Nasional

Bansos, Bagian dari Konstruksi Politik Otoritaian untuk Pemenangan Politik

Oleh : very - Senin, 12/02/2024 21:16 WIB

Diskusi bertajuk “Bansos, Pengentasan Kemiskinan atau Tujuan Politik?” ini diselenggarakan secara daring pada Rabu (7/2/2024). (Foto: Ist)

 

Jakarta, INDONEWS.ID - Guru Besar Universitas Paramadina, Prof Didin S. Damahuri menilai, bantuan sosial  (Bansos) saat ini sudah sangat jelas digunakan sebagai alat politik.

Hal tersebut, kata Didin, indikasinya adalah penggelontoran besar-besaran dana bansos yang mencapai sekitar Rp 500 triliun, terbesar selama reformasi. Penggelontoran dana bansos itu, tidak didukung oleh data kemiskinan yang sebetulnya sudah agak menurun meski tidak signifikan.

“Jadi, semestinya kalau bansos digelontorkan dengan amat besar itu pertanda indikasi kemiskinan kembali meningkat, nyatanya kemiskinan sudah agak menurun, dan itu pertanda bansos telah menjadi alat politik, terlebih dibagikan menjelang pemilu 2024,” ujar Prof Didin dalam diskusi yang digelar Universitas Paramadina bekerja sama dengan LP3ES. Diskusi bertajuk “Bansos, Pengentasan Kemiskinan atau Tujuan Politik?” ini diselenggarakan secara daring pada Rabu (7/2/2024) dan dimoderatori oleh Swary Utami Dewi.

Indikasi lain bahwa bansos bersifat politis, kata Didin, bansos tersebut dibagikan oleh Jokowi, bukan melalui Kementerian Sosial. Bahkan Mensos tidak mendampingi Jokowi ketika membagikan bansos tersebut.

“Hal tersebut memperkuat bahwa terjadi proses politisasi bansos untuk kepentingan pemilu. Di banyak daerah pembagian bansos bahkan dilabeli dengan paslon 02 dengan pesan jika paslon 01 dan 03 menang maka bansos tidak lagi dibagikan,” lanjutnya.

Prof Didin mengatakan, dalam 5 tahun terakhir ada gejala Indonesia sedang dalam fase neo-otoritarianism. Beberapa pihak sudah memastikan gejala-gejala itu dengan bukti-bukti yang sangat kuat.

Didin menjelaskan bahwa pada era Soekarno, dia memainkan isu Nasakom untuk perimbangan kekuasaan antara TNI-AD vs PKI. Soekarno menciptakan suatu ekosistem hingga MPR ketika itu memutuskannya sebagai presiden seumur hidup.

Era Suharto, dia menciptakan partai pelopor agar proses pembangunan ekonomi berlanjut dengan industrialisasi tanpa instabilitas politik dengan represi politik domestik. Sejak 2014 Presiden Jokowi tampil dengan program-program nyata dan populis dengan indikasinya parlemen yang pro kekuasaan, yang semula mencapai 65% menjadi 85% pro kekuasaan.

“Ada banyak mekanisme pelumpuhan check and balance di parlemen dalam mengontrol proses legislasi dan lainnya, sehingga ada 8 Undang-undang yang konon bukan merupakan kepentingan rakyat banyak seperti UU KPK, UU Minerba, UU Ciptaker, UU Kesehatan dan lainnya,” ujar Didin.

Gejala lainnya dengan memasukkan Gibran Rakabuming, putra Jokowi melalui keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), dengan memanipulasi proses hukum dan politik sehingga menjadi cawapres 02. Setelah itu kita melihat bansos dijadikan alat politik untuk memenangkan kekuasaan dalam pilpres 2024.

“Suara-suara kampus dan civil society tidak diindahkan, bahkan tidak ada dialog sebagaimana dulu Soeharto mengadakan dialog dengan para mahasiswa. Itulah yang disebut gejala Otorianisme Baru. Jadi, bansos sebagai instrumen pemenangan politik adalah bagian dari konstruksi politik otoritarian” tambahnya.

 

Harus Ada Program Afirmasi yang Bisa Mengatasi Kemiskinan

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, Dr. Elan Satriawan, mengatakan bahwa bansos saat ini telah menjadi alat tujuan utama dari politik. Bansos juga dikategorikan sangat penting untuk penanggulangan kemiskinan. Hal ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia. Bansos sering kali dijadikan sebagai strategi tetapi juga sangat rentan terhadap upaya-upaya politisasi.

“Hal yang harus dilakukan untuk penanggulangan kemiskinan bukan hanya bansos saja yang seolah menjadi satu-satunya jalan, karena jelas tidak akan cukup. Harus ada program afirmasi yang dapat menghilangkan dan mengatasi kendala-kendala yang membuat kelompok bawah, masyarakat miskin, bisa relatif setara dengan rakyat yang lain,” kata Elan.

Elan memandang harus ada program perlindungan sosial yang berfungsi untuk melindungi kaum miskin agar kesejahteraan mereka tidak jatuh, khususnya dalam situasi krisis. Dia mencontohkan pada peristiwa penggusuran kaki lima, atau kepala keluarga yang sakit berkepanjangan, atau krisis yang sifatnya agregat atau pun yang unik per individu.

“Sayangnya program-program seperti UMKM, inklusifitas dan lain sebagainya tidak secara efektif dan sistematis dikaitkan dengan penanggulangan kemiskinan. Sejauh ini, yang dikenal masyarakat mengenai penanggulangan kemiskinan hanya bansos,” tambah Elan.

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Dr. Ninasapti Triaswati, melihat tujuan dari bansos memang pencapaian target dengan tujuan politiknya pengentasan kemiskinan.

“Sebenarnya tujuan bansos itu komprehensif bukan hanya memberikan sejumlah uang atau makanan/pendidikan, tapi dengan meningkatkan kesejahteraan ekonomi melalui berbagai kebijakan ekonomi dan keuangan,” kata Nina.

“Jika dibandingkan periode saat ini nilai bansos Rp 496 triliun, sedangkan periode lalu sebesar Rp 476 T. Yang menjadi masalah bukan sekadar mencapai atau bahkan tepat sasaran tetapi juga soal pemerataan antar kelompok,” lanjut Nina.    

Dia mengatakan, pada tahun 2013 ke 2014, bansos yang digelontorkan sekitar Rp 398 T, yakni di akhir era Presiden SBY sebesar Rp 439 T. Jadi bisa dilihat dengan jelas bahwa ada lonjakan anggaran sekitar Rp40 T. 

“Bahkan jika dilihat berdasarkan data, nilai bansos yang paling besar terjadi pada 2020 yaitu sebesar Rp498 T (Pandemi Covid). Kemudian terjadi penurunan kembali ke angka Rp 397 T pada 2021. Kemudian naik lagi di 2022 sebesar Rp 431 dan Rp 476 di tahun 2023. Dari angka-angka itu memang ada pertanyaan besar, apakah ada kepentingan yang muncul yakni kepentingan politik?” imbuh Nina.

 

Bansos Refleksi Kegagalan Birokrasi Negara

Sementara itu, Direktur Pusat Media dan Demokrasi LP3ES, Wijayanto, menyampaikan bahwa bansos yang dibagikan saat pemilu merupakan suatu refleksi kegagalan negara untuk memenuhi amanah konstitusi.

“Tak hanya itu, bansos yang diberikan adalah refleksi kegagalan birokrasi negara untuk menjalankan bantuan sosial, sehingga terjadinya kegagalan birokrasi dan administratif didalamnya,” kata Wijayanto.

Wija – sapaanya - mengingatkan bahwa dari tahun ke tahun sejak tahun 2019, buku outlook yang diterbitkan oleh LP3ES memberikan kesimpulan bahwa pemerintah secara konsisten melanggar aturan main demokrasi.

“Salah satunya adalah saat pemilu saat ini, aturan main bisa berupa konstitusi dan undang-undang. Dimana pada saat ini terjadi pelanggaran etika yang terjadi tetapi tetap dilanjutkan. Aturan main lainnya adalah bansos yang digelontorkan saat masa pemilu seperti ini, sehingga di bansos tersebut terpasang stiker pasangan calon,” ujarnya.

Bahkan lanjut Wija, dalam buku terbitan LP3ES dengan judul “Demokrasi Tanpa Demos” memiliki makna bahwa demokrasi mengabaikan suara warga, suara demos.

Saat ini ada puluhan suara dari kampus bersaut-sautan untuk memprotes keadaan. Mereka menyuarakan perlawanan dan mengkoreksi pelanggaran etika yang dilakuan oleh Presiden Joko Widodo dan pemerintah. Salah satunya adalah ketidaknetralan pemerintah dalam pemilu ini.

“Rezim Presiden Jokowi terjadi selama 4 periode dimana pada 2014-2016 diistilahkan sebagai honeymoon. Namun pada 2016-2019 terlihat neo developmentalisme dimana pembangunan yang mengabaikan kelestarian lingkungan dan lain sebagainya. Pada 2019-2022 terjadi oligarki ugal-ugalan dan pada 2023 hingga saat ini terjadi politik dinasti, politisasi bansos dan pengingkaran konstitusi,” pungkasnya. ***

Artikel Terkait