Nasional

Umat Beragama Wajib Taati Kesepakatan yang Telah Dilakukan Pendiri Bangsa

Oleh : very - Jum'at, 15/10/2021 10:26 WIB

Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol. R. Ahmad Nurwakhid, SE, MM, saat merima cinderamata usai menjadi narasumber Diskusi Kebangsaan Membangun Harmoni Bangsa Bersama BNPT di Balai Desa Banjar Rejo, Kecamatan Batang Hari, Kabupaten Lampung Timur, Lampung, Kamis (14/10/2021). (Foto: Pusat Media Damai, BNPT)

Lampung, INDONEWS.ID -- Dalam index potensi radikalisme di Indonesia masih ada sekitar 12,2 persen yang masuk dalam kategori OTG (orang tanpa gejala) yang terpapar radikalisme. Indikatornya mereka ini anti-Pancasila dan pro khilafah. Karena itu untuk mereduksi dan melawan propaganda kelompok khilafah, umat beragama di Indonesia wajib menaati perjanjian yang sudah menjadi kesepakatan para founding father, tokoh bangsa, ali ulama, tokoh agama.

“Menjadi kewajiban kita semua umat beragama di Indonesia mentaati perjanjian yang sudah menjadi kesepakatan. Artinya itu wajib. Kita semua wajib mentaati perjanjian dalam berbangsa dan bernegara dalam bentuk konsensus nasional yaitu Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, UUD 45 atau PBNU. Itu wajib,” ujar Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol. R. Ahmad Nurwakhid, SE, MM, saat menjadi narasumber Diskusi Kebangsaan Membangun Harmoni Bangsa Bersama BNPT di Balai Desa Banjar Rejo, Kecamatan Batang Hari, Kabupaten Lampung Timur, Lampung, Kamis (14/10/2021).

Dengan demikian, ungkap Ahmad Nurwakhid, kalau ada orang atau kelompok yang menggelorakan khilafah, syariah, dan daulah, itu haram hukumnya di Indonesia karena itu sama saja melanggar konsensus nasional. Apalagi tokoh-tokoh yang membuat perjanjian yang sudah menjadi kesepakatan itu sudah wafat semuanya.

“Secara hukum siapa yang bisa membatalkan perjanjian, para pihak yang bersepakat, yang sekarang sudah wafat? Silakan kalau mau diubah ke alam barzah sana,” tukas Nurwakhid.

“Artinya apa, Pancasila dan NKRI harga mati. Dan siapapun yang melanggar perjanjian itu hukumnya jahiliyah, haram,” imbuhnya.

Selain itu, mantan Kabagops Densus 88 ini mengajak seluruh hadirin untuk benar memahami makna tauhid. Ini penting agar umat beragama tidak mudah terpecah belah oleh politik adu domba kelompok radikal dan pengusung khilafah. Ia yakin bila umat beragama memahami tauhid, maka bangsa Indonesia akan imun dari radikalisme.

“Jadi Tuhan di alam semesta itu zatnya satu, namanya beda-beda, cara nyembahnya beda-beda, kalau beda, gak boleh disamakan. Itu namanya lakum diinukum waliyadiin. Artinya bagimu agamamu bagiku agamaku,” jelasnya.

Selain itu, ia juga meluruskan makna ukhuwah islamiyah. Makna ini harus diluruskan karena bila pemahamannya salah justru maknanya menjadi radikal dan takfiri.

“Ukhuwah Islamiyah jangan diartikan persaudaraan sesama umat Islam, tapi persaudaraan secara Islami. Kalau persaudaraan sesama umat Islam itu radikal,” tegasnya.

Nurwakhid menegaskan bahwa radikalisme dan terorisme mengatasnamakan Islam sejatinya fitnah bagi Islam. Pasalnya ideologi takfiri, agenda dan tindakan bertentangan dengan nilai islam yang rahmatan lil alamin yang mewajibakan toleransi, kasih sayang, akhlakul karimah, dan taat serta patuh kepada pemerintah yang sah.

"Radikalisme dan terorisme mengatasnamakan agama adalah musuh agama dan musuh negara," kata Ahmad.

Ia menegaskan radikalisme adalah musuh semua agama dan tidak ada kaitannya tindakan terorisme dengan agama apapun. Namun, terorisme terkait dengan pemahaman dan cara beragama umatnya.

"Yakinlah radikalisme mengatasnamakan Islam adalah fitnah bagi Islam, adalah proxy untuk menghancurkan Islam dan untuk menghancurkan NKRI. Maka harus menjadi musuh kita bersama. Kita harus bersatu dan melawan bersama-sama," kata Ahmad Nurwakhid.

 

Ia pun mengajak masyarakat untuk ikut mewaspadai atau mendeteksi gejala radikalisme di masyarakat.

“Maka tugas bapak ibu semuanya, kalau ada orang yang sedikit-sedikit bidah, sesat, kenduri gak mau, ngucapin selamat Natal gak mau. Contohnya yang biasanya teriak-teriak sate-sate itu biasanya penjual sate. Jadi yang teriak-teriak kafir dan bid’ah, nah itulah mereka,” jelasnya.

Ia menegaskan bahwa Indonesia adalah Bhinneka Tunggal Ika yaitu berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Artinya, perbedaan dan keragaman Indonesia itu adalah keniscayaah. Perbedaan itu justru harus menjadi kekuatan dalam persatuan. Karena itu, bangsa Indonesia yang  beragama itu wajib mencintai tanah air dan bngsanya.

 

Tiga Strategi Kelompok Radikal Terorisme

Pada kesempatan itu, Nurwakhid juga memaparkan tiga strategi kelompok radikal terorisme. Pertama mengaburkan, menyesatkan dan menghilangkan sejarah bangsa.

“Contohnya Gajah Mada, dibilang bukan Hindu, tapi itu Gajah Mada itu Islam. Kemudian terjadi Perang Bubat yang disebutkan Majaphit menyerang Pajajaran. Itu adu domba. Itu cara-cara yang dulu dibuat kolonial penjajah supaya jati diri, kebanggaan, kehormatan dan identitas bangsa jadi hilang. Kelompok radikal justru melanjutkan cara-cara penjajah itu,” paparnya.

Hadir juga pada acara itu, pendiri NII Crisis Center Ken Setiawan. Ia menceritakan saat bergabung dengan NII dahulu. Saat itu, ia menilai semua orang salah dan kafir, yang benar dan beriman hanya dia dan kelompoknya saja.

“Jadi bukan hanya yang beda agama, yang sama tapi belum bergabung ya kafir juga. Doktrin kita orang kafir boleh kita perangi, kita ambil hartanya, dibunuh juga tidak apa-apa,” kata Ken.

Ia juga bercerita saat melakukan mengumpulkan dana buat NII dengan cara merampok dan menyatroni rumah orang kaya. Ia bahkan pernah dalam sehari dapat rampokan lebih dari Rp1 Miliar. Tapi sepeser pun ia tidak menikmati uang itu, karena itu dianggap perjuangan.

Ken bersyukur ia akhirnya sadar dan sekarang membuat forum NII Crisis Center. Lembaga ini menerima laporan dari masyarakat, karena ia paham masyarakat. Ia paham masyarakat yang  terpapar NII, mau cerita malu. Mau lapor polisi takut diteror pelaku.

“Kami dan kawan-kawan membuka kanal pengaduan. Insya Allah bersama kita mereka tidak akui sebagai NII tapi korban. Mereka harus kita selamatkan. Kita harus bicara satu frekuensi. Sejauh ini banyak yang sudah lapor dan ujungnya saya tetap laporkan ke aparat berwajib,” kata Ken.

Setelah dari Desa Banjar Rejo, Direktur Pencegahan yang didampingi Kasubdit Kontra Propaganda BNPT Kolonel Pas. Drs. Sujatmiko melakukan silaturahmi ke Pondok Pesantren Al Abror, Kota Metro, Lampung. Bertempat di masjid Pondok Pesantren Al Abror, Direktur Pencegahan BNPT memberikan tausiah dan wawasan kebangsaan kepada kurang lebih 100 santri putra.

Dari Pondok Pesantren Al Abror, rombongan bersilaturahmi di kantor Seknas Jokowi Kota Metro dan dilanjutkan malam harinya kembali menggelar Diskusi Kebangsaan Membangun Harmoni Bangsa Bersama BNPT di Pasar Kreatif Tejo Agung yang diikuti para pelaku UMKM dan masyarakat sekitar sekitar. ***

 

Artikel Terkait