Nasional

Prediksi BMKG Potensi El Nino Mencapai 50 Persen

Oleh : Rikard Djegadut - Senin, 19/06/2023 19:34 WIB


Deputi Bidang Meteorologi BMKG Guswanto dalam diskusi daring yang digelar Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) bertajuk "Antisipasi Kebakaran Hutan dan Lahan" pada Senin, 19 Juni 2023

Jakarta, INDONEWS.ID - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) telah memprediksi potensi El Nino sudah mencapai 50 persen dan dipastikan akan terus meningkat.

Hal tersebut disampaikan Deputi Bidang Meteorologi BMKG Guswanto dalam diskusi daring yang digelar Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) bertajuk "Antisipasi Kebakaran Hutan dan Lahan" pada Senin, 19 Juni 2023.

“Saat ini memang BMKG sudah memprediksi bahwa kalau kita lihat El Nino ini potensinya sudah 50 persen dan ini sudah meningkat,” ungkap Guswanto.

Lebih lanjut, Guswanto mengatakan kemarau panjang yang disebabkan oleh El Nino dan diprediksi BMKG terjadi hingga akhir tahun harus diantisipasi secara serius.

"Indeksnya saat ini sudah 0,9 dan ini pertanda dia akan merambat menuju moderat: dari lemah menuju moderat. Artinya apabila tidak diseriusi dalam mengantisipasi, maka kekeringan, kekurangan air hujan itu akan menjadi nyata," pungkasnya.

Maka dalam rangka mengatasi kekeringan-kekeringan ini, tegasnya, perlu dilakukan sejumlah langkah. Pertama masyarakat harus diedukasi untuk bisa menghemat air.

"Karena hari ini, wilayah-wilayah di Indonesia masih ada yang menerima hujan yang disimpan dalam bentuk waduk atau embung untuk dikelola dengan baik," tandasnya.

Selain itu, Guswanto juga meminta untuk dilakukan antisipasi khusus di wilayah-wilayah yang memiliki lahan gambut, khususnya Sumatera dan Kalimantan. Antisipasi yang dilakukan dapat berupa pembasahan baik dialiri air melalui tanah maupun menggunakan TMC (Teknologi Modifikasi Cuaca).

"Dan terakhir yang perlu diantisipasi adalah apabila ada kebakaran, asap lintas batas ini perlu diwaspadai. Jangan sampai asap lintas batas bisa mengganggu negara tetangga," tandasnya.

Lebih lanjut, Guswanto menuturkan, berbicara mengenai kekeringan, ada sejumlah krisis yang mengikuti seperti krisis air, krisis energi, hingga krisis pangan.

"Kedua bisa juga nanti krisis energi atau listrik. Karena sebagian besar sumber listrik di Indonesia menggunakan PLTA. Yang ketiga krisis pangan. Hal-hal inilah yang perlu kita antisipasi. Antara lain misalnya melakukan edukasi kepada masyarakat. Ada namanya Sekolah Lapang Iklim (SLI)," ujarnya.

Teknologi Efektif Cegah Karhutla

Masih dalam forum tersebut, Guswanto menegaskan pemanfaatan teknologi dinilai efektif dalam rangka mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Dalam melakukan kerja dan fungsinya, Guswanto menjelaskan, BMKG hingga saat ini telah melakukan pemanfaatan terhadap teknologi terbaru dan terus dikembangkan. Di antaranya dalam melakukan prakiraan cuaca.

"Jadi kalau pemanfaatan teknologi itu sebenarnya sudah kita lakukan dan saat ini. Menurut saya ya cukup efektif, walaupun perlu ditingkatkan kembali," kata Guswanto.

Bahkan BMKG mampu melakukan prakiraan cuaca baik secara semester, yakni melakukan update per enam bulan, bulanan, mingguan, hingga harian. Bahkan, saat ini BMKG memiliki prakiraan yang disebut nowcasting.

Prakiraan nowcasting mengambarkan kondisi cuaca saat ini dan prakiraan cuaca ekstrem jangka pendek untuk periode sangat singkat yaitu 0-6 jam ke depan.

"Jadi kita punya update yang enam bulan, satu bulan, satu minggu dan update yang harian serta nowcasting," terang Guswanto.

Menurutnya, prakiraan-prakiraan yang disampaikan BMKG ini dapat menjadi peringatan dini atau early warning bagi stakeholder lain, serta masyarakat dalam melakukan antisipasi, salah satunya untuk mencegah terjadi karhutla.

"Kita lihat BMKG melakukan pemanfaatan terhadap teknologi dengan pemanfaatan modeling dan prakiraan cuaca. Nah ini kita lakukan dalam rangka untuk memberikan warning kepada masyarakat bahwa ini loh kondisi saat ini," jelasnya.

Ukur Asap Lintas Batas

Selain untuk tujuan memberikan peringatan kepada masyarakat, lanjut Guswanto, pemanfaatan teknologi juga diperuntukan untuk mengukur tingkat dan kadar asap lintas batas atau transboundary haze antar negara.

Hal ini terutama jika karhutla terjadi di wilayah-wilayah perbatasan dengan negara-negara tetangga. BMKG dapat melakukan pengamatan transboundary haze menggunakan satelit Himawari atau Geostationary Meteorological Satellite (GMS).

"Nah kemudian ini juga membantu kita terkait transboundary haze. Kita melakukan pengamatan melalui satelit Himawari (GMS), apabila ada asap lintas batas kita diskusi serta dibuktikan lintas batasnya apakah benar terjadi atau tidak," paparnya.

Saat ini, BMKG terus mendukung KLHK dengan memberikan data-data yang dibutuhkan terkait asap lintas batas.

"Jadi kita memberikan datanya kepada tim KLHK, lalu berdiskusi dengan negara lain untuk membuktikan berapa lama ada atau tidaknya asap lintas batas. Apabila tidak ada, artinya kita sudah aman dari transboundary haze itu," bebernya.

Selain Himawari Satelit, BMKG juga memiliki sistem peringatan dini kebakaran hutan dan lahan atau yang disebut Fire Danger Rating System (FDRS). Teknologi ini dikembangkan atas inisiatif Pemerintah Kanada yang kemudian dikembangkan menjadi Sistem Kebakaran Hutan dan Lahan (SPARTAN).

"Sampai saat ini masif aktif digunakan, bahkan untuk Asia Tenggara juga menggunakan teknologi tersebut yang dikemudian dikembangkan menjadi Sistem kebakaran hutan dan lahan (SPARTAN).

"Intinya, dalam rangka untuk mengatasi kebakaran hutan dan lahan serta transboundary haze, kita BMKG selalu berkolaborasi dengan seluruh institusi yang ada di Indonesia seperti KLHK, Pemda hingga akademisi karena karhutla adalah tanggung jawab bersama," tutupnya.

Artikel Lainnya