Bisnis

Faisal Basri: Kereta Cepat Jakarta-Bandung Proyek Transportasi atau Proyek Properti?

Oleh : very - Selasa, 12/10/2021 09:52 WIB

Kereta api cepat Jakarta-Bandung. (Foto: kcic.co.id)

Jakarta, INDONEWS.ID -- Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung jauh berada di bawah rata-rata kereta cepat di dunia yang mencapai 500 km per jam. Untuk diketahui, kereta cepat Jakarta-Bandung hanya memiliki kecepatan 100 kilometer per jam.

"Kereta cepat itu kan rata-rata seluruh dunia rata-rata 500 km (per jam, red.). Ini cuma 100 km, atau juga ndak sampai. Jadi tidak bisa kereta cepat itu, ngik, jalan berhenti. Rusak lah keretanya," ujar Ekonom senior Universitas Indonesia, Faisal Basri, dalam diskusi di YouTube Kementerian Perhubungan, Sabtu (9/10).

Faisal membandingkan kereta tercepat dunia saat ini ada di Perancis yang mencapai 578 km/jam. Sementara kereta dari Beijing ke Shanghai memiliki kecepatan hingga 486 km/jam. Sedangkan kereta cepat Jakarta-Bandung memiliki kecepatan operasional hingga 350 km/jam dan akan menempuh jarak Jakarta-Bandung dalam 46 menit. 

Karena itu, Faisal mempertanyakan apakah proyek tersebut benar-benar merupakan proyek transportasi kereta cepat, atau hanya untuk proyek properti. Sebab jalurnya melewati sejumlah titik pusat perbelanjaan seperti Summarecon hingga Lippo Group.

Faisal mengatakan akan banyak kebijakan yang berbau politis dalam hitungan 10- 20 tahun ke depan. Karena itu, dia mengingatkan semua kebijakan publik harusnya bebas dari unsur politik.

Sebelumnya, ekonom dari Universitas Bung Karno, Gede Sandra juga mengkritik pemilihan kontraktor China dalam proyek kereta cepat Jakarta-Bandung tersebut. Dia secara khusus meminta pertanggungjawaban menteri BUMN kala itu, Rini Sumarno.

“Memang harus ada yang bertanggung jawab atas terjadinya cost over-run dalam proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Tapi yang lebih penting lagi, harus ada yang bertanggung jawab atas pemilihan China sebagai kontraktor proyek ini. Dan saya rasa orang yang paling bertanggung jawab secara bisnis saat itu adalah mantan Menteri BUMN Rini Sumarno,” ujarnya seperti dikutip Indonews.id

Pada saat diputuskan memilih kontraktor China, dibandingkan kontraktor Jepang, kata Gede, Rini Sumarno merupakan pejabat yang paling agresif melakukan lobby-lobby, bahkan dilakukannya sampai ke Negeri China.

Dengan memilih China daripada Jepang, katanya, Indonesia dipaksa untuk berutang dua kali lipat lebih mahal. Selisih bunga kemahalan yang harus dibayar oleh Indonesia akibat memilih China adalah sebesar US$ 6,4 miliar (sekitar Rp 89,6 triliun). “Dan kerugian ini harus ada yang bertanggung jawab secara bisnis, yaitu Menteri BUMN pada era itu: Rini Sumarno,” ujarnya.

Sekarang terjadi cost over-run pada proyek yang dikerjakan kontraktor China ini. Nilai proyek dikatakan membengkak dari US$ 5,5 miliar menjadi US$ 7,97 miliar. Tidak jelas siapa yang menanggung cost over-run sebesar US$ 2,47 miliar (Rp 34,5 triliun, kurs Rp 14.000/$) ini. Apakah ditanggung seluruhnya oleh China Development Bank dalam bentuk pinjaman atau oleh konsorsium BUMN?

Bila ditanggung seluruhnya oleh China Development Bank, maka dengan skema yang sama (bunga majemuk 2% dan tenor 50 tahun) maka total pinjaman yang harus dilunasi akan sangat melonjak hingga ke US$ 18,8 miliar. Tetap Rini Sumarno yang harus bertanggung jawab karena skema pinjaman dengan bunga yang kemahalan ini adalah peninggalan dirinya.

Bila ditanggung oleh konsorsium BUMN, artinya pemerintah harus siap melakukan Penyertaan Modal Negara (PMN).

Seperti diketahui pada Juli 2021, Menteri BUMN Erick Tohir sudah mengajukan PMN Rp 8,46 triliun melalui BUMN PT KAI untuk proyek kereta cepat Jakarta Bandung. Meskipun bila PMN (yang bersumber dari APBN) dikucurkan tentu akan menyalahi komitmen awal seperti yang tertuang dalam Pasal 4 Ayat (2) Peraturan Presiden no. 107/2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta Bandung yang menyebutkan, bahwa “Pelaksanaan penugasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 tidak menggunakan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta tidak mendapatkan jaminan Pemerintah”. ***

Artikel Terkait