Nasional

ILUNI UI Nilai Kasus Aktivis HAM Haris Azhar-Fatia Bukan Ranah Hukum

Oleh : Mancik - Minggu, 10/04/2022 20:58 WIB

Forum Diskusi Salemba Policy Center ILUNI UI dengan tema ““Kasus Fatia Maulidiyanti-Haris Azhar: Kebebasan Intelektual Terancam?”.(Foto:Dok.ILUNI UI)

Jakarta, INDONEWS.ID - Ketua Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI) Herzaky Mahendra Putra menilai, kasus yang melibatkan aktivis HAM Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti tidak seharusnya dibawa ke ranah hukum.

Perbedaan pandangan antara keduanya dan Menko Marinves Luhut Binsar Pandjaitan seharusnya bisa dijembatani dengan dialog terbuka.

"Ketika ada perbedaan katakanlah penyajian data hasil riset yang didasari argumen ilmiah, seharusnya didebat kembali dengan argumen-argumen ilmiah dan data terukur berdasarkan hasil riset lainnya. Jangan malah dipindahkan ruangnya dari diskusi ranah publik ke ranah hukum,” kata Herzaky dalam sambutannya di acara diskusi daring Forum Diskusi Salemba Policy Center ILUNI UI dengan tema ““Kasus Fatia Maulidiyanti-Haris Azhar: Kebebasan Intelektual Terancam?”,, Jakarta, Minggu (10/4/2022).

Herzaky berharap, ada solusi dan masukan bagi para pemangku kebijakan untuk memastikan iklim demokrasi terjaga tetap kondusif dan tidak semakin terdegradasi. Sudah seharusnya, hukum menjadi jalan terakhir dalam menjembatani perbedaan pendapat.

"ILUNI UI memiliki komitmen kuat untuk menjaga agar kesehatan ruang publik tetap terjaga dengan terus memompakan oksigen berupa menyediakan ruang untuk berdialektika dan melakukan diskursus secara terukur,” kata dia.

Menambahkan Zaky, Ketua Policy Center ILUNI UI Mohammad Jibriel Avessina meminta agar nilai demokrasi perlu dijaga, salah satunya kebebasan intelektual ruang publik. Hasil riset selayaknya dijawab dengan riset, sehingga tercipta dialektika bernas. Dia mengingatkan, ranah kebebasan berpendapat di ruang publik patut mendapat sorotan.

"Saya juga mengingatkan berdasarkan survei Indikator Politik Indonesia yang dirilis awal April lalu, 62,9 persen responden semakin takut menyampaikan pendapatnya. Ini menjadi catatan tebal yang perlu diperhatikan,” imbuhnya.

Akademisi STHI Jentera Asfinawati mengkritisi langkah yang ditempuh Luhut dalam mengambil jalur hukum. Menurutnya, kritisi yang dilayangkan kepada Luhut adalah sebagai pejabat publik. Sementara somasi adalah hak atas seorang individual.

"Kritik yang dilakukan koalisi kepada Luhut, bukan hanya Haris dan Fatia, itu karena dia pejabat publik tapi kok bisa terlibat bisnis,” tukas dia.

Selain itu, Asfinawati juga menyoroti alasan somasi Kantor Staf Presiden (KSP) kepada Haris dan Fatia. Dalam somasi tersebut dinyatakan, kritik terhadap Luhut seharusnya disampaikan berdasarkan tata karma, kesantunan, kesopanan, etika, moral, dan adat istiadat.

“Pertanyaannya, ada nggak itu di instrumen hak asasi manusia? Kalau tidak ada, kok seorang pejabat publik bisa-bisanya melakukan pembodohan publik dengan mengungkapkan unsur-unsur yang tidak ada di dalam hukum?” cetusnya.

Sementara itu, berdasarkan penuturan Tim Advokasi Bersihkan Indonesia Julius Ibrani, perkembangan terkini kasus Haris Azhar dan Fatia hanya berhenti sampai penetapan sebagai tersangka. Dia juga melihat ada kejanggalan dalam proses setelah pemeriksaan sebagai tersangka. Haris Azhar dan Fatia baru dimintakan bukti-bukti, saksi-saksi, dan ahli-ahli yang ingin diajukan Haris dan Fatia.

Selain itu, menurut Julius, pertanyaan terhadap saksi hanya formalitas dan mengulang dari Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang sudah diajukan. Kejanggalan lainnya, tidak ada skema yang diwajibkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri dalam penerapan UU ITE.

"Dalam pemeriksaan saksi-saksi yang diajukan dan dokumen-dokumen, tidak ada satu pun pertanyaan yang mengarah pada pemenuhan SKB tiga menteri. Baik menggali apakah ini bersifat akademik atau tidak, tujuannya untuk kepentingan publik atau tidak. Tidak dipertanyakan sampai ke sana,” terang Julius.

Terkait dengan langkah praperadilan, Julius masih mempertimbangkan berbagai macam langkah. Namun, dia juga akan melihat situasi dan kondisi di lapangan. Perlu ada identifikasi apakah medan perangnya bersih atau sudah dipengaruhi banyak pihak mengingat mereka berhadapan dengan kekuasaan.

“Ketika prosedur tadi pun banyak dilanggar, yang lain juga diam. Artinya kalau banyak yang bersikap diam, banyak yang mendukung pelanggaran-pelanggaran itu. Jangan-jangan jika mengajukan praperadilan, hal demikian juga terjadi,” ucapnya.

Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENet) Damar Juniarto mengingatkan, ada ancaman nyata dari UU ITE terhadap para intelektual atau orang-orang pintar. Dia mengatakan, ada banyak kasus laporan terhadap orang-orang pintar yang memberikan kritik baik kepada internal kampus atau yang terjadi di masyarakat. Mereka dikenakan pasal-pasal yang dianggap bermasalah seperti pemidanaan defamasi, pencemaran nama baik, atau ujaran kebencian.

“Ruang-ruang akademik yang mulia dan harusnya bisa diemban para orang-orang pintar, menjadi sebuah ruang yang tidak bersih dari represi,” tutur Damar.

Permasalahan yang lebih penting dan perlu dikhawatirkan, menurut Damar lagi, adalah kembalinya otoritarianisme, serta kebangkitan otoritarianisme digital. “Jangan sampai apa yang sudah kita upayakan dua dekade lalu jadi mundur dan mengarah pada kebangkitan otoritarianisme,” pungkasnya.*

Artikel Terkait