Nasional

Tantangan Jurnalisme di Tengah Revolusi Digital dan Kemunduran Demokrasi

Oleh : very - Selasa, 04/05/2021 16:19 WIB

Kebebasan Pers. (Foto: Ilustrasi/Justicia.com)

Jakarta, INDONEWS.ID – Tanggal 3 Mei 2021 diperingati sebagai hari kebebasan sipil sedunia. Tidak hanya itu, tanggal tersebut juga menjadi peringatan 30 tahun Deklarasi Windhoek untuk pembangunan pers yang bebas, independen dan pluralistik.

LP3ES kembali menghadirkan series diskusi publik “Forum 100 Ilmuwan Sosial Politik” dengan membahas berbagai tantangan yang dihadapi pers di tengah arus disrupsi yang disebabkan oleh perkembangan teknologi digital. Namun di saat sama juga menjadi terancam di tengah tren global kemunduran demokrasi.

Diskusi menghadirkan empat narasumber yaitu Herlambang P. Wiratraman (LP3ES), Sutta Dharmasaputra (Pemimpin Redaksi Harian Kompas), Wahyu Dhyatmika (Pemimpin Redaksi Majalah Tempo), dan Nurul Hasfi (Universitas Diponegoro).

Seperti biasanya, sebagai pengantar, Direktur Center for Media and Democracy LP3ES, Wijayanto, menyampaikan beberapa tantangan yang dihadapi oleh pers di tengah disrupsi 4.0.

Ia menekankan mengenai bagaimana media justru membantu amplifikasi manipulasi opini publik di ruang maya. Ada upaya manipulasi opini publik di media sosial yang juga berhubungan dengan media mainstream. Manipulasi tersebut, katanya, ditandai dengan adanya ‘tsunami’ tweet di media sosial.

“Pada kasus revisi UU KPK, misalnya, #TempoKacungKPK menjadi salah satu yang paling banyak di-mention, selain itu juga ada #KPKTaliban. Sehingga, apa yang trending di media sosial tersebut diamplifikasi oleh media-media mainstream,” ujarnya.

Pada kasus revisi UU KPK, ada 250 artikel di media daring yang mengamplifikasi isu yang berkaitan dengan KPK dan Taliban.

“Berefleksi terhadap fenomena tersebut, bisa ditegaskan bahwa media mungkin tidak berhasil membuat publik mempercayai sesuatu, tetapi selalu berhasil membuat publik memikirkan suatu isu,” ujarnya.

Wijayanto mengatakan, ketika narasi yang dimanipulasi oleh media mainstream masuk ke dalam ruang diskusi publik, maka akan menjadi wacana yang dianggap benar oleh masyarakat.

Isu manipulasi publik ini menjadi sangat berbahaya, karena melibatkan pasukan siber yang dibayar untuk menyukseskan hal tersebut. “Bahkan, dari hasil riset, pasukan siber tersebut dapat dikatakan sebagai cyber-mercenary karena dikoordinasikan dan dibayar oleh oknum-oknum politisi,” ujarnya.

 

Berkaitan Erat dengan Kemunduran Demokrasi

Wahyu Dhyatmika menekankan bahwa permasalahan yang dihadapi oleh media juga berhubungan erat dengan proses kemunduran demokrasi.

Pada 2020, Index Demokrasi Indonesia turun secara signifikan di lima indikator. Menurut EUI, bahkan lebih buruk dari Malaysia dan Filipina. Freedom House juga senada dengan menyatakan bahwa Indonesia hanya separuh bebas.

Realita tersebut sejalan dengan perubahan yang dialami media, baik dari sisi yang negatif maupun yang positif.

Lebih lanjut, Wahyu memaparkan bahwa disrupsi digital mengubah model bisnis, proses produksi berita dan distribusi konten berita.

Perubahan itu membuat publik terobsesi terhadap angka, yang meliputi klik, dan jumlah pengunjung atau pembaca. Hal tersebut dianggap sebagai indikator keberhasilan, padahal kenyataannya ada hal-hal lain yang dapat diukur seperti engagement.

“Tetapi di sisi lain, teknologi digital memperluas teknik pemberitaan. Selain itu, pembaca menjadi konsep yang konkret dan partisipatif, sehingga engagement dengan audience menjadi hal yang sangat penting di era digital,” ujar Wahyu.

Sayang sekali, kondisi media di Indonesia sudah tidak ideal sejak sebelum adanya disrupsi digital.

Untuk itu, solusinya adalah dengan memberi stimulus publik agar semakin proaktif dalam mengawasi redaksi media.

“Media harus melihat audience sebagai bagian yang integral dalam proses pembuatan media,” ujarnya.

Sebagai contoh, ada Indonesialeaks merupakan salah satu sarana yang memberikan publik akses untuk dapat menjadi whistleblower. Selain itu, ada pula tempo witness yang mengubah arah pemberitaan menjadi bottom-up, sehingga warga atau pembaca dapat berkontribusi dalam pemberitaan. CekFakta juga menjadi salah satu jasa yang menjawab kebutuhan publik di era digital.

“Dengan kata lain, media harus peka terhadap demand dari audience secara spesifik. Kolaborasi menjadi hal yang krusial dalam jejaring media untuk meningkatkan kualitas berita,” katanya.

 

Ancaman Agregator Raksasa

Pemimpin Redaksi Harian Kompas, Sutta Dharmasaputra memaparkan bagaimana rendahnya kepedulian masyarakat terhadap kualitas berita di media online menjadi permasalahan yang krusial.

Ancaman terbesar dari informasi yang chaos di ruang maya sebetulnya berasal dari aggregator raksasa. Ada mesin-mesin yang sudah begitu maju, sedangkan kita belum siap untuk menggunakannya secara efektif.

Jurnalisme, walaupun memiliki tugas untuk membuat berita yang jernih, tetap saja memiliki ancaman dari kebebasan yang ditawarkan oleh revolusi digital tersebut.

Dikatakannya, ada pula ketimpangan antara pengguna sosial media dan literasi digital menjadi hal yang ironis. Di sisi lain, kepedulian publik terhadap fake-news sangat rendah. Sehingga, informasi yang seharusnya jernih tersebut, jika tidak dikelola dengan tepat, maka dapat sangat menyesatkan.

“Sehingga, tugas pers ke depannya harus menyajikan berita yang lebih jernih dan menjelaskan, sehingga dapat mencerahkan publik. Terlebih dari itu, kode etik menjadi yang sangat krusial. Peranan cross-check dan filter berita dalam newsroom memegang peranan penting untuk meningkatkan kualitas berita,” ujarnya.

Media, katanya, secara umum tertinggal secara teknologi. Di lembaga media itu kerja keras yang dilakukan oleh media bisa kalah viral dengan media-media yang dibuat secara sembarangan.

Contohnya ketika Kompas membuat liputan terkait masker palsu yang melibatkan berbagai institusi, itu bisa kalah dengan penyebaran meme tertentu.

“Sehingga, sekali lagi literasi digital yang minim membuat publik tidak dapat menyaring berita-berita mana yang lebih berkualitas. Tantangan ini jauh lebih besar dari tantangan-tantangan yang terjadi sebelumnya,” ujarnya.

 

Tantangan: Publik Memiliki Akses dalam Memproduksi Berita

Nurul Hasfi menjelaskan bahwa memang degradasi kualitas media di era digital sejalan dengan kemunduran demokrasi. Teknologi digital membuat produsen dan konsumen berita menjadi blur karena publik memiliki akses dalam memproduksi berita.

Selain itu, meningkatnya penggunaan media sosial memunculkan problem baru di mana media memiliki pesaing baru di saat mereka belum mampu beradaptasi secara optimal dengan perkembangan teknologi.

Di sisi lain, teknologi digital juga menyebabkan adanya perubahan jenis atau format konten. Hal tersebut, katanya, memunculkan jurnalisme data dan jurnalisme robot.

Permasalahannya tidak berhenti di situ. Budaya click-bait journalism yang berfokus pada kecepatan dan berita yang viral ternyata mengancam etika jurnalistik di Indonesia.

“Hal tersebut, pada akhirnya akan berujung pada manipulasi berita, penulisan berita yang bersifat eksploitatif, dan juga tidak manusiawi. Tidak hanya berhenti di media digital, budaya tersebut juga meluas hingga ke ranah media tradisional,” ujarnya.

Bias media tersebut, katanya, dipengaruhi oleh teknologi, dimana artikel menjadi cenderung cover one side dengan mengedepankan kecepatan.

“Dengan kata lain, degradasi kualitas jurnalisme merupakan degradasi terhadap demokrasi. Media dan jurnalisme memiliki tanggung jawab memastikan bahwa teknologi ini hanyalah alat yang membantu meningkatkan kualitas jurnalisme, bukan sebaliknya,” ujarnya.

Pembicara terakhir, Herlambang P. Wiratraman memaparkan kerentanan yang dihadapi jurnalis di era digital dan juga dalam situasi di mana kemunduran demokrasi terjadi secara global.

Ia menyampaikan bahwa hanya 14% masyarakat di dunia yang menikmati kebebasan pers. Berdasarkan data dari International Federation of Journalist, 600 jurnalis yang terbunuh dalam enam tahun terakhir. Data dari Institute Pers International, sejak 2000-2020, ada 1700 jurnalis telah terbunuh.

Dalam konteks Indonesia, terkait dengan isu kekerasan, jurnalis menjadi rentan menerima serangan jika meliput tentang pengungkapan kasus korupsi dan kasus eksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan.

Selain itu, katanya, kebebasan pers tidak bisa dilindungi karena adanya impunitas hukum. Ada sebanyak 84 kasus serangan atau kekerasan terhadap jurnalis di berbagai daerah sepanjang 2020, dan mayoritas tidak pernah diusut oleh penegak hukum.

Implementasi dari regulasi yang cenderung digunakan untuk melegalkan represi terhadap jurnalis pun menjadi masalah tersendiri, juga serangan digital.

Selama pandemi, kata Herlambang, pembatasan atas akses informasi, perahasiaan data hingga kesejahteraan dan ancaman PHK juga turut menghantui jurnalis.

“Meningkatnya kasus-kasus serangan terhadap jurnalis itu dapat terjadi karena impunitas yang terus menguat. Termasuk pula penegakan hukum pers yang lemah yang ditambah dengan pendidikan hukum yang masih dominan mengajarkan pemidanaan terhadap jurnalis,” ujarnya.

Kemudian, katanya, yaitu adanya dominasi politisasi kasus melalui intervensi penegakan hukum. Lalu, terbatasnya perlindungan jurnalis dalam internal perusahaan pers. “Di sisi lain, kondisi kemunduran demokrasi yang diikuti oleh penurunan ruang sipil pun membuat jurnalis menjadi semakin rentan,” pungkasnya. (Very)

Artikel Terkait