Jakarta, INDONEWS.ID - Komunitas Temu Sejarah, sebuah komunitas pengemar buku sejarah menggelar diskusi buku "Demi Republik: Perjuangan Kapten Harun Kabir 1942-1947" karya penulis Hendi Jo pada Kamis, 4 Juli 2024.
Dalam diskusi buku yang digelar secara Online via Zoom mulai jam 20.00 - 21.30 ini, Temu Sejarah mengandeng serta penerbit yakni Matapadi Presindo. Acara digelar secara gratis dan terbuka untuk umum.
Hadir dalam diskusi buku ini adalah penulis Hendi Jo selaku pemateri dan dimoderatori oleh Tiwi Kasvela. Kegiatan ini mendapat antusiasme dari para peserta. Sejumlah peserta tampak aktif mengajukan pertanyaan kepada penulis.
"Saya merasa penting dan perlu untuk menyampaikan informasi ini kepada khalayak. Bahwa di balik penamaan sebuah jalan, itu selalu ada perjuangan dari sang tokoh dalam memperjuangkan kemerdekaan. Jadi tidak asa menyematkan nama, begitu," kata Hendi di tengah-tengah diskusi sebagaimana dikutip media ini, Kamis (4/7/24).
"Kenapa saya namakan buku ini Demi Republik. Karena pada saat itu, Harun Kabir selalu menyebut perjuangannya hingga titik darah penghabisan semata-mata untuk Republik Indonesia," tambahnya.
Untuk diketahui, buku setebal 230 halaman dengan ukuran 14x20 ini mengisahkan perjuangan seorang pemuda beristri bernama Harun Kabir yang dengan semangat nasionalisme terus memperjuangkan kemerdekaan Indonesia hingga titik darah penghabisan.
Tak hanya kisah Harun Kabir yang menyentuh hati pembaca, namun juga pergulatan bathin sang ibu yang seketika air matanya berlinang ketika mendapati surat dari putranya semata wayang.
Pada suatu hari di tahun 1947, Mintarsih menerima sepucuk surat berbahasa Sunda dari Harun Kabir, putra semata wayangnya. Salah satu kalimat yang cukup menohok dan membuat sedih perempuan Sunda itu adalah sebaris kata-kata terakhir dari sang putra.
“Mak, titip istri dan anak-anak saya. Saya sudah memutuskan akan membela bangsa dan negara saya sampai titik darah penghabisan...” tulis Harun Kabir dalam suratnya.
Mintarsih tahu, surat tersebut pasti ditulis saat putranya sedang berada di garis depan. Mungkin di sebuah hutan yang wilayah sekitarnya tengah dihujani tembakan mortir dan bom.
Ya, bisa saja. Mengingat pergerakan Harun Kabir sebagai perwira zeni yang memutlakan dirinya selalu berada di wilayah yang akan dituju musuh, membumihanguskan sarana-sarana vital sebelum militer Belanda menguasainya.
Hampir dua tahun terakhir dalam hidup Harun memang kerap bergandengan dengan bahaya. Sejak menak Sunda itu memutuskan untuk melakukan “bunuh diri kelas”, bergabung dengan gerakan pembebasan tanah airnya, dan melupakan segala kenikmatan hidup jika dia bergabung dengan pemerintah yang didukung Belanda. Dia sudah menyerahkan semuanya, bahkan nyawa sekalipun, demi Republik yang dicintainya.
Tapi Harun bukanlah seorang pecinta buta dari Republik. Dia tetap mendirikan prinsip nasionalismenya di bawah nilai-nilai kemanusiaan.
Ketika pejuang-pejuang lain mengajaknya untuk “melampiaskan semangat revolusi” dengan cara menghabisi anak-anak kecil, orang tua dan para perempuan pihak lawan, dia menolaknya.
Revolusi Indonesia adalah sebuah revolusi yang bertujuan untuk menegakan keadilan dan kemanusiaan, kata Harun. Sebagai manusia, betapa jernihnya situasi hati dan pikirannya saat itu.