Nasional

Urgensi Pemberlakuan UU Perampasan Aset bagi Pelaku Kejahatan

Oleh : Rikard Djegadut - Kamis, 04/07/2024 13:57 WIB


Erasmus Nabit, S.H., M.H dari Law Office Erasmus & Partners

Oleh Erasmus Nabit, S.H., M.H dari Law Office Erasmus & Partners

Jakarta, INDONEWS.ID - Kemiskinan atau berpendapatan rendah bukanlah faktor utama pencetus bagi seseorang melakukan tindak pidana bermotif ekonomi. Teori GONE Jack Bologne dalam tindak pidana korupsi nampaknya juga menjadi pemicu bagi seseorang melakukan tindak pidana bermotif ekonomi seperti kejahatan pasar modal, asuransi, kepabenan, cukai, korupsi, penggelapan, penipuan, dan lain-lain.

Pertama adalah Greedy: kerakusan, dan ketamakan. Para pelaku umumnya telah memiliki kekayaan berlimpah. Kedua adalah Oportunity: orang melakukan kejahatan karena keadaan sistemnya memungkinkan seseorang dapat melakukan tindakan secara kasat mata tidak bertentangan dengan hukum. Misalnya dalam kasus tax amnesty dan kasus bantuan social pada masa pandemi covid 19.

Berikutnya adalah Needs: gaya hidup hedonisme yang selalu membutuhkan finansial berlimpah untuk memenuhi kebutuhan kemewahan hidup. Terakhir adalah Expose; gaya hidup pamer kekayaan mendorong orang mengumpulkan harta kekayaaan berlimpah dengan beragam cara termasuk dengan cara melawan hukum yang merugikan keuangan negara/perekonomian negara, perusahaan (BUMN dan swasta) maupun keuangan pribadi individu.

Bermotif Ekonomi

Tindak pidana bermotif ekonomi konvensional telah berkembang pesat menjadi kejahatan transnasional. Kejahatan ini sulit ditangani dan dicegah karena menggunakan sistem teknologi canggih dan tim marketing mumpuni yang mampu meyakinkan korban dengan sangat sempurna dari aspek legalitas dan prospektif bisnis yang menjanjikan profit keuntungan berlipat ganda. Kejahatan bercorak white collar crime ini dirumuskan dalam Pasal 2 UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Dalam undang-udang ini terdapat 26 bentuk tindak pidana seperti korupsi, penyuapan, narkotika, psikotropika, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan migran, perbankan, pasar modal, perasuransian, kepabeanan, cukai, perdagangan orang, perdagangan senjata gelap, terorisme, penculikan, pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, perpajakan, kehutanan, lingkungan hidup, kelautan dan perikanan, tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara empat tahun atau lebih.

Kejahatan bermotif ekonomi seharusnya dianggap sebagai kejahatan serius dan masuk dalam kategori extra ordinary crime seperti kejahatan korupsi. Angka nominal kejahatan bermotif ekonomi di luar tindak pidana korupsi juga sangat fantastis.

Dalam kasus penipuan dan penggelapan seperti penipuan investasi Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Indosurya misalnya, telah menghimpun dana masyarakat mencapai Rp106 Triliun. Para pelaku kejahatan ini dijerat Pasal 46 Ayat (1) UU Nomor 10 Thn 1998 tentang Perbankan. Mahkamah Agung RI menghukum Terdakwa Hendri Surya sebagai owner Bos KSP Indosurya 18 tahun penjara (Detiknews, 4/9/2023, 14:05 WIB) dan denda Rp15 Miliar subsider 8 bulan (Detiknews, 17/5/2023:07:39 WIB).

Kasus penggelapan deposito PT Pos Indonesia sebesar Rp.50 Miliar pada Bank Syariah Mandiri yang dilakukan oleh empat orang termasuk dua orang di antaranya pegawai bank tersebut (Kompas.com, 2/2/2015, 18:58). Para pelakunya telah divonis Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Tahun 2015 di antaranya Terdakwa Yashikana Tulsi dalam perkara No. 816/PID.SUS/2015/PN.Jkt.Sel.

Tindak pidana pasar modal dalam kasus Antaboga Delta Securitas mengakibatkan nasabah/investor mengalami kerugian mencapai Rp1,4 Triliun; Sarijaya Permana Securitas penggelapan dana nasabah mencapai Rp235 miliar yang merugikan 8.700 nasabah; AAA Securitas dalam praktek penggelaoan dan repo fiktif kerugian mencapai Rp120 Miliar; PT Sekawan Intipratama Tbk kerugian mencapai Rp300 Miliar sampai Rp400 Miliar, dan sebagainya (https://www.investasiku.id, 24/10/2023: 5 Kejahatan Pasar Modal yang Merugikan Investor).

Pusat Edukasi Antikorupsi KPK (2/11/2023) dalam beberapa tahun terakhir melaporkan tiga kasus korupsi dengan kerugian keuangan dan perekonomian negara terbesar yakni kasus penyerobotan lahan negara untuk kelapa sawit oleh Group Duta Palma 2003-2022 seluas 37.095 Ha di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau dengan kerugian negara mencapai Rp104, 1 Triliun dengan rincian kerugian keuangan negara Rp4,9 Triliun dan perekonomian negara Rp99,2 Triliun.

Dalam putusan Pengelolaan kondensat ilegal kilang minyak di Tuban, Jawa Timur menimbulkan kerugian keuangan negara mencapai USD2,7 Miliar atau setara Rp35 Triliun; dan Pengelolaan dana pensiun PT Asabri kerugian negara mencapai Rp22,78 Triliun. Belum lagi kasus korupsi Kementerian Komunikasi dan Informasi merugikan negara mencapai Rp8,032 Triliun (Kompas.com, 8/11/2023, 15:43).

Paling heboh awal 2024 yakni dugaan tindak pidana korupsi PT Timah Tbk yang diduga menimbulkan kerugian keuangan dan perekominan negara mencapai Rp271 Triliun; dan masih banyak kasus korupsi yang telah divonis dan berkuatan hukum tetap maupun masih dalam proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan.

UU Perampasan Aset

Jika mencermati putusan perkara kasus KSP Indosurya dalam tindak pidana perbankan dengan nilai kerugian mayarakat mencapai Rp106 Trilun dan terdakwa hanya didenda Rp15 Miliar bahkan beberapa pelaku lainnya DPO, maka pelaku masih dianggap tetap “untung besar” dibanding derita anggota koperasi tersebut. Hal serupa terjadi dalam tindak pidana korupsi.

Pelaku tindak pidana korupsi masih juga dianggap “untung besar misalnya dalam Kasus Group Duta Palma. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat perusahaan tersebut Terbukti melakukan tindak pidana korupsi Rp78 Trilun.

Terdakwa Surya Darmani divonis 15 tahun penjara, denda Rp1 Miliar, pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar Rp2,2 Triliun, dan membayar kerugian perekonomian negara Rp39,7 Triliun. Dari kasus ini masih lebih kurang separuhnya tidak kembali lagi ke kas negara. (BBC News Indonesia,15/8/2022).

Kejahatan berbasis ekonomi inilah yang mengilhami Pemerintah Republik Indonesia mengajukan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset yang sudah mulai bergulir sejak Tahun 2012 sampai dengan saat ini. Namun ironisnya, rancangan undang-undang ini hanya masuk dalam daftar panjang prolegnas 2019-2024 dan belum pernah menjadi agenda Prolegnas di DPR RI yang dalam hitungan bulan akan berakhir pada 30 September 2024 ini.

Undang-Undang Perampasan Aset ini bertujuan agar semua uang hasil kejahatan harus kembali lagi seutuhnya kepada yang berhak. Dalam tindak pidana penipuan dan penggelapan misalnya bertujuan agar pengadilan memutuskan terdakwa harus mengembalikan uang hasil kejahatannya kepada korbannya.

Perampasan Aset pelaku tindak pidana sebenarnya telah diatur pada beberapa undang-undang. Antara lain Pasal 1 Angka 16 KUHAP berkaitan dengan tindakan penyitaan yang dilakukan penyidik atas harta benda benda bergerak atau tidak bergerak milik pelaku tindak pidana. Pasal 10 Huruf b Angka 2 KUHP.

Dalam tindak pidana Korupsi pengaturan perampasan aset terdakwa hanya sebagai bentuk pidana tambahan Pasal 17 dan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 31 Tahun 1999 terakhir diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Pidana tambahan ini bukan pidana pokok sehingga sangat tergantung pada pandangan subjektif Jaksa Penunut Umum dan Hakim dalam memutuskan perkaranya.

Dalam undang-undang Tindak Pidana Korupsi ini memungkinkan dapat dituntut secara perdata terhadap tersangka maupun kepada ahli waris tersangka atau terdakwa yang telah meninggal dunia oleh Jaksa Pengacara Negara atau instansi yang mengalami kerugian nyata keuangan negara diatur dalam Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 31 Tahun 1999.

Perampasan aset juga diatur dalam Pasal 80 UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika; Pasal 9 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang perampasan aset perusahaan apabila dilakukan oleh korporasi, Pasal 67, Pasal 71, Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, Pasal 81. Pasal 29, Pasal 30 Perpu Nomor 1 Tahun 2001 tentang Undang-Undang tentang Terorisme.

Undang-Undang Perampasan Aset diperlukan sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap harta kekayaan seseorang. Undang-Undang ini mengatur agar harta kekayaaan seseorang tidak dapat diambil-alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun dengan alasan apa pun (Pasal 28H UUD NRI Tahun 1945). Pendekatan Undang-undang ini bersifat pidana dan perdata dalam kedudukan sama tinggi dan dan pentingnya.

Hukuman penjara bukan menjadi tujuan utama penegakan hukum (ultimum remidium) melainkan bertujuan pengembalian harta kekayaan korban seperti semula. Produk legislatif ini memberikan kewenangan dan keleluasaan kepada Penyidik maupun Jaksa Penuntut umum melakukan penelusuran (asset tracing) atas harta kekayaan para pelaku tindak pidana bermotif ekonomi yang telah disamarkan dengan menggunakan nama pihak ketiga.

Misalnya dalam perkara korupsi Pelaku A telah menggunakan nama B atas sejumlah aset benda tidak bergerak. Aset-aset tersebut tidak dapat disita atau dirampas. Jaksa sebagai eksekutor hanya terbatas pada amar putusan pengadilan yang tidak pernah dicantumkan nama B sebagai pemilik aset yang bersumber dari kejahatan korupsi Pelaku A.

Undang-Undang Perampasan Aset ini memberikan kewenangan kepada Jaksa Pengacara Negara untuk mengajukan gugatan in rem yakni gugatan langsung terhadap harta kekayaan yang diduga hasil tindak pidana bermotif ekonomi. Misalnya gugatan teradap Rekening Bank Anu Nomor sekian atau SHM Nomor sekian, Mobil Sedan Merk Anu Nomor Polisi sekian dan sebagainya.

Para pemilik aset tersebut hanya dapat mengintervensi perkara tersebut sebagai pihak ketiga. Karena itu, dalam undang-undang ini sistem pembuktian terbalik menjadi penentu kebenaran kepemilikan seseorang atas aset-asetnya.

Strategi penanggulangan semua kejahatan termasuk kejahatan bermotif ekonomi harus menjadi agenda politik kriminal nasional sebagai upaya rasional masyarakat dalam menanggulangi kejahatan.

Marc Ancel, dikutip Sudarta dalam buku Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S.H., halaman 3 berjudul Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana menyatakan Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Dalam perkataan lain tujuan akhir dari politik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.

Kebijakan integral penanggulangan kejahatan mencakup adanya keterpaduan antara politik kriminal dan politik sosial dan adanya keterpaduan antara upaya penanggulangan dengan penal dan non penal. Kongres PBB ke-6 thn 1980 mempertimbangkan resolusi mengenai crime trends and crime prevention strategies antara lain mengemukakan masalah kejahatan merintangi kemajuan untuk pencapaian kualitas hidup yang pantas bagi semua orang.

Strategi pencegahan kejahatan harus didasarkan pada penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan. Penyebab utama kejahatan di banyak negara adalah ketimpangan sosial, diskriminasi rasial dan nasional, standar hidup yang rendah, pengangguran dan kebutahurufan (kebodohan) di antara golongan besar penduduk (Prof.Dr. Barda Nawafi, Ibid.Hlm 11, 13).

Besar harapan penulis, masyarakat memberikan dukungan kuat agar Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset segera diudangkan menjadi undang-undang. Selain itu, perlu harmonisasi beberapa undang-undang bermotif tindak pidana ekonomi sehingga selaras dengan Undang-Undang Perampasan Aset.

Perlu juga merevisi dan mengubah paradigma Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi berpendekatan pidana menjadi pendekatan perdata dengan menjadikan Undang-Undang Perampasan Aset sebagai sebagai senjata utama pencegahan tindak pidana korupsi.*

Refrensi :

1. Prof.Dr. Barda Nawawi Arief, S.H., Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Kencana-Prenadamedia Group, Jakarta,Cetakan ke-7, 2014
2. Dr. Gradios Nyoman Tio Rae, S.H.,M.H, CLA, Good Governance dan Pemberantasan Korupsi, 2020, Hlm.130).
3. https://bphn.go.id, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Laporan Akhir Naskah Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset
4. https://www.dpr.go.id > Parlementaria: Komitmen DPR Selesaikan Pembahasan RUU di Akhir Periode Tergantung Respons Pemerintah
5. Media-Media online

Artikel Lainnya