Nasional

IP3 Gelar Diskusi Kritisi Pembentukan UU Tak Sesuai Regulasi

Oleh : Mancik - Kamis, 10/02/2022 07:13 WIB

Diskusi IP3 dengan mengangkat tema “Trend DPR Menabrak Prosedur Pembentukan UU: Bagaimana Tanggapan Mahasiswa ?”.(Foto:Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Melihat berbagai persoalan terkait proses pembentukan dan produk Undang-Undang yang di sahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belakangan ini, Ikatan Pemuda Pemerhati Parlemen (IP3) menggelar diskusi yang diselenggarakan via zoom meeting. Rabu,(9/02/2022) kemarin.

Dalam diskusi tersebut Koordinator Bidang Legislasi IP3 Andre Silalahi sebagai panelis pada diskusi ini menyampaikan, putusan Inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU Cipta Kerja berdampak pada adanya revisi UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebelum melakukan perbaikan UU Cipta Kerja. Fakta tersebut menunjukan adanya pelanggaran prosedur oleh DPR sebagai lembaga pembentuk UU.

Diskusi ini mengangkat tema “Trend DPR Menabrak Prosedur Pembentukan UU: Bagaimana Tanggapan Mahasiswa ?” dan dihadiri oleh empat Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP) Cipayung DKI Jakarta. Adapun narasumber dalam diskusi ini adalah Ketua Cabang OKP Cipayung DKI Jakarta.

Ketua Presidium Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Jakarta Barat Edmud Seko menyampaikan, DPR adalah keranjang kebohongan politik, hal ini disampaikan karena melihat tidak ada check and balance antara legislatif dan eksekutif.

Edmun juga menyoroti terkait kepentingan partai politik sekarang ini yang mendominasi keputusan di lembaga legislatif.

Hal serupa juga disampaikan oleh Sekretaris Jenderal yang merupakan perwakilan dari Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia (HUKMAHBUDHI) Cabang Jakarta Utara Ananda Budi, arogansi elite politik di DPR sangat mendominasi. DPR seharusnya melibatkan masyarakat dalam proses pembentukan UU tutup tegas Budi dihadapan peserta diskusi.

Diketahui UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang disusun dengan menggunakan konsep Omnibus Law disahkan pada tanggal 5 Oktober, dan UU Ibu Kota Negara (IKN) yang disusun super kilat dan disahkan pada 18 Januari 2022 lalu, merupakan contoh produk UU yang menuai kontroversi dan penolakan masyarakat.

Ketua Presidium PMKRI Cabang Jakarta Timur Henri Silalahi dalam diskusi ini menegaskan,positivisme hukum yang dianut oleh sistem hukum di Indonesia membuat satu-satunya hukum yang berdaulat adalah hukum yang dibuat oleh penguasa. DPR menjadi rubber stamp politik bagi Istana, dan MK menjadi rubber stamp hukum bagi Istana.

Dia juga menegaskan, DPR menjadi mesin pencetak hukum dan kehilangan fungsinya sebagai lembaga yang meneruskan aspirasi masyarakat, sementara itu MK hadir hanya sebagai penengah dan tidak menjalankan fungsinya sebagai yudikatif. Sehingga yang terlihat bahwa trias politika kompak untuk melancarkan kepentingan oligarki, tegas Henri.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Jakarta Timur Farhan Nugraha mengungkapkan, di DPR tidak ada check and balance terhadap lembaga eksekutif karena DPR didominasi oleh partai pendukung pemerintah dan suara oposisi di DPR tidak memiliki pengaruh yang besar.

Dalam Program Legislasi Nasional 5 tahunan (2019-2024), terdapat ada beberapa Rancangan Undang-Undang (RUU) seperti RUU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian dan RUU tentang Reformasih Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan yang telah ditetapkan dengan konsep Omnibus Law oleh DPR.

Selanjutnya Ketua Presidium PMKRI Cabang Jakarta Utara Yos Goa dihadapan audiens menyampaikan, UU yang dihasilkan DPR merupakan bentuk arogansi lembaga, karena DPR adalah satu-satunya lembaga yang mempunyai wewenang penuh dalam pembentukan UU. Dia juga menyampaikan bahwa tidak ada partisipasi public dan transparansi dalam pembentukan UU oleh DPR selama ini.

Pada kesempatan yang sama,Ketua Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Jakarta Utara Dendy Se menuturkan, sekarang ini kita dipimpin oleh oligarki dan pembentukan UU dibuat hanya untuk kepentingan oligarki, sehingga terlihat bahwa negara mengalami krisis moral.

Sampai pada akhir sesi diskusi dapat disimpulkan bahwa terdapat dua poin penting yang menjadi pendapat kolektif dari masing-masing OKP terkait diabaikannya aspirasi dan pelibatan publik dalam pembentukan UU.*

Artikel Terkait