Nasional

KPPOD Beri Dua Rekomendasi Terkait Tata Kelola Ekonomi Daerah

Oleh : Mancik - Senin, 13/12/2021 15:19 WIB

Direktur Eksekutif KPPOD, Arman Suparman.(Foto:Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui Rancangan Undang-Undang Hubungan Keuangan Pusat Daerah (RUU HKPD) untuk dijadikan Undang-Undang dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-10 Masa Persidangan II Tahun 2021-2022 (07/12/2021).

Regulasi ini mengatur sejumlah perubahan berkaitan dengan pelaksanaan desentralisasi fiskal di daerah dan relasinya dengan pemerintah pusat. Substansi UU ini merupakan fusi regulasi antara UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) dengan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan.

Kajian KPPOD menemukan sejumlah potensi persoalan yang memiliki dampak terhadap pemerintah daerah dan pelaku usaha. Terdapat beberapa klasul yang berpotensi mengganggu iklim investasi mengingat pengaturan terkait perpajakan daerah merupakan salah satu indikator dari Tata Kelola Ekonomi Daerah.

Berangkat dari konteks tersebut, Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menggelar diskusi media bertajuk “UU Hubungan Keuangan Pusat-Daerah dan Tata Kelola Ekonomi Daerah”.

Tujuan diskusi ini, menyampaikan catatan korektif dan rekomendasi kebijakan terhadap kebijakan tersebut. Dalam diskusi ini, Direktur Eksekutif KPPOD, Arman Suparman menyampaikan pandangan KPPOD terhadap substansi UU HKPD.

Sebagai pembuka, Arman menyoroti rendahnya daya saing Indonesia dan persoalan kemandirian fiskal daerah yang belum tercapai.

Rendahnya daya saing Indonesia tercermin dalam beberapa indeks internasional yaitu Global Competitiveness Index (2019), Ease of Doing Business (2020). Indeks Asia Competitivenes Institute (2017).

Hal ini menunjukan adanya disparitas kemampuan bersaing yang besar antardaerah di Indonesia. Selain itu, merujuk laporan BPK 2019, Kemandirian fiskal daerah masih rendah dimana hanya satu daerah yang dikategorikan sangat mandiri yakni Kabupaten Badung.

"Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah yang besar dalam meningkatkan daya saing, khususnya daya saing daerah," kata Arman.

UU ini menghadirkan nuansa kepastian melalui pemberlakuan asas closed list serta simplifikasi pada sejumlah nomenklatur pajak. Terdapat jenis pajak baru seperti Pajak Alat Berat (PAB) dan Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) yang merupakan fusi atas beberapa jenis pajak dalam UU 28/2009 seperti pajak hotel, pajak restoran, pajak parkir, pajak penerangan jalan, dan pajak hiburan.

Terdapat beberapa rasionalisasi retribusi, khususnya retribusi perizinan tertentu seperti retribusi persetujuan bangunan Gedung yang merupakan perubahan dari retribusi IMB sebagai imbas atas berlakunya UU Cipta Kerja.

KPPOD mengapresiasi hadirnya UU HKPD sebagai regulasi yang diharapkan mampu memberikan dampak signifikan terhadap upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Kajian KPPOD menemukan, terdapat tiga dimensi kebermanfaatan yang dapat dihadirkan oleh regulasi ini, yakni dari sisi insentif fiskal, ruang otonomi, dan peningkatan PAD itu sendiri. Pada aras insetif fiskal, UU HKPD mendorong Pemda untuk memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha.

Dari sisi otonomi, UU ini menciptakan ruang bagi otonomi daerah dalam menetapkan tarif dengan sistem range (batas maksimal) dan tidak memungut pajak yang potensinya tidak memadai.

UU ini juga menetapkan Pemda berwenang untuk menarik opsen sebagai pungutan tambahan atas pajak tertentu sehingga berpotensi meningkatkan PAD.

"Hal ini sebenarnya memperkuat PP 10/2021 sebagai turunan dari UU Cipta Kerja dan mempertegas PP 24/2019 dimana daerah memberikan insentif fiskal sesuai dengan peraturan perundang-undangan”, tegas Arman.

UU ini juga menghadirkan skema Opsen, dimana terdapat pungutan tambahan terhadap jenis pajak tertentu. Pajak yang dimaksud adalah Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), dan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB).

Arman menambahkan, skema opsen dalam UU ini yang dibayarkan wajib pajak tidak berbeda jauh dengan tarif existing.

"Kedepannya, kita menanti peraturan pemerintah terkait opsen agar tidak membingungkan pembayaran pajak," kata Arman.

Namun, KPPOD juga menemukan adanya potensi dampak ekonomi negatif yang bisa ditimbulkan oleh UU ini.

Hal itu dilihat dari pengaturan beberapa Pajak Daerah, misalnya Pajak Barang dan Jasa Tertentu untuk Tenaga Listrik. Secara substansi, pengaturan PBJT tenaga listrik dalam UU ini telah sesuai dengan beberapa poin putusan MK.

Namun, penarikan pajak atas penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri mengindikasikan bahwa terdapat keterbatasan pemerintah dalam meyediakan infrastruktur dan penyediaakn tenaga listrik secara mandiri menandakan ada partisipasi masyarakat dalam perekonomian daerah.

"Dua hal ini perlu dipertimbangkan agar tetap memperhatikan keseimbangan dan melihat kontribusi pelaku usaha yang memiliki tenaga listrik yang dihasilkan sendiri terhadap perekonomian daerah," tegas Arman.

KPPOD melihat, penarikan pajak atas penggunaan listrik yang dihasilkan sendiri menimbulkan dampak ekonomi negatif.

Selain itu, kenaikan persentase Pajak Bumi dan Bangunan untuk Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2) juga berpotensi membebani pelaku usaha dan kelompok masyarakat tertentu.

Terkait pengaturan evaluasi Perda PDRD, UU ini hanya memberlakukan sanksi terhadap Pemerintah Daerah yang tidak mengindahkan hasil excecutive review, namun tidak ada konsekuensi terhadap reviewer yang melakukan peninjauan Ranperda melebihi tenggat waktu yang ditentukan.

Menyoroti mekanisme Transfer Keuangan dan Dana Desa (TKDD) dalam regulasi ini, KPPOD memberikan ekspektasi bahwa TKDD mampu mendorong kinerja Pemerintah Daerah.

KPPOD melihat, pengaturan Dana Bagi Hasil (DBH) masih ”alam-sentris”, padahal masa kini telah terjadi pergeseran struktur ekonomi, sehingga perlu ada DBH sektor sekunder dan tersier sebagai penghargaan terhadap potensi daerah yang bermanfaat bagi pusat.

Selain itu, pengaturan Dana Alokasi Umum (DAU) mesti menyiapkan pengaturan atau asistensi kepada daerah bagaimana membuat penganggaran sesuai dengan prioritas daerah selaras dengan konsep standar pelayanan minimum.

Terkait Dana Otonomi Khusus (Otsus) dan Dana Keistimewaan, diperlukan adanya perbaikan tata kelola dana Otsus dan dana keistmewaan melalui pembinaan dan pengawasan; penajaman formula alokasi dari provinsi kepada pemerintah kabupaten kota; penajaman persyaratan penyaluran, aspek akuntabilitas pelaporan, target kinerja; dan pemberian insentif dalam peraturan pemerintah.

KPPOD merekomendasikan sejumlah langkah tindak lanjut bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Pusat. Arman menyampaikan, Pemerintah Pusat mesti segera melakukan sosialisasi dan lokakarya secara sistematis, menyediakan instrumen analisis fiskal daerah, penguatan insentif dan disinsentif terkait realisasi anggaran, serta melakukan reformasi birokrasi sebagai modalitas pendukung implementasi regulasi ini.

Pemerintah Daerah juga diharapkan untuk menerapkan tata Kelola pemerintahan yang kolaboratif, menerapkan kebijakan berbasis bukti dalam penentuan tarif pajak dan retribusi, penguatan dukungan politik, dan reformasi birokrasi.

"Ketika dalam UU sudah diarahkan maksimal belanja pegawai 30 persen, perlu ada penguatan sistem merit di daerah," tutup Arman.*

Artikel Terkait