Opini

Efektivitas Peran Komisaris Mencegah Financial Distress Korporasi

Oleh : luska - Selasa, 11/01/2022 18:17 WIB

Oleh :Dr. Wirawan B. Ilyas, CPA., BKP, Advokat, Akuntan Publik & Praktisi Pajak


Pengantar 

Berbagai permasalahan yang dihadapi korporasi baik BUMN maupun Badan Usaha Milik Swasta beberapa tahun terakhir ini membawa kita untuk berfikir ulang dan sekaligus mencari solusi perbaikan kedepan. Hal ini penting dilakukan mengingat peranan strategis korporasi dalam perekonomian nasional sebagai pelaku ekonomi amat penting. Wajib kiranya pemangku kepentingan berupaya keras dan cerdas untuk segera mencari solusi yang tepat ditengah-tengah lingkungan yang berubah dengan adanya pandemi covid 19 yang tidak ada kepastian kapan berakhirnya. Jika pun berakhir tetap memerlukan waktu yang panjang untuk pemulihan, karena covid 19 meninggalkan luka dan duka yang amat dalam.
Financial Distress

Mengapa korporasi mengalami financial distress ? Pada hakikinya semua ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari fungsi-fungsi manajemen khususnya perencanaan dan pengawasan yang menurut hemat penulis fungsi ini dijalankan tidak dengan prudent, bahkan mungkin ada berbagai kepentingan tertentu yang melekat dalam proses bisnis yang berjalan selama ini. Dalam teori manajemen modern, perencanaan identik dengan hal yang uncertainty and unpredictable. Asumsi Ceteris Paribus yang digunakan masa lalu tidak relevan lagi dalam era bisnis kekinian.

Hal ini ditambah lagi zona aman yang berlangsung pada era masa lalu khususnya pada BUMN yang berdampak inefficiency dalam pengelolaan korporasi dan disisi lain potensi permasalahan hukum pun ikut dalam proses pengambilan keputusan yang berimbas pada masa kini, sehingga terjadilah financial distress yang berimplikasi hukum. Secara umum perlu diingat kehidupan ekonomi tidak boleh berhenti harus terus berjalan demi kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Maraknya kasus yang dialami korporasi antara lain PT Asuransi Jiwasraya, Asabri, Asuransi Bumiputera, SNP Finance, PT Garuda Indonesia, Tbk, dan lain sebagainya perlu mendapatkan perhatian serius pemangku kepentingan. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Dewan Komisaris dan Direksi berani secara jujur melakukan instropeksi covid 19 tidak jadi kambing hitam dalam menyikapi berbagai masalah yang dialami hari ini. Financial Distress yang dialami korporasi karena tekanan profitabilitas dan likuiditas. Kesulitan arus kas berdampak gagalnya Direksi memenuhi kewajiban pelunasan utang yang jatuh tempo berimplikasi terjadinya wanprestasi. Keadaan ini tentu berimplikasi hukum, khususnya perdata berupa gugatan atau gugatan kepailitan melalui Pengadilan Niaga, yang jumlahnya cenderung meningkat. Data per 24 Agustus 2021 terdapat sekitar 480 kasus pengajuan pailit dan penundaan kewajiban pembayar utang (PKPU) di Pengadilan Niaga Jakarta dan kota lainnya. Jumlah tersebut diperkirakan meningkat terus sebagai akibat dari financial distress yang dialami banyak korporasi.
Secara umum ada empat penyebab financial distress, pertama, kurang tepatnya perencanaan keuangan; kedua, terlalu besar beban dan pengeluaran; ketiga, besarnya utang, dan keempat, kehilangan sumber pendapatan. Pandemi covid boleh jadi faktor penyebab dan kambing hitam hilangnya sumber pendapatan, walau dapat diperdebatkan, seperti yang diutarakan Stephen A. Ross, 2016, bankruptcy can be predicted with some degree of accuracy two years before the event using the Altman Z Score. 

Secara teoritik, financial distress melalui model Altman Z Score ditentukan oleh aspek profitabilitas, likuiditas dan financial structure perusahaan (Stephen A. Ross, 2016). Penyebab dan solusinya bisa diketahui dengan melakukan forensik keuangan, melalui gabungan dua disiplin ilmu, yakni hukum dan akuntansi keuangan, baik sisi aset, liabilitas maupun proses bisnis, struktur organisasi dan sumber daya manusia. Tekanan terhadap profitabilitas sangat dominan disebabkan oleh beban keuangan yang terlalu berat khususnya fixed cost sebagai imbas mismanagement pada lima area tersebut yang bermuara pada inefficiency. Dengan penurunan pendapatan dimasa pandemi covid 19 berakibat fixed cost per unit semakin tinggi. Inilah yang mengakibatkan terjadinya berbagai kasus yang berujung ke Pengadilan Niaga. Variable utama dalam model Altman Z Score adalah Earning Before Interest & Tax (EBIT) dan total aset.
Dengan melakukan efisiensi disegala lini dan kaji ulang struktur aset yang ada maka profitabilitas akan dapat tertolong ditengah masa pandemi covid 19.

Peran Komisaris 
Ketika aspek kerugian terjadi dalam suatu korporasi yang berimplikasi pada berbagai sendi-sendi perusahaan, logika sederhananya peran komisaris tidak berjalan. Padahal Pasal 1 angka 6 UU PT No. 40/2007 menyatakan tugas Dewan Komisaris melakukan pengawasan secara umum dan atau khusus serta memberi nasihat kepada Direksi. Betapa hebat peran komisaris yang tidak banyak diketahui publik. Selama ini, peran ini tentu dapat efektif jika Komisaris mempunyai kompetensi yang memadai sesuai dengan tuntutan bisnis terkait.
Dari sisi hukum, sedikitnya dua peran komisaris yang dijalankan supaya korporasi terhindar dari tindakan menyimpang. Pertama, tindakan hukum berupa persetujuan rencana kerja. Korporasi tidak dapat berjalan jika tidak ada persetujuan komisaris (Pasal 64 ayat 2). Kedua, tindakan hukum menelaah laporan tahunan (Pasal 66 ayat 1). 
Artinya, komisaris memiliki dasar hukum sangat kuat dalam perannya melakukan pengawasan supaya korporasi tidak mengalami kerugian dan tekanan keuangan yang berefek pada tindakan hukum. Seandainya korporasi melakukan investasi yang menyimpang atau ada aset tidak tercatat dalam laporan keuangan korporasi, komisaris sudah dibekali dua senjata berbentuk persetujuan serta penelaahan.

Dalam analisis penulis, boleh jadi dua hal yang mengakibatkan kasus-kasus hukum korporasi terus terjadi berulang kali seperti halnya kasus Asabri, Asuransi Jiwasraya, PT Garuda Indonesia, Tbk maupun kasus korporasi lainnya. Pertama, senjata yang dimiliki komisaris tidak dijalankan, atau dijalankan tetapi tidak menyentuh pada persoalan hakiki atas bisnis korporasi yang semestinya dijalankan. Kedua, kurang dipahaminya peran komisaris korporasi dan aspek hukum yang menjeratnya jika komisaris lalai menjalankan fungsinya.

Kalau begitu, evaluasi penempatan personal pada jajaran posisi komisaris di semua korporasi dengan melibatkan ahli yang memahami bisnis korporasi serta forensik laporan keuangan menjadi keharusan yang tidak bisa ditunda lagi. Hal itu sebagai konsekuensi hukum dari adanya tanda tangan persetujuan oleh Komisaris atas laporan tahunan korporasi (Pasal 67 ayat 1).

Lalu, bagaimana tanggung jawab hukumnya jika terjadi kerugian dan gagal bayar bagi korporasi, apakah komisaris harus turut bertanggung jawab ? Tentu harus dipertanggungjawabkan sepanjang dapat dibuktikan oleh penegak hukum adanya unsur kesalahan komisaris (subjective guilt). Mimpi penulis, seandainya komisaris menggunakan dua senjata hukum yang dimiliki atas dasar UU sesuai kapabilitasnya, tuntutan pidana tidak akan menyentuh korporasi seperti yang tengah terjadi. 
Terlebih lagi tugas komisaris dibantu komite audit sebagaimana diatur dalam Pasal 121 untuk membantu melakukan audit khusus terkait kerugian keuangan dan kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan. Seharusnya berbagai kasus-kasus yang terjadi dapat dicegah, Tugas Komite Audit mendeteksi dini laporan keuangan dan memonitor fungsi internal audit, menjadi senjata lain yang akan menciptakan kepercayaan publik bagi semua korporasi. Lagi-lagi, pertanyaannya apakah sistem pengawasan yang diciptakan undang-undang sudah dijalankan dengan benar atau belum ? Inilah perenungan kita bersama memasuki tahun 2022.#Semoga#

Curriculum Vitae Singkat
Dr. Wirawan B Ilyas, Ak, SH, M.Si, M.H. CPA, BKP    
Lulusan S1 Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jurusan Akuntansi, tahun 1984. Melanjutkan S2 Administrasi Pajak Pascasarjana Universitas Indonesia, tahun 1998. Disamping itu memiliki ijazah S1 Hukum, juga memiliki ijazah S2 Hukum Bisnis yang diperoleh dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, tahun 2008. Selanjutnya, pada tahun 2008 juga, memperoleh gelar Doktor Akuntansi dari Universitas Padjadjaran, Bandung. Selain sebagai praktisi di bidang perpajakan, hukum dan akuntansi juga sebagai Dosen Hukum Pajak dan Perpajakan di Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta, dan berbagai perguruan tinggi lainnya. Aktif menulis buku-buku bidang Perpajakan, Hukum Pajak dan Hukum Bisnis.
 

Artikel Terkait