Opini

Menyoal Legitimasi Kepemimpinan

Oleh : luska - Minggu, 12/06/2022 08:34 WIB

Penulis : Muhadam Labolo

Apakah partai politik masih memiliki legitimasi sebagai pengusung pasangan calon presiden di 2024? Atau taruhlah sebuah gugatan _netizen_ yang mempersoalkan apakah status seorang penjabat kepala daerah _legitimated_ selama dua tahun kedepan menunggu terpilihnya kepala daerah defenitif? Dua kasus ini sekalipun beda namun menarik untuk dipersoalkan.

Legitimasi merujuk pada akseptabilitas publik terhadap moral seorang pemimpin (Surbakti,2010). Semakin luas pemimpin diterima, semakin tinggi legitimasinya. Legitimasi memberi tanda atas pemenuhan cara dan hasil tertinggi _(lex, hukum)._ Cara (proses) memperoleh kekuasaan dan bagaimana hasil perolehan kekuasaan itu sendiri. Bila kedua hal tersebut meragukan dapat berakibat krisis legitimasi.

Proses, lazim di ukur secara administrasi mulai mendaftar hingga berkompetisi. Sementara hasil di takar menurut kalkulasi politik. Cara menikung proses bisa lewat manipulasi syarat. Misalnya mereka yang tak berpendidikan tiba-tiba berijazah. Sebuah kasus seorang warga negara asing ujuk-ujuk berganti status pribumi dan terpilih sebagai kepala daerah dan menteri.

Disisi lain, hasil dari proses tak jarang raib begitu saja. Statmen proses tak mengkhianati hasil dalam politik rasanya tak selalu berlaku. Boleh jadi perolehan suara dilaporkan mengendap, tertukar, hilang, rusak, abstain, bahkan ditransaksikan atas dasar suka sama suka. Matematika politik bisa berubah kendati hasil survei menunjukkan signifikansi elektabilitas. Realitas di atas kertas dan arena politik berbanding terbalik.

Sedikit contoh di atas menunjukkan bahwa legitimasi bisa rusak di proses, bisa pula ternoda di hasil. Proses dan hasil adalah dua variabel penentu pemimpin memiliki legitimasi atau tidak. Boleh jadi pemimpin dinilai cacat di proses atau curang di hasil. Bahkan mungkin keduanya tak memenuhi kualitas legitimasi.

Menurut _beleid_ Pemilu No.7/2017 Pasal 222, hanya Parpol peraih 20% kursi atau suara di separoh negeri ini yang berhak mengajukan Paslon Presiden. Masalahnya, konstitusi tak sedikitpun memerintahkan pengaturan syarat matematis dengan istilah _presidensial treshold_ itu. Sudah begitu, hampir tak ada satupun negara dengan sistem presidensial yang mengadopsi ambang batas semacam itu, termasuk Amerika (Ghoffar,2018).

Lagi pula legitimasi Parpol pengusung dapat dipersoalkan. Perolehan suara Parpol pada pemilu sebelumnya faktanya telah dipakai mendudukkan wakil rakyat di Senayan. Wakilnya terpilih dan duduk sejak 2019. Artinya, tiket itu tak logis dijadikan syarat bagi Parpol untuk mengajukan Paslon Presiden di periode berikutnya. Tiket itu kedaluwarsa, sebab itu tak relevan dipakai berkompetisi di gelanggang 2024.

Ambang batas _(presidential treshold)_ hanya dikenal di Indonesia. Malangnya, MK menjustifikasi matematika politik itu dengan argumen enteng. Urusan ambang batas adalah konsensus Parpol yang tak perlu di utak-atik, bergantung dinamika sosial dan implementasi norma dilapangan. Dengan segala hormat atas putusan itu, bermakna berapapun angka yang disepakati Parpol sekalipun menyabotase demokrasi bukanlah persengkokolan haram.

Seyogyanya MK mengintropeksi putusan yang kesekian kalinya digugat karena berimplikasi serius. Membatasi Parpol yang _notebene_ merepresentasikan pilihan rakyat pada angka 20% sama halnya mengunci jalan keluar konstitusi Pasal 6A ayat (3 & 4). Padahal jalan keluar itu sengaja disiapkan oleh perancang konstitusi agar sekalipun pesta demokrasi bertabur bintang, kita bisa menyelesaikannya pada putaran selanjutnya (Susanti, 2022). 

Dengan kenyataan itu, praktis prosedur demokrasi dikendalikan oleh segelintir Parpol yang menurut rekam jejak mengantongi tiket palsu. Anehnya, atas nama ambang batas mereka mengklaim mewakili 271 juta penduduk dalam merekomendasikan pengantin presiden di 2024. Tiket itu kartu mati menurut logika dan tak lazim secara komparatif, sekalipun faktanya dilegalisir Mahkamah Konstitusi.

Paralel dengan itu, eksistensi para penjabat kepala daerah pun patut di uji dihadapan MK karena ketidakjelasan legitimasi. Bila daerah dipandang sebagai basis komunitas otonom yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (Hanif, 2021), maka pengisian penjabat kepala daerah dengan cara _political appointed_ di seluruh entitas otonom setingkat provinsi dan kabupaten/kota jelas-jelas mengangkangi kodratnya. 

Pengaturan penjabat kepala daerah dalam Pasal 201 UU No.10/2016 tentang Pilkada jelas-jelas memperkosa daerah otonom yang mekanisme pemilihan dewan perwakilan dan  kepala daerahnya dilakukan melalui mekanisme _public elected system._ Logikanya dewan mengawasi pilihan basis komunitasnya (kepala daerah), bukan penjabat pusat yang digelontorkan ke daerah otonom. Disini makna otonomi seakan diperkosa, bahkan otonominya diberi hirarkhi yang secara norma dan teori meletakkan dirinya sebagai wilayah administrasi.

Dengan pemandangan ganjil itu, menjadi relevan jika mekanisme pengajuan penjabat kepala daerah cukup diajukan oleh dewan perwakilan sebagai satu-satunya _susunan dalam_ yang tak dipangkas masa jabatannya dengan alasan pileg serentak (Khairi, 2022). Bila konsisten, seharusnya semua anggota dewan pun turut dilucuti masa jabatannya agar sama dan sebangun dengan kepala daerah sampai dengan terpilihnya pejabat dewan baru. 

Apakah perlu dilakukan pergantian sementara atau diturunkan penjabat pusat sebagai anggota dewan di daerah otonom? Walau penting dipersoalan, namun ini jelas _perkara sulit_ kata sebuah stiker diberbagai percakapan _whats up group._ Sampai disini, rasa-rasanya kepemimpinan kolektif dewan di pusat (Parpol) dan daerah (anggota dewan), termasuk paslon presiden dan penjabat kepala daerah kemungkinan kehilangan legitimasi oleh sebab kebingungan kita menata prosedur demokrasi.

Artikel Terkait