Opini

PLTN Bukan Solusi untuk Meringankan Dampak Perubahan Iklim

Oleh : very - Senin, 23/09/2024 15:59 WIB


PLTN. (Foto: Ist)

Oleh: Atmonobudi Soebagio*)

Jakarta, INDONEWS.ID - Masih terkait dengan pembahasan tentang PLTN Fukushima Daiichi yang diterjang oleh gelombang tsunami pada 11 Maret 2011 yang lalu, artikel ini mengulas tentang risiko sebuah PLTN apabila mengalami gangguan pada reaktornya, khususnya akibat diterjang gelombang tsunami setinggi tidak kurang dari 12 meter, maupun akibat human error seperti yang pernah terjadi pada sejumlah PLTN sebelumnya.

 

Biaya Pembangkitan Sebuah PLTN

Dalam diskusi tentang biaya pembangkitan daya nuklir, yang digambarkan oleh Pemerintah Jepang (5,9 yen/kWh: estimasi yang dibuat oleh Pemerintah Jepang pada tahun 2004) yang digunakan telah mengundang kritik karena terlalu rendah; bahkan seperti sebelum kecelakaan Fukushima. 

Hal tersebut karena gambaran yang dipublikasikan pada biaya pembangkitan daya dihitung untuk kondisi sebuah model pembangkit yang ideal, dan tidak mengikutsertakan biaya-biaya kebijakan, seperti riset dan pengembangan, atau langkah-langkah alokasinya (Oshima, 2011). Dalam kenyataannya, biaya tersebut ditanggung oleh rakyat Jepang dalam bentuk perpajakan.

Selain itu, produsen dikecualikan dari tanggung jawab di Jepang, seperti halnya di AS, atas dasar bahwa tanggung jawab apapun atas kecelakaan nuklir akan dibebankan kepada entitas tenaga nuklir (perusahaan pembangkit listrik). 

Artinya, meskipun produsen komponen pembangkit listrik mengirimkan material yang cacat dan mengakibatkan kecelakaan nuklir, produsen tersebut tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas pekerjaan atau produknya.

Jika produsen bertanggung jawab atas produknya, maka mereka dapat menolak pengiriman pekerjaan atau produk tersebut, atau menaikkan biaya produk tersebut dan selanjutnya.

Pasca kecelakaan Fukushima, Pemerintah Jepang melakukan perhitungan ulang biaya pembangkitan listrik dengan memasukkan biaya sosial, seperti biaya kebijakan dan kecelakaan ke dalam angka (biaya penyelesaian kecelakaan, kompensasi, dan rekonstruksi wilayah), dan menghasilkan angka 8,9 yen per kWh atau lebih untuk tenaga nuklir (dengan catatan biaya akan meningkat jika biaya kecelakaan meningkat di masa mendatang, dan biaya kecelakaan memang meningkat sejak saat perhitungan ulang), 9,5 yen/kWh untuk tenaga batubara, 10,7 yen/kWh untuk tenaga LNG, 9,9 hingga 17,3 yen/kWh untuk tenaga angin (di darat), dan 33,4 hingga 38,3 yen/kWh tenaga surya (perumahan) pada tahun 2010 (Dewan Energi dan Lingkungan Jepang, 2011). 

Akan tetapi, angka-angka untuk biaya pembangkitan tenaga nuklir tidak mencakup biaya penyimpanan limbah nuklir, biaya decomissioning reaktor yang rusak, dan terutama asuransi ganti rugi.

Jika biaya-biaya tersebut dimasukkan, dipastikan akan melebihi 100 yen/kWh; sebagaimana yang ditunjukkan dalam beberapa penelitian (Mikami, 2013).

Selain itu, meskipun biaya tenaga angin dan biaya tenaga surya masih relatif tinggi di Jepang pada saat itu, harga internasional untuk pembangkitan listrik oleh energi terbarukan menurun dengan cepat.

Misalnya, menurut laporan tahun 2013 tentang energi terbarukan, biaya tenaga angin (di darat) adalah 5 hingga 16 sen/kWh untuk negara-negara OECD, 4 hingga 16 sen/kWh untuk negara-negara non-OECD. Dalam kasus tenaga surya (perumahan), 20 hingga 46 sen/kWh untuk negara-negara OECD, 28 hingga 55 sen/kWh untuk negara-negara non-OECD dan 16 hingga 38 sen/kWh untuk Eropa (Renewable Energy Policy Network for 21st Century, 2013).

Dengan kata lain, biaya pembangkitan tenaga nuklir tampaknya lebih rendah daripada sumber energi lain, hanya karena biaya tersebut tidak mencakup biaya eksternal yang cukup signifikan.

Dalam hal tidak mencerminkan biaya sebenarnya, mengoperasikan pembangkit listrik tenaga nuklir diibaratkan seperti mengendarai mobil tanpa asuransi kewajiban kendaraan bermotor dan daya saingnya yang relatif tinggi menurun dengan cepat.

 

Potensi Pencapaian Target Dua Derajat C Tanpa Menggunakan PLTN

Beberapa penelitian telah dilakukan di masa lalu untuk menentukan apakah target perubahan iklim yang ambisius ini dapat dicapai tanpa bergantung pada tenaga nuklir. Edenhofer et.al. (2010) membandingkan skenario rendah karbon menggunakan lima model ekonomi energi yang berbeda, dan mengidentifikasi bahwa biaya tambahan yang diperlukan untuk menghentikan investasi nuklir pada tahun 2000 hanya akan sekitar 0,7% dari PDB pada tahun 2100.

Dua tahun sesudahnya, peneliti lain telah melakukan penelitian dengan mempertimbangkan gerakan denuklirisasi setelah kejadian kecelakaan Fukushima. Bauer et.al. (2012), sebagai contoh, menyatakan bahwa pengurangan emisi gas rumah kaca yang diperlukan untuk membatasi kenaikan suhu rata-rata global hingga dua derajat C dari era pra-industri akan dapat dicapai dengan biaya tambahan kurang dari 0,1% dari PDB pada tahun 2020, dan kurang dari 0,2% pada tahun 2050 tanpa tenaga nuklir.

Melalui artikel ini, penulis mengajak para ilmuwan maupun teknokrat untuk meninjau kembali tentang rencana akan membangun PLTN di Indonesia; mengingat negara tercinta ini sangat kaya akan potensi energi-energi yang dapat dikonversikan menjadi energi listrik; maupun bahan bakar hidrogen sebagai pengganti bensin, avtur dan minyak diesel.  Baterai bagi mobil listrik yang kita kenal saat ini pun dapat digantikan dengan memanfaatkan hidrogen yang berwujud hydrogen fuel cells (HFC).

 

*) Penulis adalah Guru Besar Universitas Kristen Indonesia (UKI) di bidang Energi Listrik dan Energi Terbarukan, serta Rektor UKI (2000-2004).

Artikel Lainnya