Opini

Refleksi Hari Lahir Pancasila dan Polemik Puan-Ganjar

Oleh : Rikard Djegadut - Selasa, 01/06/2021 21:58 WIB

Oleh: Christianto Wibisono

Opini, INDONEWS.ID - Hari Selasa pagi 1 Juni 2021, Bung Karno muncul di ruang monitor multi media saya di apartemen Kempinski sambil menunjuk 3 layar TV berbeda stasiun tapi topiknya sama yaitu polemik Puan Maharani vs Ganjar Pranowo yang sudah berlangsung sejak berita itu muncul Saptu 22 Mei 2021 tentang tidak diundangnya Ganjar yang justru Gubernur provinsi Jawa Tengah dalam acara Rapat Konsolidasi Ketua DPP PDIP yang juga Ketua DPR Puan Maharani di kota Semarang.

CW: Pagi pak, saya prihatin dan peduli dengan polemic Mas Ganjar dan Mbak Puan. Mungkin bapak selaku eyang/kakek mbak Puan bisa memberikan nasihat bagi kedua tokoh 53 dan 48 tahun bahwa karir mereka masih panjang dan tidak perlu melihat 2024 seperti to be or not to be.

BK: Ya justru system politik Indonesia yang masih gemar menyembunyikan rivalitas dengan kata kara bersayap menghibur diri itu yang harus segera diubah dengan transparansi kontentasi secara obyektif rasional. Tidak perlu ditutupi bahwa ada kompetisi, kontestasi dan rivalitas ketat antara elite oligarki kita, termasuk dan bahkan di dalam internal partai maupun di dalam intra dinasti elite itu sendiri.

CW: Syukurlah bapak bisa menjalankan fungsi, ayatollah, Begawan dan pandito bijaksana yang melihat kepentingan nasional 270 juta rakyat Indonesia dalam mengatasi kontestasi yang menyangkut cucu bapak sebagai penerus dinasti biologis Sukarno. Mungkin bapak bisa memberikan analisis kejiwaan dari heboh polemic Ganjar Puan ini.

BK: Saya barangkali tidak sepenuhnya bisa obyektif dan bisa bias membela cucu saya sehingga anda dan pembaca harus mencerna analisis ini dengan dewasa, obyektif dan berwawasan lintas kecemburuan Kabilisme di dunia politik Indonesia. Politik itu suka tidak suka akhirnya harus menentukan pilihan antara si A bersaing dengan B untuk menjadi pengusa.

Itulah awal riwayat raja raja-raja dinasti turun temurun di seluurh peradaban manusia. Tidak peduli bule Caucasian atau Mongolia yang dianggap “Bataknya” Tionghoa yang mayoritas suku Han (Jawanya Tiongkok). Dalam sejarahnya, Han pernah dikuasai oleh dua dinasti dari suku minoritas yaitu dinasti Mongol dan dinasti Mancu (1644-1911).

Sistem monarki ini akan diganti sistim poliarki demokrasi pemilihan umum melalui ballot (surat suara) pengganti bullet (kudeta lewat bedil).

Jadi ciri utama demokrasi adalah keberhasilan menyelesaian kontestasi politik secara damai dengan menghibur suara dukungan rakyat kepada penguasa. Harus ada sportivitas, kekesatriaan dalam kontestasi. Jangan pakai intimidasi, terror untuk menganulir proses voting dan penghitungan suara.

Nah sampai di sini semua koor setuju, tapi karena kutukan DNA/genealoogis Brutus Ken Arok dan Machiavelli sangat berurat berakar dalam karakter Homo Sapiens, maka meskipun teoretis dan legalnya ideal, tetap bisa terjadi kembalinya karakter suksesi dinasti dengan pembunuhan politik misalnya. Ingat bahkan pembunuhan presiden JFK 1963 masih meninggalkan stigma tentang komplotan pembunuhnya yang tidak terpecahkan sampai sekarang.

CW: Pak ini zaman digital jangan terlalu banyak cerita sejarah, generasi milenial sudah bosan kalau kita menyalahkan nenek moyang Ken Arok Ken Dedes. Yang konkret generasi milenial ini harus milih siapa dalam pilpres 2024.

BK: Ya sudah betul ini aturan pilpres dan ambang batas presiden 20%. Tapi yang minta dihapus 0% juga lucu, nanti ada capres dari partai gurem mendadak bisa beli suara bisa terpilih mengalahkan ketum partai yang tidak popular dan kapabel.

Yang penting memang oligarki elite kita harus sepakat dan harus gentlemen ksatria mengakui keabsahan metode pemilu. Jangan memakai ancaman model 212 untuk menyingkirkan lawan politik. Kalau elite kita masih selalu dihinggapi penyakit bawaan, konflik Piagam Jakarta vs Pancasila yang sudah disettled dan selalu mau membangkitkan ideologi kalifah dipertentangkan dengan Pancasila, maka sampai kiamat juga Indonesia mungkin tidak akan maju ke mana-mana.

Karena ibarat orang lomba lari tapi kakinya dibebani peluruh besi puluhan kilo yang tidak bisa memobiliasi bangsa Indonesia secara all out, mengerahkan kinerja kreatif dan energi proaktif membawa bangsa ini menjadi no 4 dalam kualitas dalam satu generasi tahun 2045.

CW: Wah lah ini bapak megalomania, mimpi muluk, tapi kenyataan di lapangan yang terjadi ya masih “business as usual”. Konkretnya apa yang bisa dilakukan oleh pemilih nanti 2024.

BK: Kalau bicara soal calon sudah ada yang seolah menyebut nama koalisi selingkuh antara “partai kalifah cs marhaen.” Malah sudah diutak atik misalnya Prabowo-Puan, malah Puan-Anies, Ganjar-AHY. Pendeknya gara-gara orang tidak transparan, maka bisa terjadi perselingkuhan politik lintas ideologi, tidak jelas mana partai kiri mana kanan, karena era ideologi memang sekarang sudah ditantang oleh kemampuan delivery management politik suatu bangsa.

CW: Yang ditunggu rakyat adalah arahan Bapak skenario 2024 seperti apa yang bapak sarankan.

BK: Lho saya tidak dalam posisi mengatur tata negara Indonesia yang sudah njlimet mengurus coblosan tapi menjamin kenegarawanan elite yang bersih dan ksatria itu yang sulit dipercaya dewasa ini.

Semua pernah mempunyai “dosa selingkuhan politik atau pun pelangaran HAM masa lalu tapi masih bisa masuk politik sementara orang seperti Ahok sekali salah soal “ayat” dianggap lebih criminal dari “pelaku kudeta” Mei 1998. Rekam jejak Mei 1998 tapi boleh dan bisa jadi capres sedang hanya “dosa A Hok” bisa menyetop karir politiknya.

CW: Wah bapak bisa dihujat lebih China dari China omong seperti itu. Konkretnya bapak advis siapa capres terbaik preferensi bapak.

BK: Sekarang saya kasih resep cooling off, cooling down dulu. Karena itu kita promosi gambar duet Ganjar-Puan untuk menenangkan batin kita. Masih ada waktu untuk kasih resep lebih konkret dan lebih mendekati hari H. Kita harus tetap rajin dan setia memantau dan memberikan ulasan obyektif, jangan Lelah dan kapok mencintai dan memikirkan nasib Indonesia yang hari ini memperingati 76 saya pidato.

Saya akan paling bersedih hati kalau Pancasila dibajak oleh para “mafia politik” Brutus Ken Arok Machiavelli. Semoga wawancara ini masih bisa berkontribusi memelihara kearidan dan kebajikan elite dan populasi strategis Indonesia.*

Artikel Terkait