Nasional

Pilihlah Pemimpin dengan Kematangan Emosional, Kearifan dan Kepedulian pada Kaum Terpinggir

Oleh : very - Senin, 15/01/2024 20:47 WIB

Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Antonius Benny Susetyo. (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID – Untuk mempererat tali silaturahmi kebangsaan dan persaudaraan lintas iman serta menghadapi pesta demokrasi dalam pemilu 2024, Forum Nasionalisme Kristen menggelar silaturahmi persaudaraan lintas iman untuk Indonesia yang lebih baik, di DBL Arena Surabaya, pada Sabtu (13/1).

Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Antonius Benny Susetyo, yang didapuk sebagai pembicara menyatakan bahwa keragaman dan kemajemukan menjadi modal dasar dalam membangun bangsa.

“Kita disatukan oleh dasar negara yaitu Pancasila, maka  Pancasila harus menjadi habitus bangsa menuju peradaban dunia. Karenanya kita perlu mengembalikan Pancasila sebagai roh berpikir dalam pengambilan kebijakan dan keputusan    hingga menjamin masa depan yang baik demi negara dan bangsa, menciptakan spirit Indonesia tangguh dan mempercepat pemulihan krisis pasca pandemi COVID-19 serta menghadapi konflik dan resesi ekonomi global yang menghancurkan banyak negara di dunia,” ujar Benny melalui siaran pers di Jakarta, Senin (15/1).

Benny mengatakan, Pancasila harus dikembalikan menjadi ideologi yaitu harus menjadi living ideology dan working ideology.

Living artinya Pancasila dihidupi dari masyarakat yang bersumber dari budaya dan kearifan lokal, serta working memiliki arti Pancasila menjadi arah kebijakan dan pusat pikiran dan kerja masyarakat, pemerintah, elit politik, dan partai politik di Indonesia,” jelasnya.

Terkait pemilu yang akan diselenggarakan pada Februari 2024 mendatang, doktor komunikasi politik tersebut menyatakan bahwa kita harus sadar bahwa Pemilu sebagai sarana demokrasi yang ideal dan benar-benar adil adalah suatu hal yang utopia.

Di lapangan, katanya, kita menghadapi kenyataan bahwa ongkos pemilu yang mahal menjadikan demokrasi menjadi hal yang penuh intrik, dinamika dan transaksi.

Pada akhirnya kita harus kembali pada pandangan Romo Magnis tentang “Minus Mallum” atau “Lesser Evil” yang menyatakan bahwa kita harus memilih mereka yang dosanya paling sedikit.

“Karena itu, sebelum pencoblosan kita harus mulai bisa memperhatikan para calon pemimpin dengan melihat rekam jejak, kestabilan psikologis dan kemampuan mereka dalam berdiri bersama  rakyat dan pemilih,” katanya.

“Kita juga harus bisa melihat pemimpin mana yang memiliki keutamaan yaitu mereka yang memiliki kematangan emosi, kearifan dan kebijaksanaan, menghormati  keberagaman, hak asasi manusia dan peduli pada mereka yang terpinggirkan,” sambung Benny.

Lebih lanjut Benny menyatakan bahwa selama ini Indonesia telah mampu melaksanakan pesta demokrasi dengan baik dan suksesi kepemimpinan yang relatif damai dan tanpa kekerasan.

Indonesia bersama Pancasila terbukti mampu menjaga persatuan dan kesatuan di tengah tantangan ideologi lain yang mencoba merangsek dan karenanya kita harus dapat senantiasa menjaga kestabilan tersebut khususnya dalam momen pesta demokrasi ini,” ujarnya.

Doktor komunikasi politik itu menyatakan bahwa para pemilih potensial adalah generasi Z. Karena itu mereka harus diajak agar memilih secara rasional dan tidak terjebak memilih atas dasar afeksi, pengkultusan figur tertentu, politik identitas dan romantisme masa lalu yang digunakan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk meraih kekuasaan.

Dia mengatakan, para peserta seminar dapat memberikan informasi kepada masyarakat bagaimana cara memilih pemimpin, misalnya dengan metode analisa kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan ancaman (threats) pada setiap calon calon pemimpin yang akan dipilih. Karena itu, bisa didapatkan pemimpin yang benar-benar efektif dan mampu bekerja sesuai ekspektasi masyarakat. ***

Artikel Terkait