
Oleh Sr. Herdiana Randut, SSpS
Jakarta, INDONEWS.ID - Kekerasan berbasis gender menjadi isu yang semakin meresahkan di Indonesia. Akhir-akhir ini, terkuak ke media betapa banyak perempuan yang mati dibunuh. Lagi-lagi perempuan menjadi korban. Sebelum dibunuh, korban perempuan diperkosa. Ini adalah kejahatan yang brutal.
Menurut UN Women International, pembunuhan terhadap perempuan dan tindakan seksual secara paksa adalah salah satu bentuk kekerasan berbasis gender atau femisida. Femisida adalah manifestasi paling ekstrem dari kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan.
Meskipun banyak sekali kegiatan organisasi, komunitas, atau kelompok-kelompok perempuan selama beberapa tahun ini di Indonesia meningkat, namun dalam pengamatan penulis kemajuan untuk menghentikan kekerasan ini belum memadai. Bahkan terus meningkat kasus femisida ini.
Salah satu contoh kasus yang baru-baru ini terjadi yaitu kasus Nia seorang gadis penjual gorengan di Padang Sumatera Barat 6 September. Nia, satu dari sekian banyak perempuan yang menjadi korban femisida di Indonesia, kasus ini mencuri perhatian masyarakat Indonesia. Mengapa perempuan selalu menjadi korban dari kejahatan brutal ini?
Banyak kasus kekerasan seksual, KDRT, dan femisida ini yang selalu menjadi korban adalah kaum perempuan. Penulis belum pernah mendengar kalau laki-laki adalah korban kasus femisida. Komnas perempuan dalam siaran pers 13 Maret 2020 menyebutkan bahwa femisida adalah suatu kasus yang berbeda dengan pembunuhan ‘biasa’ atau homicide.
Yang membedakan femisida dengan pembunuhan biasa adalah femisida terjadi karena adanya ketimpangan kekuasaan dan peran gender antara perempuan dan laki-laki. Komnas Perempuan kemudian menjelaskan lagi bahwa fenomena femisida yang terjadi di Indonesia ini karena adanya faktor relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan juga adanya kecendrungan usaha ‘penaklukan’.
Ketika melihat kasus-kasus kekerasan tentang perempuan di Indonesia, perempuan selalu menjadi korban dan laki-laki selalu menjadi pelaku. Entah itu masalah KDRT, masalah pembunuhan, sexual abuse dan lain-lain. Alasan dari terjadinya kasus juga begitu banyak dan macam-macam.
Yang penulis amati pada umumnya terjadi karena adanya relasi intim atau relasi personal antara laki-laki dan perempuan. Entah itu suami atau isteri, pacar, tetangga rumah atau hubungan romantis lainnya. Dari kasus Nia dapat dilihat femisida ini dilakukan oleh orang yang tidak memiliki relasi apa pun dengan Nia.
Tetapi jika dilihat dari motif pemerkosaan dan pembunuhan, hemat penulis hampir sama yaitu didorong oleh keinginan seksual, penggunaan narkotika, pengaruh video atau film porno yang mengakibatkan hilangnya kesadaran, ditambah naluri seksual yang tinggi dan persepsi pelaku tentang korban yang lemah dan tak berdaya.
Kalau mau dilihat dari perspektif gender, dapat penulis katakan bahwa hal ini masih berkaitan erat dengan stigma. Indonesia negara berkembang dan memiliki banyak penduduk. Di setiap daerah memiliki budaya dan adat istiadat termasuk norma sosial yang menjadi aturan umum dalam hidup bermasyarakat. Salah satu norma yang berlaku secara umum adalah menghargai perempuan dan menghormatinya.
Namun yang sering terjadi malah sebaliknya. Orang tidak peduli lagi terhadap norma-norma yang berlaku tersebut. Apalagi jika bicara soal penghargaan tehadap perempuan. Perempuan as a second class masih kuat di negara ini. Stigma dan sistem patriarki adalah akar persoalan yang rentan terhadap berbagai berbentuk kekerasan berbasis gender.
Dengan puncak kekerasannya berujung pada pemerkosaan dan pembunuhan. Laki-laki masih mendominasi di negara ini, termasuk mendominasi sebagai pelaku tindak kejahatan seksual dan femisida. Sementara perempuan kita terus terbelenggu dalam keterbatasan peran, stigma masyarakat dan sistem-sistem lainnya.
Ada relasi kuasa yang terjadi disana jika dilihat dari motif misalnya cemburu, menolak bertanggungjawab, menolak pemutusan hubungan, tersinggung dan lain-lain. Semua ini menurut hemat saya ketimpangan relasi kuasa laki-laki terhadap perempuan dan misogini serta rasa memiliki perempuan.
Pantauan Komnas Perempuan sejak tahun 2020 hingga 2023 menemukan bahwa femisida intim, yakni pembunuhan yang dilakukan oleh suami atau mantan suami dan pacar adalah yang paling tinggi di Indonesia. Pada 2020, terpantau 95 kasus indikasi femisida. Tahun 2021 terdapat 237 kasus dan 2022 terdapat 307 kasus. Dari semua kasus tersebut, femisida intim yang paling tinggi (www.kompas.com).
Komnas perempuan juga menjelaskan relasi perkawinan dan pacaran menjadi salah satu relasi yang tidak aman bagi perempuan. Karena sumber-sumber kasus berasal dari relasi-relasi tersebut. Apakah cinta yang tulus atau toxic? Terlepas dari apa hubungan atau relasi yang terjadi antara korban dan pelaku, rasa penghargaan tubuh dan kodrat perempuan seolah mati dalam diri.
Apa Peran Pemerintah Terhadap Kasus Ini?
Penulis ingin merumuskan pendapat saya sekaligus untuk pemerintah dalam kasus femisida ini. Menurut saya tidak cukup hanya dipenjara beberapa tahun untuk para pelaku. Jika perlu pelaku dijatuhi hukuman mati, sehingga hal ini tidak terjadi lagi. Karena femisida adalah kasus yang sangat sadis, korban diculik, diperkosa, dan dibunuh.
Kejahatan berlapis yang dilakukan oleh pelaku perlu ditindak tegas. Agar tidak terjadi lagi hal yang sama. Pemerintah melalui pihak kepolisian perlu memproses kasus-kasus tersebut dengan segera agar para pelaku kejahatan segera diproses. Namun, jika pemerintah lambat maka pelaku kejahatan femisida akan terus bertambah bahkan tetap merasa benar dalam tindakan kejahatannya.