Nasional

Hikmahanto: Indonesia Perlu Waspada dengan Strategi Singapura

Oleh : very - Selasa, 25/01/2022 14:40 WIB

Presiden Joko Widodo dan PM Singapura Lee Hsien Loong. (Foto: Hallo.id)

Jakarta, INDONEWS.ID --- Presiden Joko Widodo dan PM Singapura Lee Hsien Loong melakukan pertemuan reguler dua negara yang disebut sebagai ‘Leaders Retreat’ di Pulau Bintan pada hari ini, Selasa (25/1).

Menurut siaran pers Kantor Menko Marinves tanggal 25 Januari disebutkan dalam pertemuan tersebut dilakukan penandatanganan tiga perjanjian.

Pertama perjanjian yang terkait dengan penyesuaian kendali Flight Information Region (FIR) di atas Kepulauan Riau yang sejak lama dilakukan oleh Singapura.

Kedua perjanjian yang terkait dengan ekstradisi meski Indonesia pernah menandatangani dengan Singapura tahun 2007.

Terakhir perjanjian kerjasama pertahanan yang dinamakan Defence Cooperation Agreement yang juga pernah ditandatangani oleh kedua negara tahun 2007.

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana, melalui siaran pers di Jakarta, Selasa (25/1) mengatakan, dua perjanjian terakhir meski sudah ditandatangani namun belum berlaku efektif  karena kedua negara belum melakukan pengesahan.

Di Indonesia, kata Rektor Universitas Jenderal A. Yani itu, dua perjanjian terkahir menjadi polemik saat ditandatangani oleh dua kepala pemerintahan mengingat Indonesia banyak dirugikan dalam perjanjian pertahanan, sementara keberlakuan keduanya dilakukan secara berkaitan atau tandem.

Karena itu, untuk meredam tentangan dari publik Presiden ketika itu, Susilo Bambang Yudhoyono, tidak menyampaikan dua perjanjian tersebut ke DPR untuk disahkan.

Namun, beda dengan Presiden Jokowi. Dalam pemerintahan Jokowi, pemerintah sangat agresif untuk mengambil kendali FIR di atas Kepulauan Riau dari Singapura. Ini merupakan janji Jokowi saat kampanye menjadi Presiden periode pertama.

“Tentu Singapura tidak ingin menyerahkan kendali FIR ini dengan mudah. Oleh karenanya ada kuat dugaan perjanjian untuk mengembalikan FIR ini dikaitkan dengan perjanjian pertahanan,” ujar Hikmahanto.

Menurutnya, Singapura berstrategi bila perjanjian pertahanan bisa berlaku efektif maka negara itu bersedia menyerahkan kendali atas FIR Kepulauan Riau ke Indonesia.

Padahal Singapura telah berhitung secara cermat bahwa perjanjian pertahanan akan ditentang oleh publik bahkan oleh DPR.

“Bila memang perjanjian pertahanan ditentang untuk disahkan, maka Singapura akan tetap memegang kendali atas FIR diatas Kepulauan Riau. Artinya perjanjian pengendalian FIR ke Indonesia tidak akan pernah efektif,” ujarnya.

Dalam konteks demikian, kata Hikmahanto, maka perjanjian ekatradisi yang sudah ditandatangani dan tinggal menunggu ratifikasi menjadi tidak begitu penting, meski di Indonesia seolah disambut secara gegap gempita.

Dia mengatakan, perjanjian ekatradisi tersebut besar dugaan muncul dalam pembahasan karena diminta oleh pemerintah Indonesia, sebab Singapura memunculkan perjanjian pertahanan yang dikaitkan dengan perjanjian penyerahan kendali FIR.

“Dalam konteks demikian perjanjian ekstradisi yang ditanda tangan ulang bukanlah merupakan suatu pencapaian (achievement),” pungkasnya. ***

Artikel Terkait