Nasional

Balonpres 2024, Saatnya BRIN dan Litbang Tawarkan Pemimpin Berkualitas-Berintegritas

Oleh : very - Senin, 30/05/2022 22:26 WIB

Emrus-Sihombing, Komunikolog Indonesia. (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID – Saat ini bermunculan sejumlah nama para bakal calon presiden (Balonpres) 2024 baik di media massa maupun media sosial. Muncul sejumlah nama yang diusung oleh relawan - sekalipun menurut saya - sebutan relawan itu kurang tepat. Saya cenderung menyebutnya sebagai politisi lapangan prakmatis (polatis), sebab, sejatinya relawan itu harus taat aturan.

Pasalnya, menurut Komunikolog Indonesia, Dr. Emrus Sihombing, Undang-undang menyebutkan pasangan calon presiden 2024 (Paslon 2024) hanya diusung oleh partai politik, bukan kekuatan politik lainnya.

“Jadi, setelah partai politik mengusung Paslon Capres-Cawapres 2024, mereka yang sungguh-sungguh relawan baru bisa bergerak/bekerja mendukung kandidat tersebut. Bukan seolah-olah ‘mendikte’ partai politik sebagai salah satu pilar utama dalam tatanan sebuah negara demokrasi, Indonesia misalnya. Jika para Polatis ingin mengusung Paslon Pilpres ke depan, mereka bentuk saja partai politik, atau berjuang agar  UU membolehkan Paslon Pilpres tidak hanya dari partai politik,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Senin (30/5).

Dosen Komunikasi Politik dari Universitas Pelita Harapan (UPH) ini mengatakan, jika kita melihat wacana mereka, para Polatis tersebut seolah “penentu” menyodorkan dan mengusung kandidat tertentu sebagai sosok yang paling tepat menjadi Balonpres 2024 dengan berbagai alasan. Antara lain bahwa kandiat yang disodorkan itu berdasarkan beberapa hasil survey berada pada popularitas-elektabilitas tertentu dari responden dan kuesioner yang mereka tetapkan dan susun dengan pola tertentu pula.

“Sayangnya, survey tersebut tidak pernah dibongkar sebagai bagian dari  strategi komunikasi politik panggung belakang yang dikonstruksi oleh kekuatan kepentingan politik tertentu untuk membangun dan mendongkrak popularitas-elektabilitas sosok yang didukung,” katanya. 

Padahal, strategi komunikasi politik panggung belakang inilah antara lain merancang, memproduksi berbagai kemasan dan kreatif pesan, lalu mewacanakannya secara masif di ruang pubik. Mereka misalnya mengomptimalkan  berbagai sumberdaya proses komunikasi, seperti memanfaatkan sejumlah sosial media, termasuk group-group WA.

Strategi semacam ini, kata Emrus, dipastkan mampu memanipulasi dan membius peta kognisi individu maupun kolektivitas di tengah masyarakat. “Saya sebut sebagai the power of social media. Kemudian, bisa saja dilanjutkan  survey dengan menyebarkan kuesioner disusun dengan pola tertentu yang hampir dapat diduga, sosok yang bersangkutan berada pada popularitas-elektabilitas tertentu, yang membuat ‘happy’ kandidat yang disurvey,” katanya.

Jika presiden kita ke depan atas dasar popularitas-elektabilitas, maka akan cenderung membuat kebijakan, program dan tindakan populer asalkan masyarakat “nyaman”. “Janji kampanye sebagian  berpotensi tidak direalisasikan optimal. Ia pun tidak mempunyai strategi penyelesaian persoalan secara substansi dan holistik, sehingga memunculkan kembali persoalan-persoalan yang relatif sama pada berbagai bidang kehidupan sosial. Tidak pernah  menuntaskan akar masalah,” kata Emrus.

Dia mencontohkan, membangun atas dasar pinjaman dari berbagai negara dan atau perusahaan swasta dari luar negeri. Gaya kepemimpinan semacam ini akan membuat bangsa kita tidak mampu bersaing dengan negara tetangga sekalipun. Dengan demikian, bangsa ini akan terus bergantung bahkan dikendalikan, langsung atau tidak langsung, oleh pemberi pinjaman.

Ini masalah yang terus-menerus berulang di negeri ini. Pola kepemimpinan semacam ini dilahirkan dari sistem komunikasi politik yang berorientasi pada popularitas-elektabilitas. “Untuk itu, menurut hemat saya, negeri ini harus terhindar dari berbagai permainan komunikasi politik seperti itu,” katanya.

Bahkan, kata Emrus, ruang publik kita terjebak dan tercemar oleh ide yang memunculkan sosok popularitas-eleketabilitas semata. “Sampai saat ini, sebagai seorang komunikolog, saya melihat ruang publik kita masih jauh dari wacana Balonpres 2024 dari perspektif kualitas-integritas yang dimiliki oleh seorang kandidat. Tidak heran korupsi ada dimana-mana, dari dulu hingga sekarang,” imbuhnya.

Padahal, kata Emrus, banyak sekali tokoh di republik ini yang memiliki kualitas-integritas luar biasa dari berbagai aspek, seperti aspek kepemimpinan dan integritas. Pemimpin dengan kualitas seperti itu mampu memimpin bangsa ini lebih baik per-lima tahun ke depan.

Pemimpin atas dasar popularitas-elektabilitas sangat terbuka kemungkinan membuat kebijakan, program, dan tindakan sekedar “menyenangkan” saja dalam jangka pendek, sehingga tetap di bawah kendali kekuatan pemodal dari dalam mapun luar negeri.

 

Bergeser ke Perspektif Kualitas-Integritas

Karena itu, kata Emrus, negeri ini harus bergeser dari mencari pemimpin atas dasar popularitas-eketabilitas menuju wacana pemimpin Balonpres 2024 dari perpektif kualitas-integritas.

Dikatakannya, lembaga-lembaga penelitian, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dari pemerintah dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan (Litbang) seperti Kompas, harus lebih aktif menawarkan hasil riset tentang sosok pemimpin yang berkualitas-betintegritas.

Sebab, lembaga survey yang melakukan penelitian popularitas-elektabilitas sulit diharapkan, karena salah satu di antaranya, kemungkinan mereka kelak bisa jadi berperan langsung atau tidak langsung sebagai konsultan kemenangan dari kandidat atas dasar popularitas-elektabiltas sosok yang bersangkutan.

“Jika BRIN dan Litbang Kompas melakukan banyak penelitian sosok Balonpres 2024 atas dasar kualitas-integritas dan semua hasilnya terus diwacanakan/sosialisasikan secara masif di ruang publik, maka masyarakat akan rindu tokoh Balonpres 2024 yang berkualtas-berintegritas,” ujarnya.

Dengan demikian, menurut Emrus, keinginan proklamator, Presiden Soekarno, yaitu berdiri di atas kaki sendiri (berdikari) dipastikan dapat terwujud tahap demi tahap per lima tahunan, karena Presiden dan Wakil Presiden berkualitas-berintegritas kukuh, tidak  prakmatis dan transaksional sebagai konsekuensi pemimpin popularitas-elektabilitas.

“Sebagai tawaran untuk dikaji lebih jauh oleh BRIN dan Kompas, sosok pemimpin berkualitas-berintegritas dari partai politik seperti Surya Paloh, Puan Maharani dan Airlangga Hartarto. Sedangkan dari luar partai politik yaitu Rizal Ramli, Nasaruddin Umar dan Franz Magnis Suseno,” pungkasnya. ***

Artikel Terkait