Opini

Peran Utama Elemen Pemilu

Oleh : luska - Rabu, 02/11/2022 10:55 WIB

Oleh : Muhadam Labolo

Hari-hari menuju pemilu serentak kian pendek. Semangatnya menyentuh _stakeholders_ pemilu. Pemilu, hanya satu perkakas menuju esensi demokrasi, kesejahteraan. Sebagai alat, pemilu akan menunjukkan seberapa kualitas prosedur demokrasi dijalankan. Bahwa apakah prosedur yang baik menjamin demokrasi substansialnya, nanti dulu. Itu dua hal yang jamak tak sejalan, khususnya di negara-negara yang baru bermigrasi ke sistem demokrasi.

Pemilu bermakna pula memastikan sirkulasi kekuasaan berjalan _fairness,_ baik proses maupun hasil. Seseorang boleh jadi elektabel, namun bukan mustahil cacat proses. Kita bisa melihat itu dalam kasus calon kepala daerah terindikasi bukan Warga Negara Indonesia di Saburaijua, atau kasus ijazah palsu di Riau. Kualitas pemilu memproduk legitimasi. Legitimasi adalah akseptabilitas moral terhadap pemimpin (Surbakti, 1999). Tanpa legitimasi pemerintah tak punya otoritas memadai untuk memerintah. Inilah nilai utama pemerintahan, legitimasi dan otoritas (Wasistiono, 2000).

Agar pemilu berjalan baik, semua _stakeholders_ dituntut berperan sungguh-sungguh. Ibarat liga sepak bola di Kanjuruhan, pihak-pihak terkait dalam pertandingan harus jelas tanggungjawabnya. Dalam hal ini harus jelas dimana peran pemerintah, penyelenggara, wasit, peserta, dan basis konstituen yang tidak saja ikut memilih, juga saksi dan pendukung bagi calon pemimpin yang turun tanding. Peran setiap elemen itu akan menentukan kualitas demokrasi.

_Pertama,_ tugas utama pemerintah memproduk aturan main (regulasi). Sistem pemilu seperti apa yang akan ditampilkan dihadapan konstituen harus jelas. Demikian pula waktu dan _stakeholders_ yang terlibat. Semua itu diterjemahkan dari landasan konstitusional baik pemilihan presiden (pasal 6A ayat 1), pemilihan MPR (DPR & DPD, pasal 2 ayat (1), pemilihan anggota DPRD (pasal 18 ayat 3), maupun pemilihan kepala daerah (pasal 18 ayat 4). 

_Kedua,_ tugas utama penyelenggara (KPU), menerjemahkan sistem pemilu kedalam aturan teknis yang real dalam kompetisi. Penyelenggara harus mampu mengelola pemilu seefisien dan seefektif mungkin. Efisien dalam arti pemilu serentak harus mampu dikelola sesuai kebutuhan, bukan membengkak menjauhi tujuan keserentakan. Efektif dalam makna mampu melahirkan kepemimpinan yang _legitimate,_ tidak cacat proses dan minim partisipan.

_Ketiga,_ peran partai politik tak kalah pentingnya. Tugas utamanya menyiapkan kandidat terbaik untuk dipilih oleh basis konstituen. Partai harus mampu menjamin hanya kader terbaik yang disodorkan _(primus interpares),_ bukan bekas _bromocorah,_ bukan warga asing, bukan _dealer,_ bukan penjarah, bukan pembohong, apalagi pelaku amoral. Dengan standar internal itu kita percaya bahwa kandidat yang tersedia telah memenuhi kualifikasi moral lewat rekam jejak dan didikan serius partai politik.

_Keempat,_ unsur utama dalam pemilu adalah basis konstituen. Tugas utamanya menampilkan kesadaran melalui partisipasi politik. Kesadaran itu tak hanya soal bagaimana menggunakan hak memilih, juga kewajiban sebagai pemilih. Rendahnya kesadaran karena faktor idiologis, idealis, buta politik, malpraktek dan situasi, perlu diantisipasi guna mengurangi hilangnya kesempatan menentukan masa depan bangsa. Pemilih dalam hal ini tak hanya militan, juga cerdas, bukan pula _fans-mania_ bersumbu pendek.

_Kelima,_ unsur terakhir adalah wasit pemilu. Bawaslu dan jajarannya harus mampu bersikap adil. Tanpa keadilan arena demokrasi bisa berubah menjadi amuk massa. Di luar Bawaslu, kanalisasi ketidakpuasan dapat disalurkan ke berbagai wadah, misalnya MK, PTUN, KASN, DKPP, bahkan APH bila pidana. Wasit harus mampu memastikan siapa yang bertanggungjawab. Cukuplah Liga Kanjuruhan yang menewaskan 134 jiwa tanpa ada yang merasa bertanggungjawab, pun tak boleh mengulang kembali kematian 849 Petugas TPS di Pemilu 2019.

Akhirnya, kita berharap kontribusi terbaik kelima elemen itu mampu melahirkan kepemimpinan yang _capable._ Kapabilitas itu tercipta oleh aturan yang kondusif, oleh penyelenggara yang _fairness,_ oleh partai yang selektif, oleh wasit yang adil, serta oleh pemilih yang cerdas. Dengan demikian, mereka yang terpilih lewat prosedur demokrasi dengan sendirinya memiliki legitimasi kuat sebagai jembatan mencapai bagian terbaiknya, substansi demokrasi. Tanpa komitmen itu, kemungkinan demokrasi hanya berhenti di tingkat prosedural. 

Artikel Terkait