Opini

Pariwisata, Seks, dan HIV/AIDS

Oleh : indonews - Senin, 27/09/2021 16:49 WIB

Warga Labuan Bajo, Manggarai Barat, Sil Joni.(Foto:Istimewa)

Oleh: Sil Joni*

INDONEWS.ID - Dalam perspektif teologis, seks adalah `perangkat cinta` yang memungkinkan manusia bisa tampil sebagai ko-kreator Allah. Dengan demikian, keberadaan seks itu bersifat suci. Allah menciptakan manusia lengkap dengan `organ seks` agar cinta bisa dimanifestaikan secara total.

Namun, dalam aras implementasinya, dimensi kekudusan dari seks kerap mengalami penodaan. Manusia kerap gagal mengendalikan `nafsu libidinalnya` dalam mengaktualisasikan potensi seksualitasnya. Aksi `penyalahgunakan` organ seks tak terhindarkan lagi.

Seks tidak lagi dilihat sebagai `sarana mengekspresikan cinta`, tetapi justru sebagai `pelampiasan nafsu animalitas` semata. Nafsu dikredit sebagai `tujuan utama` yang mesti dipenuhi dalam berhubungan intim. Eksistensi seks direduksi hanya sebatas `alat pemuas naluri libidinal`.

Makna seks yang reduktif dan instrumentalistik semacam itu menyebabkan seks dianggap sebagai sebuah `komoditas`. Seks bisa diperjualbelikan sebab tujuan utamanya adalah `kepuasan naluriah`. Kita bisa membeli seks kapan dan di mana saja jika memiliki modal yang cukup.

Bahkan di negara-negara tertentu `seks` telah menjelma sebagai sebuah `produk wisata unggulan`. Dalam ensiklopedi turisme, kita mengenal istilah `pariwisata seks`, di mana pelayanan seksual menjadi salah satu atraksi wisata primadona. Keuntungan yang diperoleh dengan kebijakan `melagalkan wisata seks itu`, tentu saja sangat fantastis.

Kendati `wisata seks` tidak dilegalkan dan mungkin tidak dipraktekkan secara vulgar di Manggarai Barat (Mabar), tetapi saya kira, aktivitas pariwisata selalu beriringan dengan `dunia seks` itu. Industri seks, jika trem ini boleh dipakai di sini, menjadi semacam `bumbu` penyedap dalam kegiatan kepariwisataan. Berwisata tanpa diselingi dengan aktivitas seksual itu, bagi orang dari budaya tertentu, rasanya terasa hambar.

Jika kita mengakui bahwa aktivitas seksual adalah kebutuhan, maka tentu logis rasanya jika wisatawan yang datang ke Labuan Bajo mendambakan terpenuhinya kebutuhan itu. Jangankan wisatawan manca negara, para tamu lokal bahkan penduduk lokal pun, boleh jadi terpikat untuk memenuhi kebutuhan itu di luar rumah. Dengan perkataan lain, kita coba memuaskan hasrat seksual itu di tempat lain dan pada `orang yang juga menjual jasa seks` itu.

Biasanya, budaya kehidupan malam yang glamour begitu menggeliat seiring dengan pesatnya aktivitas industri turisme di suatu daerah tujuan wisata. Kenyataan semacam ini rasanya sulit terelakkan lagi. Menjamurnya pantai pijat, rumah bordil, tampat karoke, dan pub merupakan `item jasa sampingan` yang bisa ditawarkan dalam sebuah pasar pariwisata.

Ketika transaksi dan aktivitas seksual komersial semakin marak, maka tinggal tunggu waktu `kasus HIV/AIDS`, akan merebak. Hubungan seks dengan pasangan yang berganti-ganti menjadi salah satu cara penularan virus HIV kepada orang lain. Masalahnya adalah kita tidak pernah tahu bahwa pasangan seks kita sudah terinfeksi HIV atau belum. Jika salah satunya terpapar HIV, maka besar kemungkinan virus itu menular ke pasangannya jika tidak menggunakan kondom dan pasangan yang terinfeksi belum pernah mengonsumsi obat Anti Retro Viral (ARV).

Karena itu, tidak terlalu mengejutkan jika jumlah kasus HIV/AIDS di Mabar cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Boleh jadi jumlah kasus yang sesungguhnya jauh lebih banyak dari kasus yang terekam atau terdeteksi oleh pihak otoritas medis. Ibarat gunung es, kasus yang dilaporkan itu hanya sebagian kecil dari puncak gunung es di permukaan, tetapi jumlah yang lebih besar masih tenggelam di dasar lautan kehidupan sosial.

Keberadaan seks sebagai komoditas, bisa menjadi pedang bermata ganda dalam lapangan pariwisata. Di satu sisi, komersialisasi seks berpotensi `menambah semaraknya aktivitas industri turisme dan mendongkrak perolehan profit`. Tetapi, tak bisa dibantah bahwa praktek jual beli seks itu sangat berisiko dari sisi perkembangan dan penyebaran HIV/AIDS. Dengan formulasi yang lebih teknis, seks yang transaksional itu, mengandung madu dan racun sekaligus.

Kita tidak mungkin `membasmi` gaya hidup yang cenderung mendewakan kenikmatan duniawi di tengah globalisasi aktivitas pariwisata saat ini. Kita juga tak punya kompetensi dan otoritas untuk melarang praktik jual beli seks. Meski demikian, saya berpikir mungkin baik jika `sisi laknat` dari aktivitas seks yang liar` itu perlu diminimalisasi. Setdaknya, kita mempunyai pasokan pengetahuan yang benar tentang dampak dari perilaku seks yang cenderung bebas dan tak terkontrol tersebut.

Karena itu, alih-alih `melarang orang untuk terlibat dalam aktivitas industri seks`, mungkin kampanye untuk `lakukan seks aman (safety seks), sangat relevan dan urgen saat ini. Yang dimaksudkan dengan seks aman itu adalah kebiasaan menggunakan kondom dalam melakukan aktivitas senggama di pasar seks.

Kondom merupakan salah satu `alat pelindung diri` agar HIV tidak menular ke tubuh. Cairan sperma dan vagina tidak bisa masuk ke tubuh ketika kita menggunakan kondom secara benar. Jika penggunaan kondom ini sudah `membudaya`, maka potensi penularan HIV akan terhambat.

Labuan Bajo adalah salah satu destinasi super prioritas yang berlevel `super premium`. Layanan seksual, tentu saja menjadi salah satu `produk` yang ditawarkan dalam pariwisata itu. Rasanya, sebuah kebohongan jika kita menyangkal soal kehadiran `jasa pelayanan seksual` itu di destinasi super premium ini.

Masing-masing kita, kalau dapat `selalu waspada` agar perilaku seks kita, tidak berisiko menularkan HIV/AIDS. Dengan itu, tanggung jawab kita dalam menjaga image dan reputasi destinasi super prmium, ditunaikan dengan sempurna. Kita mesti berpartisipasi dalam `gerakkan` menghentikan laju penularan HIV/AIDS di daerah ini. Pariwisata dan layanan seksual yes, tetapi HIV/AIDS no!

*Penulis adalah warga Labuan Bajo.

Artikel Terkait