Nasional

BUMDes Belum Efektif, Abraham Liyanto Beri Catatan untuk Kementerian Desa

Oleh : Mancik - Sabtu, 15/05/2021 15:38 WIB

Anggota Komite I DPD RI dari Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Abraham Liyanto.(Foto:Istimewa)

Jakarta, INDONEWS.ID - Anggota Komite I DPD RI dari Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Abraham Liyanto, memberikan sejumlah catatan penting berkaitan dengan pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Catatan ini dberikan karena melihat adanya pengelolaan BUMDes yang dinilai belum efektif dan tidak menghadirkan keutungan bagi masyarakat desa.

Menurut Liyanto, BUMDes merupakan badan usaha yang sangat potensial menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat desa. Tentu, denga syarat manajemen pengelolaan yang profesional. Kenyataan hari ini, banyak BUMDes yang dikeloa asal jadi sekedar menghabiskan anggaran.

"Ini menjadi catatan buat kita semua, terutama untuk Kementerian Desa, BPMD (Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa, Red) Provinsi dan Kabupaten. Selaku pembina, mereka bertanggungjawab dalam kemajuan BUMDes di desa-desa,” kata Liyanto kepada media di Jakarta, Sabtu, (15 Mei 2021)

Liyanto mengacu pada UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pasal 90 UU itu menyebutkan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan Pemerintah Desa mendorong perkembangan BUMDes dengan memberikan hibah dan akses permodalan.

Kemudian, melakukan pendampingan teknis dan akses ke pasar dan memprioritaskan BUMDes dalam pengelolaan sumber daya alam di desa.

Sementara dalam Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Permendesa PDTT) Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pendirian, Pengurusan, dan Pengelolaan, dan pembubaran Badan Usaha Milik Desa disebutkan menteri bertugas menetapkan norma, standar, prosedur dan kriteria BUM Desa.

Gubernur melakukan sosialisasi, bimbingan teknis tentang standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan serta memfasilitasi akselerasi pengembangan modal dan pembinaan manajemen BUMDes di provinsi.

Adapun bupati/walikota melakukan pembinaan, pemantauan dan evaluasi terhadap pengembangan manajemen dan sumber daya manusia pengelola BUMDes.

Abraham mengaku telah keliling ke ratusan desa di NTT untuk melakukan pengawasan dana desa. Salah satu bidang yang ditanyakan adalah mengenai pengelolaan BUMDes.

Dari hasil pemantauan tersebut, jelasnya, rata-rata dana yang dikucurkan untuk BUMDes selama lima tahun terakhir antara Rp 200-400 juta.

Namun jenis kegiatan baru sebatas koperasi simpan pinjam, penyewaan kursi dan tenda, penyewaan traktor, pembukaan kios penjualan Sembilan Bahan Pokok (Sembako). Anehnya, hasil kegiatan yang dilakukan tidak jelas pelaporannya.

“Saat ditanya, rata-rata tidak ada pelaporan keuangan yang jelas. Apakah untung atau rugi, tidak ada laporannya. Ini yang harus menjadi perhatian agar tidak semata menghabiskan dana desa," ujar Liyanto yang juga Ketua Kadin Provinsi NTT ini.

Selain pengelolaan yang tidak profesional, persoalan yang sering muncul dalam pengelolaan BUMDes yakni seringnya ganti pengurus. Kondisi ini menyebabkan laporan keuangan antara pengurus lama dengan pengurus baru tidak nyambung atau tidak jelas.

“Pergantian pengurus sering terjadi karena ketidakcocokan dengan kepala desa,” tuturnya.

Sesuai arahan Menteri Desa, lanjut Abraham, BUMDes menjadi tulang punggung pembangunan desa di masa mendatang. Hal itu karena negara tidak mungkin terus meningkatkan jumlah kucuran dana desa karena kemampuan uang negara terbatas.

Maka untuk menambah penghasilan di desa-desa, diharapkan bisa didapatkan dari BUMDes. Namun jika melihat pengelolaan BUMDes yang tidak efektif, harapan BUMDes sebagai tulang punggung pemasukan kas desa tidak akan tercapai.

“Pemerintah pusat maupun daerah perlu memberikan pelatihan yang lebih banyak lagi ke pengelolaan BUMDes. Supaya jiwa entrepreneurship (wirausaha) bisa muncul. Jika dilepas begitu saja, tanpa pelatihan dan pembinaan, kehadiran BUMDes nanti hanya untuk habis-habiskan dana desa,” jelasnya.

Dia menyebut saat ini, Komite I DPD RI sedang membahas perubahan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dalam perubahaan itu, dirinya mengusulkan jenis usaha BUMDes perlu diperluas. Misalnya BUMDes bisa menyalurkan pupuk bersubsidi, pengecer BBM, penyalur beras dan berbagai kebutuhan dasar masyarakat desa.

Selama ini, monopoli penyaluran pupuk bagi petani dilakukan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan). Sementara BBM dimonopoli oleh Pertamina. Adapun beras dimonopoli oleh Depot Logistik (Dolog) Beras.

“Kami juga mengusulkan BUMDes dikelola pihak ketiga yang profesional. Atau menyertakan modal ke UKM yang sudah maju di daerah-daerah. Desa tinggal mendapatkan laba dari penyertaan modal tersebut,” tegasnya.

Dia optimistik, jika dana desa dan BUMDes dikelola dengan baik, bisa mengurangi angka kemiskinan. Terutama untuk Provinsi NTT yang angka kemiskinannya menempati nomor tiga secara nasional.

Pasalnya, sumber daya alam (SDA) di NTT masih tersedia cukup banyak. Misalnya ada sektor pertanian, perikanan, peternakan yang belum dimanfaatkan optimal.

Kemudian, ada lahan tidur atau destinasi pariwisata yang tidak digarap dengan baik. Lahan-lahan itu bisa digarap untuk menunjang pariwisata premium yang telah ditetapkan pemerintah.

Tinggal pemerintah membangun infrastruktur telekomunikasi agar destinasi-destinasi unik yang ada di pelosok-pelosok bisa digunakan.

“BUMDes sebenarnya bisa sebagai kawah candradimuka dalam membangun perekonomian. Tinggal dikelola secara profesional agar bisa maju,” tutupnya.*

 

Artikel Terkait