Nasional

Islah Bahrawi: Pemilu 2024 Jadi Titik Krusial Politik Identitas dan Politisasi Agama

Oleh : very - Jum'at, 09/09/2022 16:32 WIB

Direktur Eksekutif Jaringan Moderasi Beragama Indonesia, Islah Bahrawi. (Foto: Ist)

 

Jakarta, INDONEWS.ID - Konflik dan radikalisme seolah telah menjadi dua sisi mata uang yang mustahil dipisahkan. Keduanya memiliki keterkaitan secara resiprokal. Di satu sisi, konflik dapat memicu eskalasi radikalisme. Di sisi lain, radikalisme juga bisa melatari terjadinya konflik.

Demikian dikatakan oleh Direktur Eksekutif Jaringan Moderasi Beragama Indonesia, Islah Bahrawi.

Dia menjelaskan bahwa konflik horisontal seperti perang saudara justru lebih berpotensi menjadi trigger kepada kelompok radikal guna melahirkan aksi teror di wilayah atau negaranya.

“Seperti yang terjadi di Suriah dan Libya. Ini adalah contoh bagaimana konflik horisontal melahirkan berbagi aksi radikal teror,” ujar Islah Bahrawi  di Jakarta, Kamis (9/9/2022).

Islah melanjutkan, gerakan radikal dan teror di seluruh dunia sarat akan muatan dan cita-cita politik. Bahkan narasi ambisi politik dituangkan dalam penunggangan agama melalui dalil-dalil. 

“Persoalan agama yang kemudian memasuki wilayah kepentingan politik. Inilah yang menjadi konflik di banyak negara. Kepentingan politik dengan narasi agama bisa menghipnotis orang agar terpecah belah dan memusuhi satu sama lain,” jelasnya.

Untuk itu, ia mewanti-wanti, agar di tahun politik 2024 tidak lagi terulang sejarah hitam demokrasi di 2014 dan 2019 lalu yang kental akan politik identitas hingga menimbulkan konflik SARA. Di sisi lain, Islah telah mendeteksi adanya gejala politisasi agama menjelang tahun politik mendatang.

“Kalau kita berbicara dari perspektif politisasi agama, pada tahun 2024 merupakan 1 abad keruntuhan khilafah terakhir tahun 1924. Artinya tahun 2024 akan menjadi titik krusial dimana politik identitas dan politisasi agama itu akan menjadi suatu pertaruhan luar biasa. Ini yang betul-betul harus diantisipasi,” ucap Cak Islah, sapaan karibnya.

Ia mengungkapkan, saat ini mulai digelorakan oleh kelompok radikal terkait kemunculan mujaddid atau pembaharu dalam Islam bersaman dengan peringatan 100 tahun keruntuhan khilafah dengan dilabelkan kepada salah satu calon kandidat presiden.  Hal ini diperkuat dengan keyakinan kelompok tersebut melalui hadits yang mengatakan bahwa tiap 100  tahun akan dilahirkan seorang mujaddid.

“Nah ini sebenarnya gejala politisasi agama. Maka di tahun 2024 politisasi agama akan datang berlipat ganda terlebih munculnya partai baru yang mengatasnamakan agama. Bila itu terjadi akan terjadi perang elektoral yang akan lebih detail dengan narasi agama,” ujarnya.

Ia menilai perlunya kesadaran dan partisipasi dari seluruh pihak guna mewaspadai dan menjaga stabilitas, toleransi dan harmoni dalam lingkungan berbangsa bernegara. Caranya dengan kembali ke dasar ajaran Islam wasathiyah dan meggelorakan konsep moderasi beragama.

“Ini adalah konsep dasar Islam yang berbasis middle path, garis tengah, tidak kanan maupun kiri. Tapi kita betul-betul dalam asas kebangsaan yang berkonsep al-ashabiyah atau kesepakatan,” ucap Cak Islah.

Kedua, ia menyebut moderasi beragama sebagai upaya mereposisi fungsi agama sebagai pengemban asas kemanusiaan dan sebagai bejana untuk menciptakan kedamaian. Sebab dari itu, moderasi beragama menjadi sangat perlu untuk dibumikan agar tidak lagi ada penghianatan terhadap konsep kesepakatan bersama pada suatu bangsa.

“Konsep moderasi beragama secara definitif, harus kita gelorakan kepada masyarakat. Bahwa dengan beragama seharusnya kita menjauh dari kebencian, caci maki dan perpecahan. Secara utuh diperlukan satu sikap resitensi dan ketegasan dari masyarakat secara bersama menolak ajaran dan kehadiran kelompok radikal tersebut,” tuturnya.

Islah juga menyinggung terkait regulasi  dari pemerintah yang saat ini hanya mengatur hingga preventive strike saja. Aturan itu memang sudah mencukupi untuk melakukan penindakan secara hukum kepada kelompok radikal, tetapi ia memandang perlu mengatur pre-emptive strike.

“Sebenarnya Undang-Undang (UU) kita sudah mencukupi untuk melakukan penindakan secara hukum. Tetapi aturan dan perundangan yang menyentuh pre-emptive strike ini belum punya. Pelarangan terhadap aliran atau ajaran masih hanya sebatas materil, misalnya seperti HTI (Hizbut Tahrir Indonesia)  hanya dibubarkan organisasinya, tapi ajarannya tidak dapat kita bendung,” kata Islah.

Terkait hal tersebut, Jaringan Moderat Indonesia memiliki cara tersendiri guna menggelorakan semangat toleransi dan moderasi melalui gerakan perlawananan melalui jalur digital dan media sosial. Hal ini dikarenakan infiltrasi dan indoktrinasi bergerak secara senyap, tanpa batas, serta konten di dunia digital saat ini, lebih efektif menyentuh kalangan generasi muda.

“Ini yang harus kita lakukan bersama. Jangan berpangku tangan, kita harus secara masal melakukan ini supaya kelompok radikal ini teralienasi dari konten digital yang selama ini sudah ada,” pungkas Islah. ***

 

Artikel Terkait