Bisnis

Mengenang 100 Hari Dr Enny Sri Hartati: Ekonomi Tumbuh dengan Daya Saing, Hilirisasi, dan Industri yang Kuat

Oleh : very - Minggu, 10/10/2021 21:25 WIB

Dr. Esther Sri Astuti Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (INDEF). (Foto: Humas INDEF)

Jakarta, INDONEWS.ID -- Pembangunan ekonomi Indonesia harus bertumpuh pada daya saing, hilirisasi dan industri yang kuat dengaan tujuan untuk memakmurkan rakyat, merupakan garis pemikiran almarhumah Eny Sri Hartati selama hidupnya.

Hal itu disampaikan Dr. Esther Sri Astuti Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (INDEF), dalam webinar “Mengenang 100 Hari (Wafatnya) Dr Enny Sri Hartati”, pada Sabtu (9/10/2021).

Hal itu, kata Ester, senada dengan keinginan Presiden Jokowi yang menginginkan Indonesia menjadi negara berpenghasilan 5 besar dunia dalam pertumbuhan ekonomi pada 2045.

Esther menyampaikan bahwa untuk mencapai hal tersebut, Indonesia harus menyelesaikan beberapa pekerjaan rumah (PR).

Pertama, yaitu tidak menjadi negara midle income trap. Pada saat sebelum covid 19 Indonesia sempat menjadi negara upper midle country, tetapi dengan adanya pandemi status Indonesia kembali jadi negara berpendapatan menengah.

“Dibutuhkan transformasi ekonomi untuk bisa mewujudkan visi emas Indonesia 2045,” jelasnya dalam webinar bertajuk “Ekonomi Tumbuh dengan Daya Saing, Hilirisasi, dan Industri yang Kuat”.

Realitas struktur ekonomi Indonesia memang masih didominasi sektor primer tetapi dengan nilai tambah yang masih kurang. Padahal potensi ekspor Indonesia dengan modal sumber daya alam termasuk luar biasa.

Namun perlu usaha untuk bisa mendaptakan benefit dari komoditas dengan meningkatkan nilai tambah dari komoditas mentah yang diolah menjadi produk turunan sehingga bernilai signifikan untuk diekspor. Misalnya pada produk turunan dari sawit/CPO, kopi, cocoa, karet nikel, dan sebagainya.

Esther juga menyatakan bahwa dalam hal keberhasilan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, Vietnam menjadi pemenang.

“Ketika relokasi perusahaan-perusahaan China ke Asia Tenggara akibat perang dagang China – USA, tidak ada satupun perusahaan China dan USA yang masuk merelokasi company ke Indonesia. Tapi memilih Vietnam terutama, dan Thailand serta beberapa negara lain,” katanya.

Dari sisi struktur ekspor antara Indonesia dan Vietnam kurang lebih sama. Namun produk ekspor Vietnam telah diolah bukan hanya mengekspor bahan mentah tapi telah menjadi varian produk turunan yang bernilai tinggi.

“Barang-barang elektronik, industri transportasi yang dikembangkan. Memang untuk sukses kearah sana dibutuhkan modal dan tenaga kerja handal untuk mencapai hilirasi yang berhasil,” ujar Esther.

Kedua, Esther mengungkap tantangan bahwa industri di Indonesia hanya mengadopsi 6% saja teknologi tinggi, dan 30 % teknologi menengah.

“Harus disadari peran inovasi dan teknologi sangat krusial untuk mendukung hilirisasi yang sukses. Tentunya harus juga disupport oleh anggaran R & D yang selama ini masih sangat kurang. Demikian pula dengan peningkatan skill pekerja industri,” terangnya.

Ekonom INDEF, Dr. Eisha M. Rachbini, mengungkapkan pokok-pokok pikiran alm. Eny Sri Hartati yang perlu dijadikan bahan perbaikan perekonomian nasional. Di antaranya adalah daya saing produk dalam negeri yang  terus menurun dan tersisih produk impor.

(Ekonom INDEF, Dr. Eisha M. Rachbini. Foto: Humas INDEF)

Hal lainnya adalah bagaimana meningkatkan produktivitas industri. Sementara terlihat indeks Manufaktur (PMI) terus menurun dari 50.9 (2018) menjadi 49.7 (2019), dan 44,69 (2020). Untuk itu sangat diperlukan investasi yang memberikan nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja.

“Diperlukan investasi terkait rantai pasok global dan kinerja perdagangan Indonesia. Sementara itu tercatat global competitiveness Index Indonesia terus turun dari semula di urutan 37 (2017), 45 (2018) dank e 50 pada 2019,” katanya.

Eisha menyatakan bahwa realitas daya saing industri manufaktur Indonesia berada pada ranking 40 dari 152 negara, dengan 44,2 % nya masih bertumpu pada sumber daya alam dengan teknologi rendah.

“Hal itu diperburuk oleh kinerja industri manufaktur nasional yang juga terus turun dari berkisar 11 % pada 1993, lalu anjlok pada 1998, dan setelah itu kinerja industri manufaktur dalam negeri hanya 5 % (2013). Kinerja industri pengolah juga jatuh dari sekitar 75,73 pada 2013 menjadi hanya 67,60 pada 2020.” ujarnya.

Eisha juga mengungkakan dampak pandemi covid 19 terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sebelum pandemi mencapai 5.0 % pada 2018, saat pandemi jatuh menjadi minus 2 %. Padahal secara long term economic growth, pertumbuhan ekonomi Indonesia masa orde baru pernah mencapai 7,1 % – 7,7 %.

Potensi industri manufaktur dan tantangannya ke depan dapat diberikan masukan beberapa hal yakni melakukan hilirisasi manufaktur berbasis komoditas sehingga mendorong ekspor dan memperbaiki neraca perdagangan.

“Tantangan yang dihadapi pertama, butuh investasi besar guna mendukung peningkatan value added komoditas. Kedua, dibutuhkan kebijakan dan regulasi yang mendukung percepatan investasi dan hilirisasi sektor manufaktur. Ketiga, ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan,” pungkasnya. ***

Artikel Terkait