan anggaran sehingga hanya menangani komoditas utama, yang sesungguhnya sudah dapat berjalan dengan baik. Dengan demikian pengawasan yang justru perlu diintensifkan, agar masalah yang muncul dapat segera teratasi khususnya terhadap komoditas utama. Sedangkan pada komoditas pangan potensial yang lain, pemerintah perlu memicu dan memacu investasi di bidang penanganan pasca panen, industry pengolahan guna menyelamatkan hasil petani yang rowa dan mudah rusak (voluminous and perishable) menjadi produk yang bernilai ekonomi tinggi dan dapat disimpan serta siap saji.

Agar diversifikasi tidak berhenti sebatas wacana dan rencana, maka perbaikan citra tanaman palawija sebagai bahan pangan dan industri (agroindustri) harus seiring dengan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat petani yang bergiat dalam subsistem budidaya. Oleh karena itu dalam membangun agribis¬nis secara integratif yang berdaya saing seyogyanya tetap berorientasi pada kesejahteraan petani, bukan sebaliknya yaitu dengan mengorbankan petani (menjadikan petani sebagai tumbal). 

Pengembangan agribisnis secara integratif diharapkan dapat memacu peningkatan permin¬taan komoditas palawija dan sekaligus memicu penggunaan, sehingga seiring dan sebanding dengan beras. Dengan demikian tersedia peluang bagi petani yang bergiat dalam subsistem budidaya untuk meningkatkan produktivitas guna memasok peningkatan permintaan tersebut. Azas yang berorientasi kepentingan jangka panjang serta mampu menjamin keberlanjutan sumberdaya alam dan lingkungan harus difahami oleh petani maupun pegiat pertanian lainnya dalam aspek budidaya tanaman pangan, sebagaimana tercantum dalam UURI Nomor 12 Tahun 1992 tentang Budidaya Tanaman dan UURI Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup maupun UURI Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dengan demikian peningkatan produktivitas pertanian tanaman pangan (termasuk non beras untuk diversifikasi) yang dicapai tidak menimbulkan kerusakan hutan dan lingkungan.

Penguatan diversifikasi paling tidak sebagai bukti bahwa resolusi pangan dan pertanian yang dicanangkan bukan sebatas retorika, atau hanya slogan manis dan janji. Oleh karena itu, dalam mengurusi perut penduduk >261 juta jiwa serta mengantarkan menuju kejayaan bangsa, kita semua harus senantiasa waspada bahwa pangan sangat vital dan menyangkut hidup matinya bangsa.*

YUDI WIDODO, APU menamatkan pendidikan S1 di UNS, S2 di UGM-Unibraw diperkaya oleh dosen dari Belanda & Australia. Sejak 1984 mengikuti training di IITA (International Institute for Tropical Agriculture) Ibadan Nigeria, kemudian 1985 advance training di CIAT (Centro Internacional Agricultura Tropical) Cali Columbia Amerika Latin. Kemudian sejak 1988 aktif dalam forum seminar, konferensi internasional pada tanaman aneka ubi sekaligus sebagai anggota International Society of Tropical Root & Tuber Crops (ISTRC). Tahun 1995 mendirikan Yayasan Artho Tumonjo Adil Sejahtera (ATAS) yang berpusat  di Malang. Sejak 2001 oleh Ibu Presiden Megawati Sukarnoputri ditetapkan sebagai Ahli Peneliti Utama (APU) bidang Budidaya dan Produksi Tanaman Pangan di litbang kementan hingga sekarang. Tulisan ini pendapat pribadi.

 

Artikel Terkait