Nasional

Prof Ryaas Rasyid: Mengesampingkan Etika Pemerintahan, Jurang Menuju Kehancuran Sebuah Negara

Oleh : Rikard Djegadut - Sabtu, 05/06/2021 14:45 WIB

Mantan Rektor IIP, Prof Dr. Ryaas Rasyid MA. Ph. D

Jakarta, INDONEWS.ID - Fenemona maraknya kasus-kasus korupsi yang merajalela di Indonesia dan berbagai kasus-kasus lainnya merupakan wujud nyata bahwa para pengelola dan penyelenggara negara sadar atau tidak sadar telah mengesampingkan etika dan moral dalam mengelola dan menjalankan pemerintahan.

Padahal, sebagaimana tertuang dalam pembukaan undang-undang dasar (UUD) 45, etika dan moral menjadi kunci vital berdirinya sebuah bangsa atau negara, sebuah negara, dalam kontks ini Indonesia didirikan atas dasar kesepakatan dan komitmen etis.

Sehingga dengan mengesampingkan etika dan moral dalam menjalankan pemerintahan, para pengelola dan penyelenggara negara, bukan saja setengah hati mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat, sebagai cita-cita dasar dan luhur dari pendirian sebuah negara, namun sedang menggiring sebuah negara menuju jurang kehancuran.

Demikian disampaikan Ketua Dewan Penasehat Pengurus Pusat Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI), Prof. Ryaas Rasyid, MA, Ph.D ketika menjadi keynote speaker dalam webinar yang digelar MIPI, Sabtu (5/6/21) siang.

Seminar Nasional bertajuk "Qua Vadis Etiak Pemerintahan di Indonesia" itu menghadirkan para pakar antara lain Ketua Umum MIPI, M. Ridho Ficardo, S. Pi, M.Si yang menyampaikan opening speech.

Hadir pula Ketua Dewan pakar Pengurus Pusat MIPI selaku Pakar Ilmu Administrasi UI, Prof. Dr. Eko Prasojo, Mag.rer.publ., Wakil Ketua II Pengurus Pusat MIPI dan Pakar Ilmu Politik LIPI, Prof. R. Siti Zuhro, MA, Ph.D., dan Pakar Ilmu Hukum Universitas Trisakti, Dr. Drs. Trubus Rahardiansyah, MS, SH serta Astri Megatari sebagai moderator.

"Mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana tertuang dalam undang-undang dasar itu, tidak sebatas mendirikan sekolah, memajukan ilmu pengetahuan, tapi juga harus tercermin oleh perilaku para pejabat dan penyelenggara negara," tegas mantan Menteri Otonomi Daerah RI itu.

Dalam pembukaan pemaparannya, Prof Ryaas menekankan perlunya pemahaman tentang tujuan dibentuknya sebuah negara dan pemerintahaan antara lain menjaga ketertiban dan keteraturan, ada tujuan negara sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 45.

"Mengelola sumber daya kekuasaan, menciptakan iklim kehidupan yang sehat dan bergairah serta melindungi hak-hak hidup masyarakat minoritas dan menjamin keamanan masyarakat secara umum," beber mantan menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menteri PAN-RB) ini.

Ketua Dewan Penasehat Pengurus Pusat Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI), Prof. Ryaas Rasyid, MA, Ph.D (duduk) bersama Ketua Departemen Kerjasma MIPI, Drs. Asri Hadi, MA (berdiri)

Bertolak dari prinsip-prinsip pendirian negara dan pemerintahan itulah, maka tugas pokok pemerintahan termanifestasi dalam bentuk-bentuk pelayanan, pemberdayaan dan pembangunan.

"Sekarang, untuk mengetahui apa implikasi etis atas realitas negara dan pemerintah yang mengemban tugas dan fungsi-fungsi itu, perlu dipetakan apa itu negara dan pemerintahan dalam bentuk fisik yang bisa diamati dalam konteks pengelolaan kekuasaannya," lanjut mantan Anggota DPR RI ini.

Menurutnya, perlu digaris bawahi bahwa realitas negara dan pemerintahan yang beretika itu merujuk pada empat (4) komponen utamanya, yaitu kepemimpinan, manajemen, kebijakan dan implementasi serta pertanggungjawaban politik dan pewarisan nilai bagi kelanjutan hidup negara.

Syarat kepemimpinan merujuk pada 3 kualitas kepribadian seorang pemimpin yaitu memiliki integritas (yang teruji), kompetensi (yang diakui), dan komitmen (yang bisa dipercaya).

Tidak melakukan perbuatan tercela, tidak menyalahgunakan kekuasaan, dan tidak mengambil sesuatu yang bukan haknya walau ada kesempatan melakukan hal itu, adalah wujud dari integritas.

"Ringkasnya, integritas itu teruji saat seorang pemimpin punya kesempatan untuk menyeleweng, tapi dia tidak menggunakan kesempatan itu," papar Prof Ryaas.

Selanjutnya, ukuran keberhasikan manajemen negara dan pemerintahan adalah terwujudnya penyelenggaraan kekuasaan yang semakin tertib, semakin bersih, semakin maju dari waktu ke waktu.

Ukuran ini bisa dikuantifikasi dalam bentuk berkurangnya pelanggaran aturan dalam praktek kekuasaan, semakin tertib dan majunya layanan publik di semua sektor, semakin berkurangnya korupsi, kebocoran dan pemborosan keuangan negara, semakin menurunnya kriminalitas dalam masyarakat dan semakin meningkatnya kesejahteraan rakyat dari waktu ke waktu.

"Suatu realitas yang tidak menggambarkan terwujudnya indikasi atau ukuran keberhasikan itu bisa dianggap sebagai kegagalan manajemen kenegaraan dan pemerintahan," tegas mantan Anggota Dewan Pertimbangan Presiden ini.

Berikutnya mengenai kebijakan implementasi, menurut Prof Ryass, kualitas kepemimpinan negara dan pemerintahan tercermin dari produk-produk kebijakan yang dilahirkannya.

Jika pejabat negara dan atau pejabat pemerintahan tidak mampu bersikap netral dan adil dalam mengelola issue-issue kontroversial, apalagi potensi konflik dalam masyarakat, maka akan berakibat pada penajaman sikap kebencian multi-dimensi yang serius.

Alahasil, pihak yang dipojokkan oleh sikap tidak netralnya negara akan secara otomatis menempatkan pemerintah sebagai objek kebencian yang posisinya sejajar dengan lawan mereka.

Maka dari itu, negara dan pemerintah wajib secara terus menerus menjadi promotor persatuan nasional, merangkul semua segmen masyarakat ke dalam naungan negara dan menjembatani perbedaan yang yang hidup dalam masyarakat.

"Pemimpin pemerintahan tidak sewajarnya melibatkan diri dalam konflik sosial, apalagi memihak kepada salah satu pihak yang berkonflik. Ini pelanggaran etik," tukasnya.

Sementara mengenai pertanggungjawaban Politik dan pewarisan nilai bagi kelanjutan hidup negara, Prof Ryaas menegaskan bahwa ini adalah tahapan akhir dari sirkulasi kekuasaan negara dan pemerintahan yang bisa berlangsung secara reguler (dalam sistem demokrasi) atau irreguler (dalam sistem non- demokratis).

Etika pemerintahan, lanjut Prof Ryass, tidak selalu menempatkan kegagalan sebagai kesalahan tak termaafkan. Jika kesalahan itu bisa dijelaskan sebab-sebabnya secara objektif, masyarakat demokratis akan mampu memaafkannya.

"Bahkan banyak kasus yang menunjukkan seseorang figur yang pernah dinilai gagal dalam suatu masa kepemimpinan bisa kembali memimpin secara lebih baik pada kesempatan atau tempat yang lain," tukasnya.

Etika dalam demokrasi membuka ruang untuk recovery kepemimpinan seseorang yang pernah dianggap gagal. Situasinya berbeda jika kegagalan itu terjadi dalam sistem otoriter.

Pertanggung jawaban politik juga bisa dimaknai sebagai rujukan inspiratif bagi calon-calon pemimpin generasi berikutnya. Mereka bisa belajar tentang sukses dan gagal secara objektif.

Pemimpin pemerintahan yang sukses seringkali dijadikan role model oleh generasi muda. Pemimpin pemerintahan yang gagal dijadikan acuan pembelajaran, juga baik untuk dipelajari demi menghindari terulangnya kegagalan yang sama.

Prestasi atau kegagalan disebut warisan atau legacy dari seorang pemimpin jika apa yang diwariskannya itu membekas dan berpengaruh positif atau negatif pada kondisi negara dan rakyat secara signifikan.

"Legacy yang positif itu terlihat misalnya pada penguatan nasionalisme, perbaikan kesejahteraan rakyat, kemajuan teknologi, harmoni sosial, displin masyarakat, ketaatan hukum, berkurangnya korupsi, menguatnya demokrasi, penegakan HAM, penghapusan hukuman mati, menurunnya kriminalitas dan prestasi lainnya yang membekas dalam benak masyarakat," urai Prof Ryass.

Adapun legacy yang negatif termasuk manajemen pemerintahan yang rusak, kebijakan politik, sosial, ekonomi, keuangan, penegakan hukum yang amburadul, yang semua itu secara kumulatif memelihara ketidak-adilan sosial, ekonomi, hukum dan politik.

Semakin parahnya disharmoni sosial, dan rusaknya persatuan bangsa akibat suburnya rasa kebencian antar golongan, ras, suku dan pemeluk agama dapat menjadi legacy negatif yang menggiring suatu bangsa ke jurang kehancuran.

"Semua ini bisa terjadi akibat bencana kevakuman etik yang secara berkepanjangan melanda suatu negara dan pemerintahan," tutup Prof Ryaas.

Terpisah, kesuksesan penyelenggaraan seminar nasional yang diselenggarakan secara online dan dihadiri lebih dari 300an peserta ini mendapat apresiasi dari Pemimpin Redaksi Indonews.id selaku Ketua Departemen Kerjasama MIPI, Drs. Asri Hadi.

"Sebagai Pemred Indonews.id, saya menyambut baik kerja sama antara MIPI dan Indonews,id sehingga setiap kegiatan MIPI dapat dipublikasikan," kata Bendahara Asosiasi Media Digital Indonesia (AMDI) ini dalam keterangan tertulis kepada Indonews.id, Sabtu (5/6/21) siang.

"Selamat untuk Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia atas suksesnya penyelenggaraan seminar nasional ini. Dengan kegiataan seperti ini, semoga para penyelenggara negara kita dapat mengedepankan etika dan moralitas dalam menjalankan pemerintahan," harap Dosen Senior IPDN ini.*(Rikard Djegadut).

Pemimpin Redaksi Indonews.id, Drs. Asri Hadi, MA bersama ex news presenter RCTI, Astri Megatari yang bertindak selaku moderator acara.

Artikel Terkait