Opini

Isu Kristenisasi dan Kecemasan Religius Kelompok Muslim

Oleh : Rikard Djegadut - Kamis, 01/12/2022 21:04 WIB

Andy Tandang (Foto: dok.pribadi)

Oleh Andy Tandang

Jakarta, INDONEWS.ID - Senin, 21 November 2022, gempa berkekuatan magnitudo 5,6 mengguncang Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Ratusan jiwa melayang. Yang lain luka parah dan patah tulang. Ribuan unit bangunan rusak parah.

Di tengah suasana duka warga, isu Kristenisasi kembali dihembuskan. Isu ini menjadi topik perbincangan publik pasca viralnya video pencopotan label gereja di tenda bantuan untuk para korban gempa Cianjur.

Tampak dalam video tersebut sejumlah pria yang diketahui berasal dari Ormas Gerakan Reformis Islam (Garis), sedang mencopot tulisan Tim Aksi Kasih Gereja Reformed Injili Indonesia` yang terpasang di atap tenda berwarna biru.

Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil akhirnya buka suara. Melalui akun media sosialnya, mantan wali kota Bandung itu menyayangkan aksi terebut. Menurutnya, label gereja yang dipasang pada tenda pengungsian adalah hal yang wajar. Boleh jadi, label yang dipasang merupakan bagian dari pelaporan pertanggungjawaban kepada para donatur yang menitipkan bantuan kepada mereka.

Kang Emil, demikian sapaan akrabnya, lantas memberi penekanan pada aspek kemanusiaan. Baginya, bantuan kemanusiaan tidak boleh ternodai sedikitpun oleh unsur kebencian golongan, meskipun tidak bersaudara dalam keimanan, tetapi tetaplah bersaudara dalam kebangsaan dan kemanusiaan.

Sebetulnya, tak hanya Kang Emil yang geram. Ketua Umum (Ketum) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj juga turut merespon tindakan yang menggangu keakraban sebagai warga negara tersebut.

Ia menganggap, tindakan tersebut tidaklah benar. Para pelakupun dinilai bersikap belum dewasa, karena belum mampu membedakan aktivitas sosial kemanusiaan dan kristenisasi.

Kegusaran Religius

Pada tahun 80-an dan 90-an, isu Kristenisasi sangat kencang dibicarakan oleh umat Islam Indonesia, bahkan menjadi tema ceramah yang sangat digemari kaum muslim kala itu. Ustad Zainudin MZ, salah seorang dai yang dijuluki "dai sejuta umat" menjadi ikon, sekaligus juru bicara Islam dalam menolak Kristenisasi.

Dengan bermodalkan kemampuan retorikanya, Ustad Zainudin berhasil menarik simpati para pengikutnya. Ia memiliki banyak sekali pendengar setia yang mengikuti ceramah-ceramahnya di kaset yang diproduksi secara massal, atau mendengarnya di berbagai jaringan radio yang memutar ceramahnya secara rutin.

Salah satu penggalan ceramahnya yang terkenal adalah anjuran agar kaum muslim tidak menggadaikan imannya dengan Supermi, salah satu merek mie instan paling terkenal kala itu. Zainudin mencurigai kaum Kristen telah memanfaatkan kemiskinan untuk tujuan penyebaran agama Kristen.

Hari-hari ini, kita menemukan semacam kecemasan religius dari beberapa kelompok Muslim. Karya pelayanan sosial gereja dibaca sebagai upaya menganggu keyakinan mayoritas. Bantuan kemanusiaan dicurigai sebagai strategi menggeser iman dan kepercayaan mereka. Narasi pemurtadan massal pun digulirkan ke publik. Para pengikutnya dibikin cemas, bahwa setiap aksi solidaritas dan kemanusian kaum Kristen selalu berbarengan dengan doktrin Kristenisasi.

Mereka yang waras tentu akan bertanya; Semudah itukah seseorang pindah agama? Hanya diumpan sebungkus supermi atau sekilogram beras, semisal? Atau, seketika murtad hanya karena melihat tenda pengungsian berlabel gereja?

Jika demikian, perlu usaha lebih untuk memupuk kembali iman dan kepercayaannya, serentak mendalami lebih sungguh doktirn komprehensif agamanya. Iman yang kokoh dan keyakinan yang teguh tak akan goyah hanya karena supermi. Tak akan akan goncang hanya karena tenda pengungsian.

Belajar dari Romo Mangun

Kisah tentang Romo Mangun bisa menjadi inspirasi, sekaligus meneguhkan iman saudara-saudara Muslim yang barangkali cemas dan takut dengan karya pelayanan gereja. Semasa hidup, sosok Pastor Katolik yang unik dan langka ini tidak hanya dikenal sebagai pemimpin gereja, tetapi juga dikenal sebagai pejuang kemanusiaan.

Ia tak hanya berdiri di mimbar altar, merayakan ekaristi lalu alpa melawat mereka yang di `pasar`, mereka yang terpinggirkan, mereka yang rentan terhadap ketidakadilan. Kampung Code menjadi saksi peejuangan kemanusiaan Romo Mangun.

Kiprah Romo Mangun di kampung ini bermula saat Pemerintah Kota Yogyakarta merencanakan penggusuran kampung tepi sungai ini sebagai jalur hijau. Ia berusaha menggagalkan rencana tersebut dengan cara menata Kampung Coda agar warga setempat dapat terhindar dari penggusuran.

Awalnya, upaya Romo Mangun sempat menuai kecurigaan. Predikatnya sebagai pastor yang bersedia terjun langsung membantu kaum marjinal masih dianggap aneh bagi masyarakat. Apalagi Romo Mangun menolak bermukim di pastoran selama mengurus Kampung Code.

Romo Mangun meminta izin Uskup untuk tinggal bersama warga yang dia bantu. Ia membangun gubuk sederhana di bawah jembatan Gondolayu sebagai tempat tinggal. Saat itu, banyak orang menyindir Romo Mangun tengah melakukan upaya kristenisasi di Yogyakarta.

Kampung Code memang kampungnya orang-orang yang tersisihkan dari deru pembangunan Yogyakarta. Penghuninya terdiri dari segala macam profesi yang biasa dianggap sebagai sampah masyarakat. Mulai dari pengamen, pedagang asongan, loper koran, maling, preman, hingga pelacur. Demografi seperti ini membuat warga Code tak terlalu acuh dengan agama.

Romo Mangun memilih tak peduli dengan ocehan kristenisasi. Ia mulai masuk dan menata Kampung Code. Dia datang ke kampung tersebut dengan “filsafat lonte”, sebuah filsafat jalanan bikinannya sendiri. Melalui filsafat ini, Romo Mangun menasehati anak-anak di kampung tersebut dengan bahasa yang membumi agar mereka tetap mau bersekolah sebelum atau setelah mereka menjadi loper koran atau mengasong.

Kehadiran Romo Mangun dan pendekatannya yang sederhana ternyata mengena di hati warga Code. Orang-orang kecil merasa dirangkul dan dipandang sebagai manusia beradab. Mereka pun termotivasi untuk ikut berpartisipasi menata tempat tinggal mereka menjadi lebih bermartabat.

Romo Mangun berperan mendesain rumah-rumah warga agar terhindar dari banjir Kali Code dan sedap dipandang mata. Warga juga mendukung dengan perubahan perilaku. Mereka bersatu menjadi sekumpulan warga yang guyub. Dengan modal tersebut mereka turut serta menghijaukan kampung, menghilangkan kebiasaan buang sampah di kali, dan mendorong anak-anak memperoleh pendidikan yang layak.

Ajak Warga Dalami Islam

Perubahan perilaku ini tampak juga di aspek religiusitas. Warga Code yang semula berjarak dengan agama mulai mau lebih mengenal agama. Romo Mangun merancang sebuah masjid sederhana di tengah Kampung Code. Benar, masjid. Romo Mangun tak pernah membangun gereja ataupun membaptis orang di Code.

Alih-alih mengajak warga Code ramai-ramai berpindah agama, Romo Mangun lebih suka memfasilitasi mereka untuk bisa mendalami Islam dengan lebih baik. Hingga kini, Masjid Kalimosodo karya Romo Mangun masih berdiri kokoh di Kampung Code. Selain masjid, warga Code juga memiliki fasilitas umum lain berupa balai pertemuan dan perpustakaan.

Masyarakat yang sempat menaruh curiga bisa bersorak gembira. Romo Mangun bisa dibilang “gagal total” dalam upaya mengkristenkan Code. Umat Islam masih menjadi kelompok mayoritas dalam demografi penduduk Kampung Code.

Sejatinya, niat Romo Mangun datang ke Code bukan untuk menambah jumlah statistik pemeluk Katolik. Romo Mangun tidak hadir untuk menyebarkan agama Katolik. Romo Mangun hadir untuk menyebarkan nilai-nilai Katolik yang membawa damai bagi semua umat manusia.

Karya Romo Mangun murni karena alasan kemanusiaan. Sebuah nilai universal yang, sayangnya, selama ini lebih sering terdengar di mimbar kotbah daripada dihadirkan secara riil bagi masyarakat yang terpinggirkan.

Masihkan saudara-saudaraku yang Muslim takut dan cemas?

Artikel Terkait