Opini

Membangun Ketangguhan Sistem Energi Indonesia

Oleh : indonews - Senin, 21/11/2022 09:26 WIB

Membangun ketangguhan Sistem energi. (Foto: Ist)

Oleh: Atmonobudi Soebagio*)

Jakarta, INDONEWS.ID - Dapatkah Anda membayangkan hidup tanpa televisi, mobil atau komputer, tanpa lampu penerangan di rumah, dll?  Semua ini adalah buah karya para ilmuwan dan penemunya, terutama selama 200 tahun terakhir. Dan mungkin akan menghilang dalam 50 tahun pertama abad ini, mengikuti perubahan drastis akibat menipisnya cadangan sumber daya alam berupa bahan bakar fosil.

Peningkatan konsumsi energi mengarah ke peningkatan terus-menerus dalam wujud ekstraksi bahan bakar fosil, yang saat ini menyediakan lebih dari 85% penggunaan energi dunia. Saat ini, konsumsi energi tahunan adalah setara dengan lebih dari 11 miliar ton bahan bakar konvensional atau 459 Eta Joule (EJ), di mana hanya 15,4% yang berasal dari non-fosil (Statistical Review of World Energy 2022). Seiring dengan bertambahnya populasi dunia, tingkat dukungan energi dan ekonomi tumbuh secara bersamaan.   Angka ini akan terus meningkat, yang secara nyata akan menimbulkan konsekuensi serius. Paling logis adalah bahan bakar fosil, yang secara ekonomi - minyak dan gas alam - diperkirakan akan habis dalam 30-50 tahun ke depan.

 

Pentingnya Konsep Efisiensi Energi.

Konsep efisiensi energi (atau optimalisasi energi) saat ini menjadi salah satu perhatian utama umat manusia di seluruh dunia. Sejak krisis pertama di awal tahun 70-an, masyarakat dunia mulai menyadari tentang perlunya pemenuhan kebutuhan energi yang berkelanjutan, lewat peningkatan efisiensi penggunaan energi dan melaksanakan program efisiensi energi serta memperhatikan semakin menipisnya cadangan bahan bakar fosil di bumi.

 

Perjanjian Iklim – Glasgow (COP26).

Bangsa-bangsa mengadopsi Perjanjian Iklim Glasgow, yang bertujuan untuk mengubah tahun 2020-an menjadi sebuah dekade aksi dan dukungan untuk meminimalkan dampak perubahan iklim.  Paket keputusan ini terdiri dari berbagai butir yang disepakati, termasuk penguatan upaya untuk membangun ketahanan terhadap perubahan iklim, mengekang emisi gas rumah kaca, dan menyediakan pembiayaan yang diperlukan untuk kedua program tersebut.

Bangsa-bangsa menegaskan kembali tugas mereka untuk memenuhi janji menyediakan 100 miliar dolar setiap tahun dari negara maju kepada negara berkembang. Dan mereka bersama-sama sepakat bekerja untuk mengurangi kesenjangan antara rencana pengurangan emisi yang ada dan apa yang diperlukan untuk mengurangi emisi, sehingga kenaikan suhu rata-rata global dapat dibatasi hingga 1,5 derajat Celsius. Untuk pertama kalinya, negara-negara diminta menghentikan secara bertahap PLTU batu bara dan subsidi bahan bakar fosil yang tidak efisien.

Sebagai bagian dari keputusan, negara-negara juga menyelesaikan buku aturan Perjanjian Paris yang berkaitan dengan mekanisme pasar dan pendekatan non-pasar, serta pelaporan transparan tindakan iklim dan dukungan yang diberikan atau diterima, termasuk untuk kerugian dan kerusakan.

 

Pengembangan Energi Terbarukan.

Permintaan energi primer meningkat sebesar 5,8% pada tahun 2021, melebihi level 2019 sebesar 1,3%.  Antara 2019 dan 2021, energi terbarukan meningkat lebih dari 8 EJ. Konsumsi bahan bakar fosil secara luas tidak berubah.  Bahan bakar fosil menyumbang 82% dari penggunaan energi primer tahun lalu, turun dari 83% pada 2019 dan 85% lima tahun lalu.

 

Emisi Karbon Dioksida.

Emisi karbon dioksida dari penggunaan energi, proses industri, pembakaran dan metana (dalam setara karbon dioksida) naik 5,7% dalam 2021 hingga 39,0 Gt CO2e, dengan emisi karbon dioksida dari energi naik 5,9% menjadi 33,9 Gt CO2, mendekati level 2019.  Emisi karbon dioksida dari pembakaran dan emisi dari metana dan proses industri naik lebih rendah dengan 2,9% dan 4,6% masing-masing.

 

Batubara.

Harga batubara naik drastis di tahun 2021, dengan harga di Eropa rata-rata $121/ton dan rata-rata harga penanda Asia $145/t, tertinggi sejak 2008.  Konsumsi batubara tumbuh lebih dari 6% pada tahun 2021 menjadi 160 EJ, sedikit di atas Level 2019 dan level tertinggi sejak 2014.   Cina dan India menyumbang lebih dari 70% pertumbuhan permintaan batubara pada tahun 2021, yang mana masing-masing meningkat sebesar 3,7 dan 2,7 EJ.  Produksi global menyesuaikan konsumsi dengan peningkatan pasokan 440 Mt Cina dan India menyumbang sebagian besar peningkatan produksi yang sebagian besar dikonsumsi di dalam negeri, serta Indonesia, mendukung peningkatan ekspor. Khususnya, Eropa dan Amerika Utara menunjukkan peningkatan konsumsi batubara pada tahun 2021 setelah hampir 10 tahun mengalami penurunan berturut-turut.

 

Kepresidenan Indonesia pada G20 - 2022 dan Pertemuan Puncak Bali.

Pemerintah Indonesia menetapkan tiga pilar untuk kepresidenan G20 pada tahun 2022, yaitu: Arsitektur Kesehatan Global, Transisi Energi Berkelanjutan, dan Transformasi Digital, dengan tujuan untuk membangun masa depan yang berkelanjutan sambil berfokus pada inovasi digital. Di bawah ketiga bidang ini, yang merupakan pilar aksi yang saling berhubungan, G20 harus berusaha untuk memastikan akses yang adil ke vaksin COVID-19, dan mempromosikan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif melalui partisipasi perusahaan-perusahaan skala mikro, kecil, dan menengah serta pertumbuhan ekonomi digital. Kepresidenan Indonesia menetapkan tujuan utama yaitu mengamankan kemakmuran bersama di antara bangsa-bangsa. Untuk mencapai ini, diakui tentang perlunya keberlanjutan reformasi perpajakan global, kerja sama yang lebih kuat dalam memerangi korupsi, khususnya dalam pembiayaan infrastruktur, dan kerjasama internasional yang lebih demokratis dan representatif.

Transisi energi merupakan proses panjang yang harus dilakukan oleh negara-negara di dunia untuk menekan emisi karbon yang dapat menyebabkan perubahan iklim. Dalam konteks transisi energi berkelanjutan, Presiden Joko Widodo telah menyampaikan bahwa Indonesia akan mencapai Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat. 

Masuknya mobil dan motor bertenaga listrik merupakan perwujudan menuju energi bersih.  Namun transisi dari bahan bakar fosil ke energi listrik hanya akan meningkat efektifitasnya apabila sumber-sumber energi listrik yang disiapkan oleh pemerintah untuk mengisi baterai kendaraan listrik tersebut berasal dari pembangkit listrik hasil konversi energi terbarukan, yaitu matahari, angin, gelombang dan arus laut, maupun penggunaan bahan bakar yang ramah lingkungan, yaitu hidrogen cair. Tanpa dipacunya pembangunan pembangkit listrik yang menggunakan energi baru dan terbarukan, masuknya mobil listrik hanya akan menambah beban PLTU batubara yang ada, sehingga berujung pada kenaikan emisi CO2 di atmosfir Indonesia akibat kenaikan konsumsi batubara.

 

Peta Jalan Terpadu Energi Bersih 2060 Ditetapkan.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral akan memadukan peta jalan sektor energi Indonesia dari sejumlah lembaga, termasuk internasional, menuju emisi nol bersih (NZE) 2060. Peta jalan terpadu itu diharapkan rampung tahun ini sehingga dapat menjadi tuntunan dalam mencapai tahapan target pengurangan emisi gas rumah kaca di Indonesia (Kompas, Senin, 21 November 2022).

Penulis berharap Indonesia tetap melanjutkan program reboisasi hutan gundul karena ditebang untuk diambil kayunya, maupun perluasan penanaman pohon mangrove hingga ke pulau-pulau kecil tidak berpenduduk yang ribuan jumlahnya. Pengoperasian teknologi carbon capture and storage (CCS) yang memerlukan energi listrik dan berujung ke naiknya tarif listrik, hanya berfungsi menangkap dan menyimpan CO2 saja.  Sebaliknya, proses reboisasi hutan yang gundul dan perluasan hutan mangrove justru memiliki dua manfaat, yaitu: sebagai penyerap CO2 dan pemroduksi O2 secara alami; selain mencegah abrasi di daerah pesisir dan berujung pada hilangnya pulau-pulau kecil dari peta Indonesia.  Semoga akselerasi transisi energi di Indonesia dapat dilaksanakan secara cepat dan tepat sasaran.

*) Prof. Atmonobudi Soebagio MSEE, Ph.D. adalah Guru Besar Energi Listrik pada Universitas Kristen Indonesia.

 

Artikel Terkait