Nasional

Pengambilalihan Pengelolaan TMII Harus Disertai Pemidanaan Korupsi terhadap Pengurus Yayasan Harapan Kita

Oleh : very - Jum'at, 09/04/2021 11:58 WIB

Pintu masuk TMII. (Foto: Tribunnews.com)

Jakarta, INDONEWS.ID -- Keputusan Pemerintah mengambil alih pengelolaan Taman Mini Indonesia Indonesia (TMII) dari tangan Yayasan Harapan Kita - meskipun sangat terlambat dilakukan - merupakan langkah tepat dan strategis yang patut diapresiasi.

Betapa tidak, pemerintah berhasil menyelamatkan aset negara yang dikuasai oleh kroni-kroni Orde Baru (Putra-Putri Soeharto) yang secara melawan hukum dan merupakan Perbuatan Melawan Hukum (PMH).

“Meskipun Pemerintah dengan mudah mengambilalih pengelolaan Yayasan Harapan Kita tanpa menggunakan upaya hukum, namun demikian baik Yayasan Harapan Kita selaku korporasi maupun para pengurusnya yaitu Tutut Hardiyanti R dkk. harus dimintai pertanggungjawaban secara Tindak Pidana Korupsi, karena telah menguasai, mengelola dan menikmati aset-aset negara secara melawan hukum dan merugikan keuangan negara dengan angka sangat fantastik,” ujar Koordinator TPDI Petrus Selestinus, melalui siaran pers di Jakarta, Jumat (9/4).

Petrus yang juga advokat Peradi ini melalui siaran pers mengatakan, berdasarkan TAP MPR No. XI/MPR/1998, Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, dikatakan bahwa "Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap mempertahankan prinsip Praduga Tak Bersalah dan Hak Asasi Manusia. 

Menurut Petrus, Tap MPR XI/MPR/1998 yang sejak awal reformasi atau sudah 4 kali ganti Presiden mulai dari BJ. Habibie hingga Presiden Jokowi, baru di era Pemerintahan Jokowi ini dilaksanakan dan sudah mulai menunjukan hasil. Terakhir dengan pengambil-alihan pengelolaan TMII dari Yayasan Harapan Kita yang diketuai oleh Ny. Siti Hardijanti Rukmana dan adik-adiknya beberapa waktu yang lalu.

Sejak dikeluarkannya Tap MPR RI Nomor : XI/MPR/1998 sampai dengan sekarang 23 (dua puluh tiga) tahun, katanya, Pemerintah belum serius melakukan upaya pemberantasan korupsi terhadap mantan Presiden Soeharto, Keluarga dan Kroninya.

Kecuali di era pemerintahan Presiden Jokowi telah dilalukan upaya hukum gugatan PMH secara perdata terhadap H.M Soeharto, Putra/Putrinya (Siti Hardijanti Rukmana dkk) dan Yayasan Beasiswa Supersemar untuk mengembalikan kerugian yang dialami oleh negara.

“Sangat tidak adil bila Pemerintahan hanya mengambilalih Pengelolaan TMII dari Yayasan Harapan Kita, berhenti pada upaya perdata, tetapi mengabaikan penyelesaian melalui pendekatan hukum Pidana Korupsi terhadap Ny. Siti Hardijanti Rukmana, Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmojo, Siti Hedianti Soeharto, Hutomo Mandala Putra dan Siti Hutami Endang Adiningsih, yaitu dimintai pertanggungjawaban secara pidana sesuai dengan Tap MPR Nomor : XI/MPR/1998 dan UU Tipikor,” ujar Petrus.

Upaya penuntutan secara Tindak Pidana Korupsi, katanya, adalah kewajiban negara memenuhi salah satu tuntutan dan komitmen reformasi yang tertuang di dalam Tap MPR Nomor : XI/MPR/1998, yang belum dipenuhi. Maka ini adalah langkah tepat memulihkan wibawa Negara, karena menyangkut penegakkan prinsip konstitusi "setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya" pasal 17 ayat (1) UUD 1945.

 

Putusan PK Jadi Dasar Pemidanaan

Petrus mengatakan, putusan PK Mahkamah Agung RI No. 140/PK/Pdt/2015 dalam perkara Gugatan PMH antara Pemerintah RI melawan Yayasan Beasiswa Supersemar dan H.M. Soeharto serta Putra/Putrinya yaitu Ny. Siti Hardijanti Rukmana, Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmojo dkk. akan menjadi dasar dan alat bukti untuk memperkuat dugaan Tindak Pidana Korupsi yang diduga dilakukan oleh mantan Presiden Soeharto, Putra/Putri dan Kroninya. Tinggal bagaimana  keberanian Jaksa Agung dan Kapolri atau KPK untuk memulai.

Kata Petrus, kerugian negara akibat PMH yang dilakukan oleh Yayasan Beasiswa Supersemar, H.M Soeharto dan Putra/Putrinya sesuai putusan PK Mahkamah Agung RI No. 140/PK/Pdt/2015 dimaksud adalah sebesar US $ 315.002.183,- ( tiga ratus lima belas juta dua ribu seratus delapan puluh tiga dolar Amerika Serikat) dan Rp. 139.438.536.678,56 (seratus tiga puluh sembilan miliar empat ratus tiga puluh delapan juta lima rstus tiga puluh enam ribu enam ratus tujuh puluh delapan rupiah enam puluh delapan sen), wajib dibayar kepada negara.

“Karena itu, sikap Pemerintahan era Presiden Jokowi berupa menuntut pertanggungjawaban hukum baik secara perdata maupun secara pidana terhadap mantan Presiden H.M Soeharto dan Putra Putri akibat penguasaan aset-aset negara atas nama Yayasan Harapan Kita, Yayasan Beasiswa Supersemar dll. merupakan suatu pendidikan politik yang sangat baik dan menjadi pelajaran berharga bagi para mantan Presiden dan Wakil Presiden RI agar tidak melakukan penyalahgunaan wewenang dan jabatan selagi berkuasa,” pungkasnya. (Very)

Artikel Terkait