Nasional

Perjuangan Bangsa Palestina di Bawah Kepemimpinan Presiden Mahmod Abbas

Oleh : Rikard Djegadut - Selasa, 01/10/2024 11:38 WIB


Jakarta, INDONEWS.ID - Isu Palestina akhir-akhir ini sering dibicarakan di kalangan Perguruan Tinggi, akademisi, khlayak ramai, elit politik dan mereka yang tertarik masalah internasional. Rangkuman pembahasan dimuat di beberapa media, baik di dalam negeri maupun media internasional.

Masalah Palestina muncul kembali akhir-akhir ini, menyusul adanya serangan kelompok Hamas di wilayah daratan Israel pada tanggal 7 Oktober 2023 lalu. Serangan tersebut menewaskan warga Israel 1139 orang dan menyandera sekitar 250 orang, menurut pihak Israel.

Akibat serangan tersebut, terjadi konflik bersenjata antara militer Israel dengan kelompok Hamas. Konflik Israel dan kelompok Hamas sudah berlangsung lama kurang lebih dalam 20 tahun terakhir ini.

Hingga saat ini, akibat serangan balasan Israel telah jatuh kurban di wilayah Gaza mencapai sebanyak kurang lebih 41000 warga Palestina meninggal dunia dengan 70 % kurban tewas adalah perempuan dan anak-anak (Tempo 13 September 2024).

Tulisan ini tidak membahas lebih lanjut tentang perang antara Israel dengan kelompok Hamas tetapi lebih menelaah bagaimana bangsa Palestina dalam mengelola pemerintahannya, terutama para elit politiknya.

Krisis Palestina bermula akibat bermacam2 kepentingan dari masing-masing kelompok yang ingin memperjuangkan keinginan dengan alasan dan pertimbangan sendiri-sendiiri. Konflik intern di antara para elit politik, lembaga-lembaga executive, tokoh militer, dan kelompok kepartaian di dalam negeri terus bersinggungan satu sama lain. Situasi ini sulit di antara mereka menemukan titik temu menuju jalan kesepakatan bersama.

Untuk memperjuangkan kepentingan bangsa Palestina dibentuk sebuah lembaga yang mampu menyuarakan kepentingan mereka yang disebut PLO (Palestinian Liberation Organization) Pertentangan politik di dalam intern mereka telah berlangsung lama dan telah menghasilkan beberapa putusan di berbagai forum perundingan dan pertemuan Internasional.

Konflik yang terjadi antara Israel dan Palestina menambah kesulitan di antara mereka sendiri untuk menentukan kebijakan luar negerinya. Konflik di antara para elit poltik terlihat terus berlangsung bertahun-tahun. Meskipun demikian terobosan yang signifikan terus diupayakan baik dilakukan baik pihak Israel maupun PLO.

Rangkaian pertemuan terus diupayakan untuk mencapai kesepakatan perdamaian menyeluruh di Kawasan Timur Tengah. Hasil beberapa pertemuan pada akhirnya mencapai sebuah Kesepakatan Oslo I (13 September 1993) dan Kesepakatan Oslo II (28 September 1995).

Namun, proses perundingan itu tidak berjalan mulus seperti yang diharapkan, baik dalam proses awal perjanjian maupun sampai pada tahap implementasi hasil kesepakatan. Kepemimpinan Nasional
PLO di bawah kepemimpinan Yasser Arafat bersama pejabat-pejabat senior lainnya terus berupaya melakukan proses diplomasi dengan pihak Isarel.

Apa yang diharapkan dari PLO bahwa pada awalnya bermaksud memperjuagkan pembebasan Palestina. Tahap berikutnya ingin membentuk sebuah negara yang hidup berdampingan dengan Israel. Cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut telah berubah dari perjuangan militer menjadi diplomasi aktif.

Peranan PLO melalui jalur diplomasi aktif dalam Perjanjian Oslo I dan II terus diuji efektifitasnya. Seberapa besar pengaruh tersebut akan mempengaruhi jalannya perdamaian di kawasan tersebut.

Saat pemerintahan otoritas Palestina di bawah kepemimpinan Presiden Mahmod Abbas telah membuahkan hasil bahwa situasi lebih damai. Apakah kepemimpinan Mahmod Abbas cukup berpengaruh di antara para elit politik. Akan lebih mudah mengamati, penulis mencoba mendekati dengan teori kepemimpinan dalam perpektif ilmu politik.

Ahli ilmu politik John Kane dan Haig Patapan dalam bukunya Good Democratic Leadership : On Prudence and Judgement in Modern Democracies” Oxford University Press Academic (2014) mengungkapkan sebagai berikut: The neglect raises curiosity considering almost every conflict or dysfunction occurring in any part of the world is often attributed to “poor leadership” and normally, the recommended solution has been “good leadership”.

Discussions on outcomes of democracies centre on leadership: whether it is done so regrettably (because of poor leadership or desirably (because of good leadership), implying leadership is central to the successes and/or failures of modern democratic societies.

Pada era demokrasi modern, dalam banyak hal kepemimpinan nasional dipengaruhi bagimana para elitnya memperjuangkan untuk kepentingan ekonomi domestik dan bagaimana membentuk kerjasama ekonomi internasional. Kemajuan demokrasi dan political judgement di dalam negeri akan mempengaruhi upaya mencapai good leadership bagi seorang elit politik.

Setiap pengambilan keputusan nasional akan efektif apabila memberikan ruang terbuka dan transparan. Dalam berinteraksi sebanyak mungkin dilibatkan kelompok masyrakat. Demokrasi menjamin setiap pengambilan keputusan nasional lebih efektif.

Tentunya ini akan membangun terciptanya sebuah good leadership di kalangan pemerintahan. Kepemimpinan demokrasi tidak mudah begitu saja menjamin penyelenggaraan pemerintahan. Faktor lain yang cukup mempengaruhi yaitu keterbatasan kelembagaan untuk menyikapi.

Dibutuhkan sebuah keseimbangan antara kepentingan nasional, sentiment pribadi dan nilai-nilai universal serta hubungan antar Lembaga. Semua pihak memerlukan good judgment untuk menuju sebuah good leadership dalam kehidupan demokrasi.

Terlihat bahwa PLO dibawah kepemimpinan Presiden Mahmod Abbas menunjukan keberhasilan yang efektif karena telah berhasil menjalankan prinsip2 good leadership di antara para elit politik Palestina. Kebijakan luar negerinya tetap menginginkan untuk mengakhiri konflik Israel-Palestina melalui meja perundingan serta mendirikan Negara Palestina secara terpisah.

Wilayah otoritas bangsa Palestina terbelah dua dalam menjalankan kepentingan politiknya. Mahmod Abbas, sebagai Presiden Otoritas Nasional Palestina dan para politisi Partai Fatah, memerintah di wilayah Tepi Barat sedangkan Hamas menjalankan kekuasaan di Jalur Gaza.

Ketegangan antara Fatah dan Hamas telah mendominasi politik Palestina sejak 2006. Pada pemilu tahun 2007 Hamas menang dalam pemilihan parlemen Otoritas Palestina untuk Dewan Legislatif Palestina. Kemenangan itu mengakhiri era dominasi Fatah. Ketegangan yang mendalam antara Hamas (yang dianggap sebagai faksi radikal) dan Fatah (yang dianggap sebagai faksi moderat) terus berlanjut hingga saat ini.

Meskipun Hamas dan Fatah memiliki tujuan yang sama untuk kebebasan dan hak penuh negara Palestina, pendekatan mereka untuk mencapainya sangat berbeda. Fatah menganjurkan solusi damai dengan Israel. Para pemimpinnya mendukung solusi dua negara, yang mengacu pada perbatasan tahun 1967. Mereka tidak mendukung perjuangan bersenjata.

Otoritas Nasional Palestina, yang mewakili Fatah, diakui di luar negeri sebagai pemerintahan sipil di wilayah Palestina. Di sisi lain, Hamas mengesampingkan jalur negosiasi dengan Israel dan menganjurkan perjuangan bersenjata sebagai metode perlawanan terhadap “pendudukan” Israel di wilayahnya.

Kepentingan para politisi Hamas, salah satu tujuannya adalah untuk membentuk negara Islam Palestina yang mencakup seluruh wilayah “Palestina bersejarah”, termasuk di mana Israel sekarang. Setelah konflik di antara kedua faksi dan gagalnya upaya membentuk pemerintah yang bersatu, Palestina menjadi terpecah secara politik dan teritorial sejak tahun 2007.

Untuk terus memperjuangkan kepentingan politiknya Hamas memiliki sayap militer yang cukup kuat. Salah satunya yang berpengaruh yaitu Brigade Izz al-Din al-Qassam yang menguasai Gaza sejak 2007.(Detik News, 9 Des 2023).

Nama kelompok ini diambil dari nama seorang ulama yang dipandang sebagai simbol perlawanan Palestina terhadap Israel. Kelompok ini telah terlibat dalam beberapa perang dengan Israel. Mereka beberapa kali menyerang warga Israel dengan bom bunuh diri dan juga meluncurkan ribuan roket.

Oleh sebab itu kelompok ini dikategorikan sebagai organisasi teroris oleh Israel, Amerika Serikat, Inggris, Uni Eropa, dan sejumlah entitas lainnya, Sampai saat ini belum ada informasi yang dapat menjelaskan dengan tepat berapa jumlah mereka. Diperkirakan kelompok ini memiliki anggota sebanyak antara 20.000 sampai 30.000 di Jalur Gaza. Sayap militer Hamas ini adalah kelompok yang memimpin serangan terhadap Israel pada 7 Oktober 2023 lalu.

Langkah Perjuangan Bangsa Palestina

Sebuah langkah maju perjuanagan bangsa Palestina untuk pertama kali duduk di antara negara anggota dalam siding Majelis Umum PBB yang ke 79 pada selasa tanggal 10 September 2024. Utusan Palestina dipimpin oleh Riyad Mansour dengan bertanda di mejanya sebagai “Negara Palestine” (Tempo 11 September 2024).

Pada pertemuan tersebut dikeluarkan sebuah resolusi untuk memberikan dukungan kepada perjuangan bangsa Palestina. Resolusi tersebut didukung oleh 124 negara anggota PBB dan menjadi suara mayoritas. Disebutkan bahwa resolusi itu menetapkan penarikan pasukan Israel dari wilayah Palestina, penghentian pembangunan permukiman baru, pengembalian tanah dan properti yang disita, dan kemungkinan pemulangan warga Palestina yang telantar.

Di samping itu resolusi tersebut juga menyerukan negara-negara untuk mengambil langkah-langkah menuju penghentian penyediaan senjata kepada Israel yang diduga untuk digunakan di wilayah pendudukan Palestina. Hal yang menarik akhir-akhir ini semakin banyak negara-negara yang mengakui bahwa Palestina sebuah negara.

Beberapa negara Barat seperti Spanyol, Norwegia, dan Irlandia secara resmi mengakui negara Palestina. Ini membuktikan bahwa apabila negara timbul konflik dengan negara lain dan mengambil jalur dengan cara-cara damai tentunya negara lain akan berimpati yang pada akhirnya mendukung perjuangan tersebut.

Perjuangan bangsa Paelstina membuktikan dibawah kepemimipnan Presiden Mahmod Abbas semakin banyak yang mengakui sebagai negara. Dunia internasional banyak berharap agar untuk masa depan masalah Gaza yang merupakan bagian dari bangsa Palestina akan dapat diselesaikan melalui cara-cara damai juga.

Posisi Pemerintah Indonesia

Berbagai kesempatan di forum-forum internasional, pemerintah Indonesia selalu konsisten mendukung perjuanagan bangsa Palestina dengan cara-cara damai dan diplomasi. Terlihat bahwa semakin banyak negara-negara yang mendukung perjuangan bangsa Palestina di forum intenasional.

Masyarakat internasional lebih menghendaki sebuah perjuangan bangsa dengan jalur damai dan diplomasi dari pada konflik bersenjata. Kebijakan luar negeri kita, terus berupaya mengambil cara damai dan diplomasi bahkan terus berusaha membantu dalam kemanusiaan, khususnya dengan krisis di Gaza.

Menjadi pemahaman bersama bagi kita bahwa krisis di Gaza bukan masalah agama tetapi pendudukan wilayah oleh Israel. Guru Besar Departemen Hubungan Internasional FISIP-UI, Evi Fitriani menegaskan bahwa konflik Israel-Paletina bukan konflik agama. (Media Indonesia 29 September 2023).

Adalah sebuah bentuk penjajahan yg memperlihatkan perlakuan Israel kepada masyarakat Palestina yg dinilai sangat kejam. Banyak pihak di Indonesia yang menilai bahwa konflik kedua negara seolah-olah merupakan konflik antara agama Islam dan Kristen. Menjadi tugas kita, khususnya para tokoh publik untuk mampu memberikan edukasi kepada generasi muda mengenai akar persoalan tersebut.

Kesimpulan

Perjuangan bangsa Palestina telah berlangsung lama dan terus berupaya mendapat pengakuan dari berbagai bangsa di dunia. Akhir-akhir ini semakin banyak negara, terutama dari negara2 Barat memberikan pengakuan sebagai sebuah negara.

Kepemimpinan Presiden Mahmod Abbas sebagai bukti dan simpati dari berbagai negara karena mampu membangun kebijakan luar negeri dengan cara-cara damai dan diplomasi dengan pihak Israel. Langkah penting berikutnya semoga pihak Fatah dan Hamas dapat membentuk sebuah dukungan nasional dalam membentuk sebuah perjuangan yang menyeluruh. Meskipun hal itu tidak mudah ditindak lanjuti. Untuk menjamin kawasan damai prinsip diplomasi sebagai alternatif yang perlu terus dibangun.*

Artikel Lainnya