Nasional

Demoralisasi Birokrasi: Berhenti pada Remunerasi Namun Minim Inovasi dan Pengawasan

Oleh : very - Kamis, 16/03/2023 20:45 WIB

Acara Paramadina Democracy forum “Etika Pejabat Publik dan Demoralisasi Birokrasi” yang diselenggarakan Paramadina Public Policy Institute (PPPI) di Jakarta, Rabu (15/03/2023). (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Seruan menunda pembayaran pajak publik menyusul menyeruaknya kasus di Dirjen Pajak selama ini harus diantisipasi secara serius. Betapa tidak, jika seruan itu terus bergema, maka bukan tidak mungkin memengaruhi situasi fiskal negara akan semakin mengkwatirkan bahkan bisa memburuk.

Hal itu disampaikan ahli kebijakan publik Ir. Wijayanto Samirin, MPP, dalam acara Paramadina Democracy forum  “Etika Pejabat Publik dan Demoralisasi Birokrasi” yang diselenggarakan Paramadina Public Policy Institute (PPPI) di Jakarta, Rabu (15/03/2023).

Seruan tidak membayar pajak, katanya, juga bisa menyebabkan terjadinya negara gagal (failed state) yang harus diantisipasi dengan serius. “Sayangnya, Kemenkeu menerima situasi itu dengan sangat defensif. Seharusnya hal-hal itu direspons lanjut dengan kolaborasi dengan para pihak. Karena permasalahan indikasi korupsi di Pajak/Kemenkeu jelas di atas kapasitas para pengelola keuangan negara,” katanya.

Menurut Wijayanto, kolaborasi dengan para pihak sangat diperlukan karena yang dihadapi para pemungut pajak dan Kemenkeu bukan hanya dari sisi penerimaan pajak, namun juga dari sisi demand side yakni para pengusaha besar, oligarki, tokoh berpengaruh.

Karena itu, Wija – sapaannya - menyarankan solusi pada situasi seperti ini yaitu dengan penegakan hukum, pendekatan insentif, dan pendekatan budaya. “Penegakan hukum, tentu sangat rumit di Indonesia. Kedua, pendekatan insentif sudah dicoba tapi ternyata tidak cukup,” katanya.

Untuk pendekatan budaya, katanya, masyarakat kita masih terjangkit budaya feodal karena mereka melihat contoh budaya dan perilaku atasannya. Karena itu, seharusnya penerapan hidup sederhana dilakukan dengan konsisten.

Alvin Nicola dari Transparency International Indonesia (TII) menyinggung Indeks Persepsi Korupsi (CPI) di Indonesia. Berkaca pada skor indeks persepsi korupsi Indonesia yang memburuk belakangan ini, hal itu mencerminkan upaya reformasi birokrasi banyak menemukan tantangan.

“Namun tanggapan pemerintah untuk menanggapi hasil menurunnya skor CPI Indonesia juga bukan atas apa inti persoalan sebenarnya,” ujarnya.

Alvin mengatakan, upaya-upaya debirokratisasi, digitalisasi dan deregulasi yang selama ini digaungkan ternyata tidak menyelesaikan banyak hal. Penurunan skor CPI Indonesia selama ini bersamaan dengan semakin langgengnya intervensi politik dalam birokrasi.

Sementara Direktur PPPI, Ahmad Khoirul Umam, Ph.D menyatakan bahwa secara teoritis, konsep good governance adalah hadiah dari paham neoliberal yang diharapkan menjadikan proses demokrasi yang transparan dan akuntabel bisa menghadirkan sebuah tata kelola pemerintahan yang baik.

“Problemnya, yang terjadi di banyak negara berkembang yang mengadopsi konsep good governance seringkali memang lebih banyak berhenti pada proses remunerasi namun minim inovasi dan minim aspek pengawasan,” ungkapnya.

Dia mengatakan, konsep tentang good governance dalam konteks reformasi birokrasi yang hadir dalam bentuk digital services (OSS, INSP, STID) seperti disampaikan Menteri Luhut Binsar Pandjaitan sama sekali belum menjawab persoalan. Karena kunci reformasi birokrasi ada pada sumber daya manusia, birokratnya dan bukan pada infrastruktur dasar dari birokrasi.

Umam juga mengkritisi terjadinya demoralisasi pada birokrasi yang memunculkan pertanyaan penting pada hal-hal yang dulu pernah dijanjikan oleh Presiden Jokowi yaitu revolusi mental.

“Revolusi mental jika hanya dimaknai pada sebuah upaya untuk menghantam kekuatan-kekuatan tertentu yang tidak sesuai dengan narasi kepentingan kekuasaan, maka itu bukan revolusi mental,” pungkasnya. ***

 

Artikel Terkait