Opini

Politik Kaum Cendekia

Oleh : very - Sabtu, 06/01/2024 16:56 WIB

Abdul Mukti Ro’uf adalah Pengajar Filsafat dan Pemikiran Islam pada Program Pascasarjana IAIN Pontianak. (Foto: Ist)

 

Oleh: Abdul Mukti Ro’uf*)

Jakarta, INDONEWS.ID - Demokrasi tidak lagi mendung tetapi sudah mulai gerimis. Namun siapa peduli? Partai-partai yang memikul tanggung jawab melakukan pendidikan politik demokratik tidak bisa lagi diharap. Para elit partai tengah sibuk menghabiskan energinya untuk menemukan persamaan kepentingan sebagai modal untuk berkuasa.

Makna “kepentingan politik” tidak lagi berasas pada nilai-nilai yang bersumber dari kepentingan rakyat, melainkan kepentingan elit itu sendiri untuk tukar-menukar posisi dan saling menyandra dalam aneka kasus hukum. Sementara kepentingan rakyat disuarakan dengan lantang semata sebagai materi kampanye untuk merebut pundi-pundi elektoral.

Dengan bersandar pada angka elekatbilitas calon presiden, sudah cukup bagi mereka untuk mengatakan bahwa mereka telah berada di jalan demokrasi karena dalil, “suara  rakyat, suara Tuhan”.

Definisi suara rakyat yang kompleks itu dengan sadar direduksi maknanya dengan angka-angka survei. Ini semacam ironisme dan sinisme yang rasional di atas basi-basi khotbah tentang demokrasi. Jangankan untuk merengkuh demokrasi subtansial, demkorasi proseduralpun disajikan dengan cacat-cacat yang telanjang. Bagi para elit yang sedang memburu kuasa, demokrasi hanya masalah etika dan nilai, bukan bagian penting dalam merengkuah kekuasaan.

Di bagian lain, perang “menang-kalah” antar capres bukan hanya diisi oleh tim sukses dan relawan. Tetapi oleh para intelektual dengan media survei. Atas nama kewibawaan “kebenaran ilmiah” mereka berlomba mengisi ruang-ruang media sosial untuk mengkampanyekan “menang satu putaran” untuk paslon tertentu.

Keberpihakan intelektual terhadap paslon tertentu tentu saja absah sebagai pilihan politik demokratik. Tetapi “mendiamkan” kekeliruan demokratik sebagai jalan menuju kekuasaan menjadi problematis bagi jati diri kecendekiawanan. Mengapa demikian? Karena intelektualitas identik dengan moralitas.

 

Dimana Kaum Cendekia?

Umumnya, kaum cendekiawan tidak memiliki infrastruktur massa dan logistik untuk mengerakkan perubahan sosial yang dikehendakinya. Cendekiawan hanya memiliki infrastrukutur berupa kemewahan nilai-nilai. Isi khotbah para cendekiawan seringkali tidak mengalir ke arus bawah sebagai “perasaan bersama”.

Kekuatan massa yang dimiliki oleh partai dan bahkan oleh rezim berkuasa sudah lama berkoalisi dengan para pemilik modal. Persis seperti kritik Karl Marx terhadap koalisi antar negara-pemilik modal-kuam agamawana yang melahirkan teori kelas. Organisasi negara yang dibentuk oleh kesepakatan rakyat tanpa sadar telah lama dibajak oleh para pemegang saham politik dan pemilik modal untuk kepentingan segelintir orang.

Itulah yang sedikit menjelaskan kenapa Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme terus menggurita di tengah derita kemiskinan, stunting, dan ketidakadilan sosial. Sementara banyak para cendekiawan yang bermigrasi dari singgasananya sebagai penjaga moral ke dalam kerumunan para pemburu kuasa dan modal sebagai endorser mereka.

Suara jernih dan kritis yang datang dari kampus seringkali dilumpuhkan oleh rezim sebagai bagian dari orkestrasi kekuasaan melalui aneka regulasi. Kepemimpinan perguruan tinggi lambat laun menjauh dari “kepemimpinan intelektual” dan tanpa sadar merangsak masuk ke model “kepemimpinan birokratis”. Ia bukan lagi sebagai bagian dari suara civil society sebagai kekuatan peyeimbang kekuasaan.

Perguruan tinggi negeri yang dibiayai oleh APBN relatif sepi dari kemandirian berpikir untuk dapat berpendapat mana “yang salah” dan mana “yang benar” dari sudut pandang ilmiah. Perguruan tinggi seringkali hanya menjadi stempel atas kebijakan pemerintah. Jikapun ada suara kritis dari kampus, dipastikan bukan datang secara kelembagaan melainkan dari individu yang merdeka.

Para intelektual kampus disibukkan dengan pengejaran karir akademiknya sendiri untuk meraih gelar profesor dengan pengorbanan waktu dan materi untuk memenuhi mekanisme birokrasi kepangkatan yang njlimet. Jumlah guru besar di sebuah kampus hanya akan “diperhitungkan” untuk memenuhi standar akreditasi perguruan tinggi.

Banyak dan sedikit jumlah guru besar sering tidak identik dengan banyak dan sedikit temuan (teori) baru. Intelektualitas yang berkembang di perguruan tinggi lambat laun berkembang ke arah “intelektual birokratis”. Kebanggaannya terletak pada seberapa banyak jumlah guru besar yang dimiliki oleh sebuah perguruan tinggi. Bukan seberapa berpengaruh keberadaan guru besar terhadap maju dan mundurnya terhadap gairah keilmuan.

Maka, jika peranan sosial kaum cendekia masih gagal untuk “mencerdaskan” kampusnya sendiri, bagimana mungkin akan bergerak untuk mengoreksi kekuasaan yang cenderung korup: "Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely" (Lord Acton). Bila dialihbahasakan, kalimat dari politikus Inggris abad ke-19 itu kira-kira, "Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut pasti korup”.

Belakangan, kontrol terhadap kekuasaasn oleh DPR juga lambat laun melumpuh karena alasan percepatan dan efektifitas program-program pemerintah. Fungsi pengawasan oleh DPR dianggap sebagai “pengganggu” bagi jalannya program-program pemerintah. Pada saat yang sama, koalisi partai-partai politik yang kalah dalam pilpres selalu berkecenderungan untuk tetap ikut berkuasa di eksekutif yang menyebabkan fungsi check and ballancing terus melemah. Akibat lebih jauhnya, demokrasi kian lumpuh dan model otoriteriansime kian subur.

Kini, kepemimpinan Jokowi di ujung periode keduanya kian menampakkan jati dirinya yang cenderung berwarna Orde Baru dari pada pemerintahan demokratik. Fenomena ini tergambar bukan karena alasan kontestasi politik di tahun politik. Melainkan karena ada fakta-fakta pengelolaan pemerintah dan negara yang kasat mata makin menjauh dari prinsip-prinsip dan opersional demokrasi. Lantas, dimana kaum cendekia?

*)Penulis adalah Pengajar Filsafat dan Pemikiran Islam di Program Pascasarjana IAIN Pontianak

Artikel Terkait