Bisnis

Pemerintah Perlu Lakukan Kebijakan Peningkatan SDM di Bidang Perbankan dan Ekonomi Syariah

Oleh : very - Jum'at, 05/04/2024 22:20 WIB

Diskusi publik yang diadakan oleh Indef secara daring, dengan tema “Mengkonkretkan Omon-Omon Ekonomi Syariah: 5 Tantangan Utama dan Opsi Solusi”, yang di moderatori oleh Lintang Titian Purbasari, Kamis (4/4/2024). (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Pemerintah sebagai pemegang kebijakan perlu melakukan hal konkret untuk program peningkatan Sumber Daya Manusia di bidang ekonomi perbankan dan keuangan syariah.

Hal ini disampaikan Prof. Nur Hidayah dalam diskusi publik yang diadakan oleh Indef secara daring, dengan tema “Mengkonkretkan Omon-Omon Ekonomi Syariah: 5 Tantangan Utama dan Opsi Solusi”, yang di moderatori oleh Lintang Titian Purbasari, Kamis (4/4/2024)

Nur Hidayah yang juga merupakan Associate Peneliti INDEF dan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta ini memaparkan bahwa data masterplan ekonomi keuangan syariah 2019-2024 mencatat masih minimnya jumlah lulusan tenaga ahli yang tersertifikasi, yakni hanya 231 orang pada 2018.

“Kemudian statistik perbankan juga menunjukkan adanya permasalahan di sisi kesesuaian kualifikasi pendidikan dengan bidang tugas. Hanya sekira 9,1% pegawai keuangan syariah yang berlatar belakang pendidikan ekonomi syariah. Artinya, 90% supply tenaga kerja perbankan dan keuangan syariah bukan berasal dari prodi ilmu ekonomi dan keuangan syariah,” jelas Nur Hidayah.

Nur Hidayah menekankan perlunya perombakan kurikulum ekonomi dan keuangan syariah agar lebih match dengan kebutuhan industri keuangan dan ekonomi syariah.

“Perombakan itu dilakukan antara lain dengan mendesain kurikulum yang memadai untuk mengintegrasikan bobot ilmu ekonomi syariah dengan ilmu ekonomi keuangan dan perbankan murni sehingga lulusan memiliki kemampuan untuk mengintegrasikan, tidak hanya ilmu syariah tapi juga ilmu murni ekonomi keuangan dan perbankan,” ujarnya.  

Associate Peneliti Indef dan Anggota DPR RI 2014-2019 Hakam Naja, mengatakan bahwa selalu ada ketimpangan antara standar kementerian pendidikan yang selalu lebih tinggi dibanding standar di kementerian agama.

“Misalnya apa yang dihadapi ketika menyusun KNEKS (Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah) 2020. Dalam Keppres KNEKS, Ketuanya adalah Presiden, Ketua Harian Wakil Presiden, anggotanya 3 menteri Koordinator, ditambah 7 menteri kabinet, plus Ketua OJK, Ketua LPS. Semua sepertinya masuk, tapi sampai hari ini Direktur Eksekutif dari KNEKS masih Plt., sesuatu yang sangat ironis,” tutur Hakam.

Saat ini ada ruang kosong dengan masterplan ekonomi keuangan syariah yang disusun oleh Bappenas berlaku untuk 2019-2024, sementara untuk 2025 – 2030 kita belum memiliki masterplan lanjutan.

“Dalam SGIE (State of Global Islamic Economy) government leadership punya pemeringkatan tersendiri. Menduduki peringkat pertama dalam government leadership SGIE adalah Malaysia, kedua Saudi Arabia, lalu Indonesia, dan keempat Uni Emirat Arab. Itu artinya government leadership memang menjadi kunci,” tegasnya.

Saat ini di Indonesia tampak tidak adanya upaya serius untuk membangun ekosistem ekonomi syariah. “Baiknya ke depan hal itu menjadi agenda yang dimasukkan dalam program salah satu Menteri Koordinator. Agar pertanggungjawabannya jelas, pelaksanaannya juga terjadwal dan tidak ada ego sektoral antar kementerian. Semua itu dibutuhkan agar ada satu arus utama ekonomi syariah yang diurus dengan benar,” ungkapnya.

Sementara itu, Wakil Rektor Universitas Paramadina Handi Risza, mengatakan bahwa dalam ekonomi domestik terkait pembangunan ekonomi keuangan syariah, perlu diperjelas lagi apakah Indonesia adalah sebagai negara produsen atau konsumen.

“Karena sudah terjadi saat ini produk-produk UMKM saja banyak dimasuki oleh produk impor dari China. Padahal ditilik lebih jauh, produk-produk itu bisa menjadi potensi ekonomi keuangan syariah dan industri halal dalam negeri,” papar Handi. 

“Saat ini bagaimana agar kita meningkatkan skala produktivitas dari skala mikro, ultra mikro, small business, medium business sampai pada skala korporasi. Padahal kita sudah memiliki instrumen yang sangat lengkap misalnya untuk usaha mikro dan ultra mikro sudah ada social finance. Skala medium ada BMT, BPRS dll, untuk korporasi telah ada bank bank syariah. Jadi, tinggal lagi bagaimana menjalankannya secara bersama sama,” tambah Handi.

Hal itu, katanya, akan menjadi satu ekosistem, dan perlu didorong dan support oleh investasi SDM di bidang ekonomi dan keuangan syariah. “Lebih baik memang, sumber daya SDM ekonomi syariah berasal dari lembaga pendidikan S1 ekonomi syariah,” pungkasnya. ***

Artikel Terkait