Oleh: Prof. Atmonobudi Soebagio MSEE, Ph.D.*)
(Tulisan ini adalah tanggapan terhadap berita yang ditulis oleh CNN Indonesia: https://www.cnnindonesia.com/internasional/20240812044538-134-1131840/rusia-dan-ukraina-saling-tuduh-dalang-kebakaran-di-pembangkit-nuklir).
Jakarta, INDONEWS.ID - Dalam situasi damai dengan negara-negara tetangga, PLTN yang beroperasi di sebuah negara mungkin tidak menjadi masalah, selama PLTN tersebut berfungsi secara normal dan aman. Namun, situasi menjadi panas dan tidak bersahabat akibat kepanikan masyarakat negara-negara tersebut ketika reaktornya mengalami kebocoran radioaktif. Dapat dipastikan bahwa kebocoran tersebut akan menyebar ke wilayah negara-negara di sekitarnya, sehingga berujung pada gugatan terhadap pemerintah yang menjadi pemilik PLTN tersebut.
Sebagai negara yang ingin menjaga persahabatan langgeng dengan negara-negara yang bertetangga langsung dengannya, tentunya pemilihan jenis pembangkit listrik tenaga nuklir yang berisiko tinggi layak dipertimbangkan; bahkan perlu dihapus dari roadmap negara tersebut dalam memenuhi kebutuhan listriknya di masa depan.
Masih kuat dalam ingatan kita tentang tragedi meledaknya “PLTN Fukushima Daiichi” di Jepang pada 11 Maret 2011. Tiga reaktor di PLTN tersebut mengalami peleburan inti reaktor, setelah sistem pendinginannya hancur akibat gelombang tsunami (12 meter) yang dipicu oleh gempa bumi berkekuatan 9,0 Skala Richter (SR). Bencana tersebut telah menyebabkan 18.500 orang tewas atau hilang. Menurut pihak Jepang, reaktor-reaktor tersebut dirancang tahan terhadap gempa bumi berkekuatan 9.0 SR. Namun, gelombang tsunami akibat gempa itulah yang menghancurkannya.
Tragedi tersebut ternyata meninggalkan “pekerjaan rumah yang sangat besar dan mahal”, serta memakan waktu puluhan tahun, karena air bekas pendinginan reaktor yang jutaan gallon volumenya harus disimpan dalam ratusan tanki raksasa sampai kandungan radioaktifnya telah berada pada batas aman untuk dibuang. Proses pendinginan tersebut akan berlangsung 30 – 40 tahun lamanya. Ketika itu, ribuan penduduknya yang selamat harus dievakuasi ke tempat yang berjarak tidak kurang dari 20 kilometer dari PLTN tersebut.
Pada tahun 2024, Tepco mulai membuang air limbah total sebesar 54.600 ton, atau setara 32.355 kolam renang ukuran olimpiade, dalam tujuh putaran ke lautan Pasifik. Air limbah itu merupakan bekas pendinginan reaktor PLTN Fukushima yang dihantam tsunami pada tahun 2011 yang lalu. Meski begitu, masih banyak kelompok penggugat menuntut segera diakhirinya pembuangan air limbah yang dapat membahayakan lingkungan biota laut global dan kesehatan manusia.
Sejumlah negara di pesisir Pasifik telah mengajukan protes keras karena pembuangan limbahnya di perairan tersebut. Greenpeace Indonesia juga memprotesnya; mengingat risiko jutaan ikan yang terpapar radioaktif merupakan mata pencarian ribuan nelayan kita.
Hanya sekitar 18 bulan setelah tragedi PLTN Fukushima, terjadi kasus di Korea Selatan. Gara-gara memakai suku cadang “bersertifikat palsu”, Pemerintah Korea Selatan terpaksa menghentikan operasi dua pembangkit listrik tenaga nuklirnya. Akibatnya, negara itu terancam kekurangan pasokan listrik memasuki musim dingin tahun 2012, (Kompas 6 Nopember 2012).
Penghentian pengoperasian PLTN tersebut terpaksa dilakukan karena para insinyur dan teknisi harus segera mengganti banyak suku cadang palsu yang telanjur digunakan. Menurut Menteri Ekonomi Pengetahuan, Hong Suk-woo, Senin (5/11/2012), otoritas terkait menemukan banyak komponen “bukan inti” yang diketahui tak aman.
“Dua unit PLTN yang bermasalah itu berada di kompleks nuklir Yeongwang. Keduanya tak akan dioperasikan hingga awal Januari 2013. Para insinyur telah mengganti lebih dari 5.000 sekering, kipas pendingin, dan sejumlah suku cadang lainnya yang dipasok dari suku cadang yang sertifikatnya dipalsukan penyuplai,” kata Hong.
Menurut dia, upaya pengecekan faktor keamanan suku cadang secara komprehensif “sangat diperlukan”.
Dari pemberitan di atas, sangat jelas bahwa membangun sumber tenaga listrik dengan menggunakan reaktor nuklir jenis reaksi fisi di Indonesia, jelas sangat berisiko bila terselip komponen-komponen inti reaktor yang palsu.
Indonesia merupakan negara yang rawan terhadap gempa tektonik maupun gelombang tsunami, mengingat negara kita merupakan “negara kepulauan dengan ratusan gunung berapi aktif, yang diapit oleh dua samudera”.
Tentang adanya rencana untuk menggunakan teknologi berbasis energi nuklir sebagai pembangkit listrik berkapasitas ribuan megawatt, jelas akan menodai tekad kita bersama untuk mencapai “Indonesia Maju yang berbasis energi hijau”, maupun peserta “Perjanjian Paris”. Potensi energi hijau Indonesia sangat besar, di samping sinar matahari yang kita manfaatkan energinya karena terletak di garis khatulistiwa. Apalah artinya kita memiliki IKN Nusantara dengan “indeks kualitas udara sangat rendah”, jika masih juga berniat membangun PLTN yang sangat berisiko.
Kita memiliki banyak sumber-sumber energi hijau (ramah lingkungan) di tanah air, baik yang berupa bio fuels, maupun hidrogen yang dapat diproduksi dari laut kita (H2O) yang sangat luas. Potensi hutan alami maupun proyek “reboisasi mangrove” yang cukup luas sangatlah potensial untuk bisnis carbon trading dengan negara-negara industri yang menjadi sumber polusi dunia. PLTS terapung dapat dipasang pada danau-danau di sejumlah provinsi yang selama ini hanya sebagai sumber energi air untuk PLTA serta bagi sistem irigasi persawahan.
Di samping sebagai bahan bakar bagi kendaraan bermotor yang zero emission, hidrogen dalam wujud fuel cells (HFC) juga dapat berfungsi sebagai baterai pada kendaraan listrik. Potensi energi geothermal dari gunung-gunung kita yang masih aktifpun dapat dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTPB).
Semoga Indonesia dapat menjadi salah satu pelopor di antara negara-negara yang fokus pada energi hijau, sejalan dengan kepindahan ibu kotanya dari Jakarta ke IKN Nusantara.
*) Prof. Atmonobudi Soebagio, MSEE, Ph.D. Guru Besar bidang Energi Listrik dan Energi Terbarukan, serta Rektor UKI (2000-2004).