Opini

Menyalakan Nurani di Bilik Suara

Oleh : very - Senin, 12/02/2024 14:24 WIB

Abdul Mukti Ro’uf adalah Dosen Filsafat dan Pemikiran Islam di Pascasarjana IAIN Pontianak. (Foto: Ist)

Oleh: Abdul Mukti Ro’uf*)

Jakarta, INDONEWS.ID - Kampanye terakhir sudah berakhir pada tanggal 10 Februari 2024. Gelombang kampanye terakhir tiga paslon capres-cawapres disesaki jumlah massa pendukung yang melimpah ruah.

Semua Paslon berkeyakinan sama: menang bahkan dalam sekali putaran. Keyakinan elektoral itu setidaknya ditandai oleh hasil survei dan fenomena kehadiran massa dalam setiap kampanye. Apakah dua peristiwa itu akan menghantarkan pada kenyataan? Bisa ya, bisa juga tidak.

Memang, ada sejumlah anomali antara hasil survei dan gelombang dukungan massa real. Seolah, hasil survei dengan metodologi yang terpercaya belum dapat meyakinkan untuk menggambarkan hasil yang sebenarnya. Dan memang, kebenaran ilmiah sebagaimana tumpuan lembaga survei senantiasa menyimpan potensi kekhilafan antara teori dan kenyataan.

Anomali itu pernah terkonfirmasi seperti dalam fenomena Pilkada DKI tahun 2012 dan tahun 2017. Dua pilkada itu menempatkan Paslon Fauzi Bowo-Nahrowi Ramli dan Paslon Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat selalu unggul dalam survei dan akhirnya kalah. Artinya, dalam kompetisi elektoral, selalu dimungkinkan munculnya faktor-faktor baru yang tidak terduga dan dapat meruntuhkan keyakinan sebelumnya.

Namun demikian, bukan berarti ikhtiar metodologis dalam survei tidak memiliki signifikansi dalam memprediksi hasil yang sebenarnya. Temuan survei seringkali dijadikan oleh paslon (terutama yang unggul surveinya) sebagai alat penggiringan opini dan mempengaruhi psikologi pemilih.

 

Kematangan dalam Memilih

Apapun taktik dan strategi para aktor politik pemburu suara dan semua hiruk pikuk dan riuh rendah dalam proses kampanye harus ditempatkan sebagai pesta lima tahunan. Dalam sebuah pesta kadangkala terjadi kegaduhan dan gesekan yang keras dan menimbulkan rasa ketersinggungan,  kebencian dan saling merendahkan satu sama lain.  Dulu bertemu, kini berpisah. Dulu berteman, kini berlawanan. Dulu sejiwa, kini pindah ke lain hati. Dulu dididik, kini menghardik.

Seolah, pilihan politik dalam pilpres ini menjadi garis pemisah antar relasi personal, keluarga, kelompok, organisasi. Hubungan harmonis yang telah terbina puluhan tahun mudah berganti menjadi disharmonis karena pilihan yang berbeda dalam jeda waktu yang singkat. Singkatnya, pilihan politik, bagi yang tidak siap, cenderung akan memisahkan dan merusak hati.

Maka, diperlukan pilihan politik yang membebaskan pikiran dan nurani sesuai dengan kadar pemikiran, perasaan, dan pengalaman  masing-masing. Tugas Paslon dan tim sukses untuk meyakinkan dan mengajak untuk memilihnya. Tugas pemilih adalah mendengarkan, menyerap, mempelajari, menganalisa, dan memutuskan. Keputusan yang baik adalah keputusan dengan mempertimbangkan akal Budi. Keputusan dalam politik demokratik adalah keputusan yang oleh norma pemilu disebut sebagai jurdil, umum, bebas, dan rahasia. Sebaliknya, keputusan atas dasar paksaan dan intimidasi hanya akan melahirkan kualitas pilihan yang rusak dan tidak bermasa depan baik. Akal budi karenanya perlu dinyalakan di tengah-tengah isu kegelapan pemilu.

 

Menuju Indonesia Bersatu

Pilpres sekali atau dua kali putaran adalah kehendak rakyat sepanjang dilakukan dengan jujur dan adil. Pemenangnya adalah manusia Indonesia terpilih. Akan ada perasaan suka dan tidak suka, kecewa dan gembira. Tetapi sebagai bangsa, Indonesia harus bergegas mengatasi aneka persoalan internal dan eksternal.

Dunia kini sedang tidak baik-baik saja. Ancaman perang di kawasan laut Cina Selatan bukan isapan jempol. Dampak perang Rusia-Ukraina masih akan terus menjadi tegangan global. Instabilitas ekonomi Amerika dan Eropa akan berpengaruh signifikan terhadap ekonomi negara berkembang termasuk Indonesia. Begitu pula perang Israel-Palestina yang mengancam hubungan negara-negara pro kemerdekaan Palestina dan dan yang pro Israel.

Tatanan geo politik dan ekonomi dunia yang amburadul membutuhkan kesiapan Indonesia untuk menjaga tanah airnya sendiri. Tanpa persatuan yang tulus, tidaklah mungkin Indonesia mampu menghadapi aneka tantangan dalam dan luar negeri.

Usai pemilu, siapapun pemenangnya. Indonesia harus diselamatkan. Masih ada waktu untuk memperbaiki aneka kerusakan dalam proses pemilu agar tidak hanya menang secara elektoral tetapi kalah secara moral dan legitimasi.

*) Abdul Mukti Ro’uf adalah Dosen Filsafat dan Pemikiran Islam di Pascasarjana IAIN Pontianak

Artikel Terkait